• Opini
  • Pidana Mati untuk Memberantas Tikus Berdasi

Pidana Mati untuk Memberantas Tikus Berdasi

Hukuman bagi koruptor yang diatur UU Tipikor dianggap sepele. Ditambah lagi, belum ada yang pernah dipidana hukuman mati pada kasus korupsi.

Charline Domminique

Mahasiswi Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Demonstrasi aktivis antikorupsi di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. (Sumber Foto: ICW/antikorupsi.org, diakses 2022)

26 Juni 2022


BandungBergerak.idPidana mati merupakan jenis pidana paling keji yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku. Tetapi, pidana mati adalah upaya paling efektif untuk diterapkan dalam memberantas darurat korupsi di Indonesia. Pidana mati awalnya telah diberlakukan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.

Pada awalnya, pidana mati dikenal tahun 1808 pada masa penjajahan Belanda. Dilanjut pada masa demokrasi liberal, tepatnya tahun 1951. Pada masa itu, pidana mati digunakan untuk membungkam para pemberontak. Kemudian, presiden Sukarno mengeluarkan undang-undang darurat yang diperkuat oleh Penpres No. 5 Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 21 Tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati [Adryamarthanino, Verelladevenka. 2022. “Sejarah Hukuman Mati di Indonesia”. Diakses pada 12 Juni 2022. Sejarah Hukuman Mati di Indonesia (kompas.com)].

Dimulai dari masa Demokrasi Terpimpin, pidana mati mulai diberlakukan. Berdasarkan data dari Amnesty International Indonesia, Indonesia telah menjatuhkan sebanyak 484 vonis mati di tahun 2020. Data tersebut menunjukan kenaikan sebesar 46 persen dibanding 80 pidana mati yang dijatuhkan pada tahun 2019.

Pidana mati mengundang kontroversi di Indonesia baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawan, aktivis Hak Asasi Manusia maupun masyarakat. Kontroversi ini disebabkan karena pidana mati melanggar hak untuk hidup yang diatur oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia. Menurut Peneliti Balitbangkumham Firdaus, hak untuk hidup ini juga diatur dalam konstitusi Indonesia dalam Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) [Balitbang Hukum dan HAM, “Hukuman Mati dalam perpektif HAM di Indonesia”, Hukuman Mati dalam Perspektif HAM di Indonesia (balitbangham.go.id)].

Para ahli yang pro atau setuju terhadap pidana mati untuk tetap dipertahankan karena didasarkan pada alasan kovensional. Pidana mati dianggap sebagai sebuah kebutuhan untuk menghilangkan pelaku yang dianggap membahayakan kesejahteraan umum. Sedangkan aktivis HAM yang kontra atau tidak setuju terhadap pidana mati dikarenakan bertentangan dengan HAM dan tidak memperhatikan konstitusi.

Aktivis HAM juga menganggap pidana mati merupakan hukuman yang tidak dapat diperbaiki jika ditemukan kesalahan pada vonis hakim. Bahkan, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hajar dari Universitas Trisakti pun ikut menolak tegas hukuman mati untuk dimasukkan ke dalam RKUHP. Ia beragumen bahwa manusia tidak berhak untuk menghilangkan nyawa seseorang mendahului kehendak Tuhan. Padahal nyatanya, walaupun pidana mati ini dianggap jenis pidana paling keji tetapi pidana mati inilah yang paling efektif dalam memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Baca Juga: Keadilan Restoratif Bukan untuk Kasus Korupsi
Alfanya Pasal Hukum bagi Pelaku Pelecehan Seksual Fetish
UU ITE Menyuburkan Labeling dan Penuhnya Penjara

Hukuman Mati bagi Koruptor

Korupsi sudah dianggap sebagai kebiasaan di Indonesia. Korupsi merupakan tindakan kesewenang-wenangan yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkonomian nasional. Semakin tinggi kasus korupsi di suatu negara, semakin rendahnya kesejahteraan rakyatnya.

Menurut Frans Magnis Suseno, tindak korupsi harus dicela karena pada dasarnya setiap koruptor adalah pencuri. Korupsi sendiri dianggap sudah membudaya di Indonesia karena makin hari tindak korupsi semakin menggerogoti pemerintah Indonesia.

Pada tahun 1997 lalu, tatanan dunia perbankan Indonesia sampai ambruk akibat dari korupsi yang semakin merajarela. Akibat dari korupsi yang merajarela, korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime. Pengkategorian tersebut karena perilaku korupsi dianggap sebagai hal yang lumrah dalam rumah tangga pemerintahan. Oleh sebab itu, seharusnya pemberantasan korupsi lebih tegas dan lebih diperhatikan agar “pencuri” tersebut tidak berlaku seenaknya.

Semakin hari kasus korupsi di Indonesia semakin meningkat. Hal ini tentunya dianggap dapat membahayakan perekonomian Indonesia, terutama bagi kesejahteraan pemerintahan. Pidana mati untuk para koruptor sudah diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), lebih tepatnya dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi [Radar Banyumas, “Hukuman Mati untuk Koruptor Diizinkan di Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, Tapi masih Jadi Polemik”, Radar Banyumas].

Namun nyatanya, UU Tipikor ini hanya dapat diberlakukan untuk korupsi “luar biasa” atau dalam “keadaan tertentu”. Tindak Pidana Korupsi “luar biasa” yang dimaksud yaitu apabila korupsi dilakukan pada saat negara dalam keadaan sedang tidak normal. Keadaan tidak normal maksudnya seperti saat terjadi bencana alam atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter.

Tetapi sampai saat ini, koruptor di Indonesia tidak pernah ada yang dipidana mati karena banyaknya perdebatan. Padahal nyatanya, semakin tegas suatu hukuman, maka semakin takut masyarakat untuk melakukan tindakan sewenang-wenang. Contohnya, pada zaman Suharto diangggap oleh masyarakat masa kelam karena kekejamannya. Tetapi, pada zaman itu tidak banyak yang melakukan tindakan sewenang-wenang karena adanya rasa takut. Hal ini membuktikan bahwa untuk meminimalkan suatu kejahatan dalam negara, negara harus tegas kepada pelaku kejahatan. Dengan tetap memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh tiap individu dan tanpa mengurangi rasa hormatnya sebagai manusia.

Dengan demikian, seharusnya pemerintah mulai memperhatikan perdebatan tentang pidana mati sehingga cepat mendapatkan kepastian hukum. Pemerintah seharusnya sadar bahwa UU Tipikor yang hanya mengatur tentang korupsi “luar biasa” dianggap sepele oleh para pelaku. Ditambah lagi, belum ada yang pernah di pidana mati jika terjadi korupsi “luar biasa” yang telah diatur tersebut. Sehingga, pelaku tidak pernah merasa takut akan UU yang sudah mengatur tentang korupsi dan mengakibatkan semakin membudayanya korupsi di Indonesia.

Koruptor yang telah ditangkap oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pun masih memungkinkan untuk hidup enak dan bebas. Tidak heran bahwa pelaku korupsi pun tidak akan pernah takut jika melakukan korupsi dan berakhir ditangkap KPK. Solusi yang dapat diambil dari hal ini adalah seharusnya pemerintah mempertegas dan memperjelas tentang pidana mati dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah juga seharusnya melakukan pemeriksaan rutin kepada KPK karena sering terjadi kasus KPK bertindak santai pada para koruptor.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//