• Kolom
  • SUARA SETARA: Karut-marut RKUHP, Beraroma Pembungkaman hingga Ikut Campur Negara pada Urusan Pribadi

SUARA SETARA: Karut-marut RKUHP, Beraroma Pembungkaman hingga Ikut Campur Negara pada Urusan Pribadi

Legislatif begitu tertutup mengenai pembahasan RKUHP. Beban negara bertambah karena harus mengatur urusan pribadi warga negaranya.

Agida Hafsyah dan Rizal Bayhaqi

Pegiat di Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (Great UPI).

Aksi unjuk rasa mahasiswa Bandung menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Bandung, Kamis (30/6/2022). RKUHP mengandung banyak pasal yang cenderung melarang masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi hingga urusan pribadi. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

6 Juli 2022


BandungBergerak.idSampai saat tulisan ini dibuat, kita ketahui bersama bahwa rancangan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menjadi misteri yang penuh aroma pembungkaman serta pembatasan ruang demokrasi yang  dilakukan oleh jajaran DPR RI terhadap seluruh elemen rakyat Indonesia.

Disfungsi RKUHP yang terjadi membuktikan bahwa semangat RKUHP telah berubah, yang seharusnya menjadi payung hukum untuk melindungi masyarakat agar bisa hidup tenteram dan aman, malah menjadi ramuan racun yang di dalamnya memiliki muatan pendiktean serta merampas hak-hak privasi rakyat.

Apabila kita melihat RKUHP yang sempat ditunda pengesahannya pada tahun 2019, banyak sekali pasal-pasal yang kontroversial. Seperti halnya pada pasal 414-416 mengenai “Mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan” hanya boleh dilakukan oleh petugas yang berwenang dan ditugaskan oleh pejabat. Padahal yang terjadi saat ini di lapangan, sosialisasi alat kontrasepsi banyak dilakukan oleh tenaga pendidik, para ahli, masyarakat sipil, dan aktivis dibandingkan dengan petugas yang diutus oleh pejabat berwenang.

Banyak elemen masyarakat yang melakukan sosialisasi alat konstrasepsi demi mencegah penularan HIV/AIDS. Dalam rentan waktu Januari-Maret 2021 menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ODHA (Orang dengan Human Immunodeficiency Virus) kasus HIV sebanyak 427.201 orang, sedangkan kasus AIDS sebanyak 131.417 orang. Melihat data tersebut, apabila makna mengenai mempertunjukkan kontrasepsi ini diatur tentang penyebarluasannya, maka edukasi pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS akan semakin terbatas informasinya.

Baca Juga: Poin-poin Kontroversi RKUHP
Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ditolak Mahasiswa
RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi, Pembahasannya tidak Transparan

Urusan Pribadi

Ketika kita bergeser pada pasal 417-419 mengenai perzinaan dan kohibitasi, hal yang privat akan berubah menjadi urusan negara. Delik aduan yang dapat dilakukan oleh orang tua, salah satunya bisa meningkatkan perkawinan dini. Akhir Desember 2021, data pernikahan dini menurut BPS menyentuh angka 1,7 juta. Grafik dalam 10 tahun terakhir memang menunjukkan penururan, akan tetapi grafik ini bisa berubah untuk tahun-tahun berikutnya apabila tidak ada antisipasi dan upaya dari pemerintah. Sekelas Kepala Desa juga bisa melaporkan kumpul kebo atau kohibitasi yang tercantum pada pasal 18, apabila pihak keluarga menyetujuinya.

Permasalahannya adalah delik aduan ini hanya bisa diproses apabila adanya pengaduan atau laporan dari pihak yang menjadi korban tindak pidana. Pertanyaannya, siapakah yang menjadi korban dalam kasus ini jika kedua belah pihak sudah konsen dalam melakukan hubungan persetubuhannya? Selain itu, pasal 417 juga akan mengkriminalisasi pekerja seks yang di mana tingginya resiko terkait kesehatan, kekerasan, ekonomi, ditambah dengan tindak pidana RKUHP.

Masalah kandungan juga diatur dalam pasal 469-471 RKUHP yang mana pada pasal-pasal tersebut tidak sinkron dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 1 mengecualikan tindakan aborsi, yakni indikasi kedaruratan medis yang menyebabkan terancamnya nyawa ibu atau janin dan kehamilan diakibatkan oleh pemerkosaan. Jika pasal tersebut tidak diperjelas pengecualiannya  dengan korban kekerasan seksual dan masalah medis, maka hal tersebut akan meminggirkan hak korban, juga mudah untuk menindak tenaga medis yang lebih mengetahui terkait permasalah seputar kandungan.

Pada intinya, beberapa pasal yang telah terurai di atas menarik hukum norma menjadi hukum pidana. Dalam RKUHP, peran negara kini bertambah bebannya dengan mengatur ranah yang bersifat privasi.

Adapula pasal-pasal yang tidak selaras dengan UU yang telah berlaku, seperti UU Kesehatan dan UU TPKS. Pasal 479 mengenai pemerkosaan pun sangat sulit dicerna maksud dari kalimat yang tercantum pada ayat 2.

Sementara, sampai saat ini pihak legislatif begitu tertutup mengenai pembahasan RKUHP. Draft 2019 menjadi modal satu-satunya ketika draft terbaru tidak transparan. Apakah draft yang saat ini tengah dibahas secara tertutup itu lebih baik untuk disahkan atau akan kembali kontroversial seperti yang sudah-sudah?

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//