• Opini
  • Potensi Konflik di Balik Rencana Pemindahan IKN

Potensi Konflik di Balik Rencana Pemindahan IKN

Durasi pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara tergolong sangat cepat sehingga partisipasi publik tidak maksimal.

Trissya Noveni Saputra

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Presiden Joko Widodo menyambangi sejumlah pedagang pasar di Pasar Sederhana, Bandung, Senin (17/6/2022). Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Pasar Sederhana sambil membagikan paket sembako dan bantuan tunai sebesar Rp 1,2 juta khusus untuk pedagang pasar, pedagang kaki lima dan asongan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

18 Juni 2022


BandungBergerak.idWacana pemindahan ibu kota negara Indonesia telah muncul sejak 65 tahun yang lalu oleh Presiden Sukarno. Gagasan tersebut lahir dengan tujuan untuk membagi beban Jakarta yang merupakan kota dengan daya tarik terkuat di Indonesia pada saat itu. Sama halnya dengan Sukarno, Suharto juga sempat mengemukakan rencana pemindahan ibu kota negara. Akan tetapi, ide kedua presiden tersebut sama-sama kandas karena adanya pergolakan politik besar-besaran pada saat itu.

Kemudian, rencana pemindahan ibu kota negara kembali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan visi untuk memecah Indonesia yang terlalu berpusat di Pulau Jawa. Tak hanya itu, prediksi tentang tenggelamnya Jakarta pada tahun 2050 juga menjadi salah satu urgensi pemindahan ibu kota negara.

Sebagai langkah untuk mewujudkan rencananya, Jokowi telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 yang mengatur mengenai pelaksanaan pemerintahan IKN dan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajem Paser Utara. Langkah tersebut dinilai sebagai tindakan yang tergesa-gesa karena terdapat beragam risiko atas pemindahan ibu kota negara, terutama sebagai pemicu perpecahan antara masyarakat lokal dan masyarakat perantau.

Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang IKN oleh DPR dan Presiden dilakukan pertama kali pada tanggal 7 Desember 2021 dalam Rapat Paripurna DPR. Melalui rapat tersebut, dibentuk Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang IKN yang bertugas membentuk substansi dari Rancangan Undang-Undang IKN. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Pansus hanya mengadakan rapat sebanyak 11 kali untuk membahas substansi Rancangan Undang-Undang bersama para ahli. Dengan hasil rapat sebanyak 11 kali tersebut, Undang-Undang IKN kemudian disahkan oleh Presiden pada tanggal 18 Januari 2022. Hal tersebut menandakan bahwa pembentukan Undang-Undang IKN tidak dilakukan dengan pembahasan yang layak serta hanya membutuhkan waktu sebanyak 42 hari saja.

Menurut Lucius Karus, seorang peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), durasi pembentukan Undang-Undang IKN tergolong sangat cepat sehingga partisipasi publik tidak maksimal. Hal tersebut sangat fatal sebab partisipasi publik merupakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berperan dalam pembentukan Undang-Undang serta sebagai wujud penerapan demokrasi Pancasila sebagai idelogi Indonesia. Karena kurang layaknya pembahasan substansi serta partisipasi masyarakat, Undang-Undang IKN sangat rentan terhadap kecacatan formil dan materil.

Baca Juga: Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden sebagai Pembangkangan Konstitusi
Legalitas Onlyfans di Mata Hukum Indonesia
Bioplastik, Pengganti Plastik atau Pencemar Baru?

Reaksi Penolakan

Beragam konflik sosial sudah bermunculan sebelum migrasi dimulai. Penolakan masyarakat terhadap pemindahan ibu kota negara terlihat dengan jelas melalui petisi yang berjudul “Pak Presiden 2022-2024 bukan waktunya memindahkan ibu kota negara” yang telah ditandatangani oleh 35.954 orang. Tokoh penyusun petisi tersebut berasal dari berbagai latar belakang, yakni: pakar ekonomi, guru besar, hingga mantan anggota TNI. Menurut mereka, pemindahan ibu kota negara dalam situasi pandemi tidaklah tepat dan negara seharusnya mengalokasikan dana kepada sektor kesehatan, bukan kepada pembangunan IKN.

Di samping itu, terjadi pula konflik penolakan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk dipindahkan dari Jakarta ke Penajem Paser Utara, padahal ASN termasuk golongan awal yang harus dipindahkan. Menanggapi hal tersebut, Tokoh Masyarakat Adat Kalimantan Tengah mengemukakan bahwa mereka tidak membutuhkan sumber daya manusia dari Jakarta sebab sumber daya manusia di Suku Dayak juga sangat berkualitas. Kemudian, muncul konflik lain yakni seorang mantan wartawan bernama Edy Mulyadi menghina Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak” di media sosial. Banyak warga Kalimantan merasa tersinggung dan melaporkan sang wartawan kepada polisi.

Konflik sosial yang terjadi akibat penolakan pemindahan ibu kota negara menunjukkan adanya ancaman eksistensi suku Dayak di Kalimantan. Kita dapat becermin pada kemalangan yang menimpa suku Betawi di Jakarta yakni terancam punahnya keberadaan tradisi dan adat istiadat mereka karena kultur Jakarta sebagai kota dengan daya tarik nasional yang sangat kuat. suku Betawi terpaksa mengalah dengan gaya hidup kota besar dan mereka lebih memilih tinggal di daerah terpinggirkan.

Dengan adanya rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, ancaman yang sama akan menimpa suku Dayak. Hilangnya identitas masyarakat asli merupakan ancaman utama yang dihadapi masyarakat adat di kawasan Kalimantan. Hal tersebut sangat berlainan dengan kewajiban Indonesia dalam membudidayakan keberagaman tradisi dan adat istiadatnya. Tak hanya kehilangan identitas asli saja, penduduk lokal juga berisiko kehilangan mata pencaharian karena penggusuran di lokasi pembangunan infrastruktur. Hal tersebut akan menimbulkan ketimpangan sosial, serupa dengan yang terjadi pada suku Betawi di Jakarta.

Dengan demikian, rencana pemindahan ibu kota negara ke Penajem Paser Utara menimbulkan berbagai konflik sosial. Sebagai permulaan, Undang-Undang IKN dibentuk dengan durasi yang sangat singkat serta minim partisipasi publik sehingga menjadikan perencanaan ini terkesan dibuat secara tergesa-gesa dan kurang matang.

Kemudian, penolakan terhadap rencana pemindahan ibu kota negara telah disuarakan oleh masyarakat secara besar-besaran. Tentu, penolakan tersebut menimbulkan percikan api antara penduduk lokal dan penduduk perantau. Tak hanya itu saja, suku Dayak juga terancam eksistensinya karena ketimpangan sosial yang sangat mungkin terjadi setelah perpindahan penduduk dilaksanakan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//