• Opini
  • Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden sebagai Pembangkangan Konstitusi

Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden sebagai Pembangkangan Konstitusi

Gagasan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden juga mencerminkan inkonsistensi partai politik.

Michael Christian

Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Diorama Rumah Pintar Pemliu KPU Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu (8/6/2022). Tahapan pemliu dimulai 14 Juni 2022. Ditetapkan biaya tahapan sampai pelaksanaan pemilu 2024 yaitu Rp 76,6 triliun rupiah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

18 Juni 2022


BandungBergerak.idPerpanjangan masa jabatan presiden kini kembali ramai disuarakan setelah redup pada tahun 2019. Sejumlah pejabat dan elit politik secara terang-terangan mengutarakan dukungan untuk menunda pemilu serta memperpanjang masa jabatan presiden, beberapa partai politik yakni Golkar, PKB, dan PAN menyuarakan dukungan tersebut dengan dalih pandemi Covid-19 dan perekonomian Indonesia yang sedang jatuh akibat dampak pandemi.

Dalih yang disampaikan dengan tujuan menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden mendapatkan kecaman dari masyarakat, lantaran dalih tersebut tidak memuat urgensi serta tidak relevan dengan esensi demokrasi dan amanat konstitusi yang kemudian akan menciderai citra demokrasi. Pemilu merupakan sebuah konsep dari demokrasi prosedural dan juga merupakan salah  satu  cara  terkuat  pada  rakyat  agar melaksanakan demokrasi kontemporer (Yamin, Ilham dkk, 2020). Hal ini secara fundamental menunjukan kegagalan partai politik sebagai pilar utama yang sepatutnya menjunjung tinggi nilai keadilan dalam proses demokrasi elektoral.

Dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi, kondisi perekonomian Indonesia triwulan I-2022 terhadap triwulan I-2021 tumbuh sebesar 5,01 persen (y-on-y). Dari  sisi  produksi,  lapangan  usaha  transportasi dan  pergudangan  mengalami  pertumbuhan tertinggi sebesar 15,79 persen. Dengan demikian, penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak relevan dengan alasan stabilitas ekonomi.

Pada lain sisi, pilkada serentak tahun 2020 berhasil terselenggara dengan semestinya, masyarakat sebagai pemilih mampu menerapkan protokol kesehatan dengan tertib, sehingga kasus “kluster pilkada” seperti yang dikhawatirkan sebelum pelaksanaan Pilkada dapat terhindarkan. Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan 2020 mencapai 76,09 persen. Angka tersebut merupakan hasil rekapitulasi partisipasi pemilih rata-rata pada pemilihan 2020 dibagi 270 yang merupakan jumlah daerah penyelenggara pemilihan 2020 baik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Maka, penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden dengan alasan pandemi Covid-19 juga tidak relevan.

Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden secara fundamental mengandung unsur inkonstitusional, melecehkan konsistensi hukum (contempt of the constitution) serta merampas hak rakyat akan harapan lahirnya pemimpin-pemimpin baru. Hal tersebut disebabkan karena konstitusi hadir untuk membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Misalnya, pada Pasal 7 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden menjabat selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan, kemudian Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Pemilu dilaksanakan dengan “Luber-Jurdil” setiap lima tahun sekali.

Gagasan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden juga mencerminkan inkonsistensi partai politik sebagai “anak kandung” dari dinamika demokrasi, menggambarkan unsur pragmatisme politik kepentingan, serta menunjukan rendahnya konsistensi partai politik dalam menegakan dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi.

Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden berpotensi mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia dan memunculkan kepemimpinan otoritarian. Selain itu, usulan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden menciderai amanat konstitusi serta polemik di ruang publik, sehingga Koalisi Masyarakat Sipil melayangkan tuntuan untuk Pemilu 2024, di antaranya yaitu: pertama, mendesak partai Golkar, PKB, dan PAN serta partai politik lainnya untuk mencabut pernyataannya yang mendukung penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden karena hal tersebut dapat merusak tatanan demokrasi dan hukum serta memberikan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat.

Kedua, mendorong seluruh partai politik untuk tetap mempertahankan konsistensinya dalam menjalankan amanat konstitusi, yakni pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali secara “Luber-Jurdil”. Ketiga, mendesak seluruh partai politik untuk tetap konsisten pada Keputusan KPU No. 21 Tahun 2022 yang telah disahkan bersama dengan Komisi II DPR-RI, Pemerintah dan Komisi Penyelenggaraan Pemilu.

Keempat, mengingatkan partai politik lain untuk tetap berpegang teguh pada konstitusi dan tidak mengindahkan pernyataan Golkar, PKB, dan PAN menunda Pemilu 2024. Kelima, mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menolak wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, sebab hal tersebut menciderai hak rakyat dalam memilih pemimpinnya yang selama ini konsisten dilakukan setiap lima tahun sekali. Keenam, meminta presiden untuk secara tegas menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden serta konsekuen terhadap agenda negara, yakni jadwal pemilu yang telah ditetapkan oleh KPU berdasarkan konsultasi dengan DPR.

Selain itu, tidak ada urgensi yang mendesak bagi Indonesia untuk melakukan perpanjangan masa jabatan presiden. Amandemen UUD 1945 seharusnya dilakukan untuk membuat perubahan yang substantif dan progresif, seperti ketika empat kali melakukan amandemen pascaruntuhnya rezim Orde Baru. Dalam hal ini, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak menggambarkan arah perubahan yang substantif dan progresif, tetapi beranjak dari kepentingan elite-elite politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Seandainya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tetap dilakukan, reformasi 1998 hanya akan menjadi fase demokrasi sementara, sebelum Indonesia kembali ke arah otoritarianisme. Oleh karena itu, Indonesia perlu mencegah kasus overstay sebagaimana telah terjadi di berbagai negara yang mengakibatkan kemunduran demokrasi. 

Baca Juga: Mengenang Faiq yang Dua Bulan Lalu Tenggelam di Cikapundung
Bersama Warga Dago Elos Mempertahankan Ruang Hidup
Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan

Dampak Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden?

Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden akan berdampak langsung terhadap demokrasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Munculnya ketidakpastian hukum politik, sebab konstitusi tidak lagi berdaya untuk membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Ketidakpastian politik berdampak pada perekonomian dengan meningkatnya persepsi risiko investor dan mengarah ke biaya modal yang lebih tinggi (Veronesi, 2013). Akibatnya, laju investasi tertahan dan memperburuk pertumbuhan perekonomian.

Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden memunculkan ketidakpastian dalam kewenangan penetapan dan pengesahan perpanjangan masa jabatan presiden, seluruh lembaga negara yang dipilih melalui pemilu akan berakhir masa jabatannya pada 2024, sehingga melahirkan kekosongan pemerintahan. Delegitimasi pemerintah, instabilitas, dan terganggunya keamanan publik dapat menghambat perputaran roda perekonomian yang memerlukan keterlibatan hukum.

Pandemi Covid-19 telah memengaruhi integritas pemilu di seluruh penjuru dunia. Hanya pelaksanaan pemilu sebagai bentuk perwujudan demokrasi atau penetapan tanggal baru yang dapat memberikan stabilitas yang disertai dengan memperhatikan sumber daya dalam komunitas internasional, investasi dan pelibatan para pemangku kepentingan. Menurut survei yang dilakukan oleh LSI, banyak masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Dengan adanya penolakan yang besar dari elemen masyarakat, tentu hal tersebut dapat mempengaruhi stabilitas. Sehingga dengan tidak menunda Pemilu 2024, gejolak perpecahan tersebut akan terhindarkan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//