Hukuman Mati, Menjunjung Keadilan atau Melanggar Hak Asasai Manusia?
Banyak pihak setuju penghapusan hukuman mati dari sistem hukuman Indonesia namun hukuman mati diakui oleh ketentuan undang-undang dan bukan hal mudah menghapusnya.
Arthur Sendric Nainggolan
Mahasiswa Jurusan Hukum Unpar.
19 Juni 2022
BandungBergerak.id - Hukum pidana mati atau hukuman mati merupakan hukuman yang bersifat merenggut nyawa seseorang sehingga memicu perdebatan antara para pihak penegak hukum dan penegak hak asasi manusia. Bila dilihat dari perspektif hukum pidana dan hak asasi manusia, hukuman mati bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelanggar hukum akan tetapi di lain sisi hukuman mati melanggar hak untuk hidup dari seseorang.
S.R Sianturi mengatakan bahwa tiap manusia memiliki keberhakan untuk hidup dan dilindungi oleh hukum dan siapa pun tidak bisa mengambil hak tersebut. Banyak pihak yang setuju dengan penghapusan hukuman mati dari sistem hukuman Indonesia namun hukuman mati diakui oleh ketentuan undang-undang negara dan bukan hal yang mudah untuk menghapuskannya. Perdebatan tersebut memunculkan pertanyaan apakah hukum pidana mati itu layak diimplementasikan sebagai sistem hukuman di negara?
Hukuman mati merupakan bentuk sanksi tertinggi dan khusus yang sifatnya merenggut nyawa seseorang sekaligus wujud keadilan yang tertinggi sehingga tidak berat sebelah antarpihak korban dan pelaku, tetapi di lain sisi hukuman mati melanggar hak asasi manusia karena merampas hak untuk hidup dari seseorang. Tujuan dari hukuman mati adalah upaya untuk mewujudukan keadilan yang tertinggi di tengah masyarakat.
Menurut teori yang bersifat preventif-intimidatif dan represif-depresif, hukuman mati bertujuan untuk menciptakan keadilan yang seimbang di masyarakat. Pelaku yang melakukan tindak kejahatan dihukum secara pidana sebagai himbauan untuk tidak melakukan tindak kejahatan lagi. Dengan adanya hukuman mati, masyarakat menjadi tidak main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan.
Salah satu contoh kasus penjatuhan hukuman mati di Indonesia adalah kasus pembunuhan hakim yang dilakukan oleh istrinya sendiri di Deli Serdang pada tahun 2019 lalu yang berujung divonis matinya pelaku karena terungkap bahwa tindakannya merupakan pembunuhan berencana. Tindakan tersebut diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang khusus yaitu pembunuhan berencana. Berdasarakan kasus tersebut, Indonesia masih mempertahankan dan memberlakukan hukuman mati terhadap tindakan kejahatan yang tergolong serius.
Baca Juga: Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hukum dan HAM
Potensi Konflik di Balik Rencana Pemindahan IKN
Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden sebagai Pembangkangan Konstitusi
Sulit Dihapuskan
Pada dasarnya, manusia dianugerakan hak asasi manusia semenjak lahir sedangkan hukum tercipta untuk melindungi hak asasi yang dimiliki manusia tersebut. Hal ini didukung oleh Pasal 6 ayat 1 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pasal tersebut mengatakan bahwa setiap manusia memiliki keberhakan untuk hidup yang melekat pada dirinya masing masing.
Hak tersebut dilindungi oleh hukum dan tidak seseorang pun dapat mencabut hak tersebut secara sewenang-wenang. Indonesia mengakui adanya hak asasi manusia melalui ideologi falsafah yaitu Pancasila yang mengakui dan melindungi hak dan martabat manusia.
Penerapan hukuman mati di Indonesia menjadi topik perdebatan yang tiada akhirnya untuk negara yang beradab dikarenakan hukuman mati tidak sesuai dengan dasar falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila yang menyatakan penjunjungan tinggi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab akan tetapi dalam kenyataanya, Indonesia masih mempertahankan hukuman mati sebagai sistem hukum yang diterapkan di negara. Eksistensi dari hukuman mati tetap dipertahankan dalam sistem hukum Indonesia dikarenakan hukuman mati dianggap tidak bertentangan dengan ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Para pihak kontra terhadap hukuman mati mengharapkan akan penghapusan hukuman mati dari sistem hukum Indonesia atas dasar pelanggaraan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Dikatakan dalam Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidupnya. Berdasarkan isi pasal tersebut, hak untuk hidup dari seseorang adalah suatu keberhakan dan layak dipertahankan oleh masing masing. Lalu bagaimanakah cara untuk menghapus eksistensi dari hukuman mati tersebut?
Benjamin Mangkudilaga selaku mantan hakim agung mengatakan bahwa sepanjang hukum pidana mati masih diatur dalam ketentuan undang-undang maka pidana mati harus tetap dilaksanakan. Tak hanya itu hukuman mati mendapatkan putusan dari Mahkamah Konstitusi bahwa hukuman mati dinyatakan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia karena adanya pembatasan oleh UUD 1945 yaitu kewajiban hukum dan kewajiban asasi. Kewajiban hukum adalah kewajiban warga negara atau masyarakat untuk tunduk kepada ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sedangkan kewajiban asasi adalah kewajiban dari masyarakat untuk menghormati hak dari orang lain dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan pemaparan di atas, hukuman mati dapat disimpulkan memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan hukuman mati adalah memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kejahatan akan tetapi kelemahannya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki semua orang. Manusia memiliki keberhakan untuk hidup dan hidup tersebut tidak dapat dirampas oleh hukum melainkan dilindungi sebagaimana mestinya.
Hukuman mati merupakan hukuman yang keji dan tidaklah layak untuk diimplementasikan di sistem hukum negara Indonesia namun hukuman mati dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi dan ideologi negara serta ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi dasar atas pertahanan eksistensi hukuman mati sebagai sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian, hukuman mati tetap akan diterapkan oleh negara dan merupakan hal yang sulit untuk menghapuskannya dari sistem hukum Indonesia.