UU TPKS Bukanlah Teori atau Aturan Tertulis Semata
UU TPKS adalah jaminan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. UU ini dirancang untuk menunjang kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Jessiana Angelia Matthew
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
28 Juni 2022
BandungBergerak.id - Kasus kekerasan seksual menjadi isu yang mengalami peningkatan sepanjang tahun 2021. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mencatat adanya 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari hingga November 2021. Tercatat pula sebanyak 4.500 aduan mengenai kekerasan seksual dari bulan Januari sampai Oktober 2021.
Peningkatan kasus kekerasan seksual yang cukup signifikan menuntut pemerintah untuk segera menanggulangi masalah ini, karena hal tersebut dapat merenggut kesejahteraan masyarakat dan mencoreng hak asasi manusia. Salah satu upaya yang menjadi fokus pemerintah adalah dengan membuat rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual. Rancangan undang-undang ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat terkait dengan kasus kekerasan seksual.
Rancangan undang-undang yang akan disahkan menjadi undang-undang tersebut dirancang sedemikian rupa agar dapat menekan angka kekerasan seksual dan memberikan perlindungan bagi korban berupa pemulihan fisik dan psikis. Melalui hal tersebut, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat menjadi jaminan dalam memberikan perlindungan karena memuat pemulihan korban kekerasan seksual secara konkret.
Rancangan undang-undang mengenai kekerasan seksual sebenarnya sudah digagaskan sejak tahun 2012 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Namun, pada awalnya rancangan tersebut diberi nama RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual).
Selanjutnya, pada tanggal 9 September 2021 RUU P-KS berganti nama menjadi RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dengan tujuan agar lebih mudah diterima masyarakat. UU TPKS sendiri dirancang dengan memfokuskan diri pada pemenuhan kebutuhan hukum bagi para korban kekerasan seksual, sehingga memuat aturan mengenai pemulihan korban. Proses perancangan UU TPKS juga dilakukan dengan sangat terbuka dan transparan.
Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa keterbukaan dalam proses pembentukan UU TPKS patut dicontoh dalam revisi UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinilai kurang terbuka. Aturan dalam RUU TPKS sendiri memicu munculnya perdebatan, seperti perdebatan mengenai frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa ini mendapat tanggapan kritis karena dapat membuat UU TPKS menjadi ambigu. Pernyataan ‘tanpa persetujuan korban’ seolah-olah menyatakan bahwa apabila korban menyetujui, maka undang-undang memperbolehkan adanya hubungan seksual yang terjadi diluar pernikahan.
Selain pembentukannya yang terbuka, disisi lain RUU TPKS layak mendapat pujian karena memuat pengaturan mengenai layanan pemulihan dan restitusi. Kedua hal ini dituliskan secara konkret dan jelas, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Seperti yang dijelaskan pada Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan bahwa korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi atau ganti rugi dan layanan pemulihan.
Restitusi yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ganti kerugian yang timbul akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dll. RUU TPKS juga mengatur mengenai jangka waktu pemberian restitusi kepada korban, yaitu tidak lebih dari 30 hari.
Apabila melebihi waktu tersebut, maka harta milik terpidana akan disita. Selanjutnya Pasal 35 menyatakan bahwa apabila harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, maka negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang kepada korban sesuai putusan pengadilan.
Baca Juga: Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Penerapan Building Information Modeling dalam Revolusi Konstruksi di Indonesia
Tepatkah Menerapkan Hukuman Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia?
Jangan Hanya Teori
Setelah melalui perjalanan yang panjang, RUU TPKS pada akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 12 April 2022. Undang-undang ini ditujukan sebagai bukti keberpihakan pemerintah pada korban kekerasan seksual. Dengan adanya restitusi dan layanan pemulihan ini, diharapkan korban dapat mengatasi sedikit dari trauma dan kerugian yang dialami dari kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.
Hal ini juga dianggap sebagai peningkatan dari peraturan mengenai kekerasan seksual sebelumnya, karena undang-undang sebelumnya dianggap hanya berfokus pada tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelakunya. Sedangkan, UU TPKS tidak hanya berfokus pada tindak kekerasan seksual yang terjadi, tetapi juga pada hak para korban untuk mendapatkan pemulihan dan ganti rugi atas tindak pidana yang mereka alami, baik secara fisik maupun psikis.
Oleh karena itu, UU TPKS dapat dikatakan sebagai jaminan hukum bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini tentu dapat menjadi terobosan untuk dapat menekan angka kekerasan seksual di Indonesia
Sejak pembuatannya, UU TPKS sudah dirancang sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terkait maraknya kasus kekerasan seksual. Undang-undang ini juga memuat pengaturan mengenai restitusi dan layanan pemulihan sebagai hak yang harus diterima oleh korban kekerasan seksual. Hal ini dilakukan agar UU TPKS dapat menjadi jaminan dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat agar terhindar dari tindak pidana kekerasan seksual.
Sebagai masyarakat yang bijak, kita harus memanfaatkan keberadaan UU TPKS untuk kepentingan bersama. Selain itu, kita sebagai masyarakat di negara hukum pun harus peka dan mengerti akan peraturan perundang-undangan yang ada agar dapat memperjuangkan hak yang kita miliki.
Selain itu, UU TPKS juga harus direspons dengan baik oleh para penegak hukum di Indonesia, agar UU TPKS tidak hanya sekadar menjadi peraturan tertulis dan teori semata, melainkan juga dapat digunakan dalam praktik sehari-hari. Dengan demikian, UU TPKS dapat bekerja secara optimal dan menunjang kesejahteraan masyarakat Indonesia.