Tepatkah Menerapkan Hukuman Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia?
Terlepas dari adanya anggapan bahwa hukuman ini melanggar Hak Asasi Manusia, tidak sedikit masyarakat yang menuntut hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual.
Muhammad Adli Razani Kurniawan
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
27 Juni 2022
BandungBergerak.id - Hukuman kebiri kimia telah diterapkan sejak lama di sejumlah negara sebagai tambahan hukuman bagi para pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak atau pedofilia. Kebiri kimia pada dasarnya dilakukan dengan tujuan merehabilitasi pelaku agar mendapatkan rasa jera serta demi mencegah kembali terjadinya kasus kekerasan serupa di kemudian hari.
Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai pelaksanaan hukum kebiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Perubahannya, juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa kebiri kimia dapat digolongkan sebagai suatu tindakan yang bisa menyembuhkan pelaku apabila dikenakan terhadap pelaku kekerasan seksual yang menderita gangguan pedofilia. Meskipun demikian, pro kontra mengenai penerapan hukuman ini masih terjadi karena kebiri kimia dianggap sebagai salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Dalam kasus pemerkosaan santriwati di Bandung, Jawa Barat, terdakwa Herry Wirawan dituntut hukuman mati serta hukuman tambahan berupa kebiri kimia oleh jaksa penuntut Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Tuntutan ini tentu lebih berat dari apa yang menjadi permintaan pihak keluarga korban kepada pengadilan yaitu untuk menjatuhkan hukuman kebiri dan hukuman penjara seumur hidup terhadap pelaku.
Namun, di lain sisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak hukuman kebiri kimia serta hukuman mati terhadap pelaku karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan semangat perubahan hukum di Indonesia. Komnas HAM menyatakan sikap penolakan terhadap tuntutan hukuman kebiri terhadap Herry Wirawan karena dianggap sebagai penghukuman yang keji dan tidak manusiawi.
Pelaku dalam kasus ini terbukti melakukan tindakan pemerkosaan terhadap 13 orang santriwati di pondok pesantren miliknya dan delapan santri di antaranya telah melahirkan sembilan bayi. Hal ini tentu saja mengundang amarah sebagian besar masyarakat Indonesia karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang sangat keji serta mencederai norma yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga: Pidana Mati untuk Memberantas Tikus Berdasi
Keadilan Restoratif Bukan untuk Kasus Korupsi
Hukuman Kebiri di Indonesia
Terlepas dari adanya anggapan bahwa hukuman tersebut melanggar Hak Asasi Manusia, tidak sedikit masyarakat yang menuntut agar pelaku diberi hukuman berat seperti hukuman kebiri kimia. Namun perlu ditinjau terlebih dahulu bagaimana hukum positif di Indonesia mengatur mengenai penerapan hukuman kebiri kimia ini. Tentu menjadi pertanyaan di ruang publik apakah penjatuhan hukuman kebiri kimia ini sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kasus ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa Herry Wirawan terbukti melanggar beberapa ayat dalam Pasal 81 di antaranya ayat (1) yaitu pelaku melanggar Pasal 76D dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah, ayat (3) karena yang bersangkutan merupakan pendidik dari korban sehingga ancaman pidana ditambah sepertiga dari yang dimaksud ayat (1), dan ayat (5) karena pelaku menimbulkan korban lebih dari satu orang sehingga pelaku dapat dipidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Sementara itu, dalam ayat (7) disebutkan bahwa terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (5) dapat dikenakan pidana tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Dari keempat ayat di atas dapat disimpulkan bahwa tuntutan terhadap Herry Wirawan telah sesuai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjatuhan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku tersebut pada prinsipnya telah selaras dengan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Meskipun begitu, pendekatan secara yuridis bukan merupakan satu-satunya jalan dalam mengurangi jumlah tindakan kejahatan kekerasan seksual ini. Dalam persoalan seperti ini diperlukan adanya pertimbangan terhadap aspek-aspek sosiologis yang ada di dalam masyarakat.
Selain itu, penjatuhan hukuman kebiri kimia tetap dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia serta aspek filosofis yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mana menjunjung tinggi hak asasi bagi setiap orang tanpa terkecuali. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penjatuhan hukuman kebiri kimia hanya merupakan satu dari sekian banyak solusi yang dapat dijadikan pendekatan untuk mengurangi jumlah kasus tindakan kekerasan seksual di Indonesia.