• Cerita
  • Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan

Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan

Warga Dago Elos kini kembali siaga menghadapi penggusuran atas sengketa lahan yang sebelumnya telah mereka menangkan di pengadilan kasasi.

Dago Elos, Kota Bandung, Senin (13/6/2022). Warga Dago Elos gelisah setelah putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang memenangkan penggugat. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau14 Juni 2022


BandungBergerak.idKurniasih (72) begitu kaget ketika menerima kabar putusan Mahkamah Agung (MA), yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari pihak penggugat, terhadap putusan MA yang sebelumnya memenangkan warga di tingkat kasasi, pada 2020 lalu. Ia was was, rumah yang dibangun dan ditempati sejak 1983 silam, terancam digusur.

Terbata-bata dan tak kuasa menahan air mata, Kurniasih mengaku begitu sakit hati mengetahui putusan PK Nomor 109/PK/Pdt/2022 yang menetapkan Heri Hermawan Muller cs berhak atas kepemilikan objek tanah Eihendom Verpoding nomor 3740, 3741, dan 3742 seluas 6,3 hektare. Dalam putusan juga menyebutkan bahwa pihak Heri Muller cs berhak mengajukan permohonan hak untuk sertifikat objek tanah tersebut.

Kini tanah seluas 6,3 hektare yang terbagi dalam tiga verponding: nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.789 meter persegi, yang mana sertifikat tanahnya dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934, diputuskan sah menjadi milik penggugat.

“Perasaan sakit hati, tadinya sudah dapat (menang), sekarang menerima kekalahan, merasa sakit hati luar biasa,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id, ditemui di Dago Elos, Senin (13/6/2022).

Kurniasih menjadi salah satu warga dari 331 KK yang menjadi tergugat dalam sengketa lahan yang diklaim oleh keluarga Muller. Tadinya pada 2020 lalu, MA melalui putusan kasasi nomor 934.K/Pdt/2019 mengeluarkan putusan memenangkan gugatan warga atas lahan yang diklaim.

Kabar ini begitu memukul Kurniasih. Ia menceritakan betapa beratnya kesulitan yang ia hadapi saat membangun rumahnya dulu. Waktu itu ia dan anak-anaknya ditingal pergi selama 4 tahun oleh suami yang harus kerja di luar daerah. Pembangunan rumah menggunakan uang yang dikumpulkan sedikit-sedikit dari gaji suami, setelah dibagi untuk membiayai empat orang anaknya.

Tanah yang ditempati sudah 39 tahun tersebut, dulunya ia beli dari penggarap lahan. Kurniasih tak punya lagi tempat untuk pulang jika rumahnya terkena gusur karena putusan pengadilan. Ia akan terus bertahan, melawan dan memperjuangkan hak dan ruang hidupnya.

“Mau bertahan. Iya mau (melawan). Sampai ke Pak Jokowi saya mau. (Karena ini hak ibu) ya, dari dulu kan tahun 83 nggak ada yang punya, tapi saya beli,” ungkap Kurniasih.

Sejak putusan pengadilan yang memenangkan penggugat, Kurniasih susat tidur, tidak enak makan memikirkan satu-satunya tempat tinggal yang dimilikinya.

“Tidur susah, makan juga, aduh, kalau mikir mau pindah, pindah ke mana. Orang tua pada ga ada, saudara-saudara sudah pada ke mana,” ucapnya.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #52: Nevi Aryani, Pengabdian Seorang Guru Honorer
Banjir dan Tenggelamnya Filosofi Sunda pada Masyarakat Modern
CERITA DARI BANDUNG BARAT #1: Para Pemuda Perawat Tradisi di Kampung Pojok

Putusan PK Mahkamah Agung yang memenangkan Heri Hermawan Muller cs membuat warga Dago Elos resah dan sakit hati. Mereka siap mempertahankan tanah dan rumah, Senin (13/6/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Putusan PK Mahkamah Agung yang memenangkan Heri Hermawan Muller cs membuat warga Dago Elos resah dan sakit hati. Mereka siap mempertahankan tanah dan rumah, Senin (13/6/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Ibu-Ibu Bertahan dan Berjuang

Sama halnya dengan Kurniasih, Iroh (74) yang lebih lama tinggal di kawasan Dago Elos, merasa sakit hati dengan keputusan Mahkamah Agung. Sejak masih muda, Iroh menempati rumah dari pemberian orang tuanya. Orang tua Iroh mendapatkan tanah dan rumah dari membeli.

Iroh sendiri memiliki lima orang anak, suaminya telah meninggal dunia. Di rumah, kini ia tinggal bersama anak dan cucunya. Kemenangan pengadilan pada 2020 sebelumnya, sempat membuatnya lega dan bersyukur. Namun kini semuanya sirna.

“Ibu mah sakit hatinya lebih dari sakit hati, dengar sudah tos dapet (menang). Ari ini denger lagi gini, sudah ya Alloh terima kasih. Tapi dengar gini, saya yang sakit saya yang marah. Nggak enaklah, ibu sampai bubuk istilah Sundanya, ibu mau di sini. Mau ke mana juga,” kata Iroh.

Hal sama disampaikan Komariah (50). Perempuan yang bekerja sebagai buruh harian rumah tangga ini begitu terpukul dengan hasil putusan PK Mahkamah Agung. Dulu, ketika warga kalah pada gugatan di Pengadilan Bandung yang memenangkan keluarga Muller, warga harus membayar kerugian sebesar 238 juta rupiah. Komariah ikut bergabung bersama warga mengamen dan mencari uang untuk menutupi biaya pengadilan.

Tak hanya itu, ia aktif ikut berdemonstrasi bersama aliansi, dan warga lainnya untuk memperjuangkan hak atas ruang hidup. Hasilnya, kemenangan pada saat kasisi di MA 2019 lalu.

“Iya, ibu kan ikut ngeclek (ngamen). Same kehujanan kepanasan, ibu ikutan demo ke BPN, terus ke Pengadilan Bandung, terus ke Gasibu, huhujanan papanasan, ikut. Tiba-tiba ada ini (putusan PK), gelisah sekarang tidur teh,” ceritanya.

Bagaimana ia tak gelisah, rumah yang ia tempati dibangun dari hasil pesangon suaminya terkena PHK ketika menjadi Satpam di salah satu bank. Sekitar 12 juta rupiah uang pesangon digunakan untuk membangun rumah. Rumah tersebut kini ia tempati bersama keluarga dan juga keluarga adiknya.

Komariah memiliki empat orang anak. Si bungsu masih duduk di kelas 5 sekolah dasar. Sementara sang suami hanya bekerja sebagai buruh harian lepas. Komariah pun harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, paling tidak untuk menambal biaya dapur atau jajan si bungsu.

Komariah merasa untuk menyambung hidup saja sudah berat. Ia tak kuasa jika harus kehilangan rumah nantinya.

Putusan PK Mahkamah Agung yang memenangkan Heri Hermawan Muller cs membuat warga Dago Elos resah dan sakit hati. Mereka siap mempertahankan tanah dan rumah, Senin (13/6/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Putusan PK Mahkamah Agung yang memenangkan Heri Hermawan Muller cs membuat warga Dago Elos resah dan sakit hati. Mereka siap mempertahankan tanah dan rumah, Senin (13/6/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Masa Depan Anak-Anak yang Terancam Terenggut

Warga Dago Elos RW 02 yang tergugat tersebar RT 01 dan RT 02. Kebanyakan warga menggantungkan hidupnya dari bekerja di seputaran Dago, terminal, dan lainnya. Warga kebanyakan, menjadi buruh harian lepas, menjaja dagangan kecil-kecilan, seperti menjual kopi di sekitaran terminal. Juga menjadi sopir.

Nino (41), seorang ibu rumah tangga, tinggal bersama ibunya, Iroh. Tak kuasa menahan tangisnya ketika berbincang dengan BandungBergerak.id. Untuk makan sehari-hari saja ia kebingungan, apalagi harus menghadapi kondisi kehilangan rumah.

“Mau ke mana, neng? Mungkin pergi dari sini, jangankan untuk ngontrak puluhan juta, buat sebulan saja 1 juta, uangnya dari mana? Makan juga masih sukurlah masih bisa makan. Mungkin buat pejabat mah gak jadi masalah neng, kalau buat kita mah beban berat neng,” ungkap Nino, sesekali menyeka air mata.

Suaminya Nino bekerja sebagai sopir pribadi dari rumah ke rumah dengan pendapatan tak menentu. Sementara ia masih memiliki tanggungan, satu orang anaknya masih duduk di bangku kelas 2 SMK. Peliknya persoalan dapur, lalu dihantam persoalan sengketa lahan, membuatnya berpikir akan nasib anaknya ke depan.

Mungkin jika tak punya anak yang harus diurus, ia bisa saja menjadi pekerja pembantu rumah tangga. Apa pun ia kerjakan yang penting halal. Namun, anaknya belum mandiri dan membutuhkan peran orang tua.

“Kalau seandainya sampai digusur ya janganlah. Minta pertolongan, jangan sampai (digusur). Mending kalau kita bawa badan sendiri, kalau anak kan belum bisa mandiri, masih pada kecil butuh biaya, butuh perlindungan, apalagi sekolah belum beres,” ungkap Nino.

Nino berkali-kali memohon pengertian dari semua pihak, terkhusus bagi mereka yang berkuasa. Ia berharap ada empati dari semua pihak agar mau mengerti kondisi warga yang sudah sulit.

Jika penggusuran dilakukan, anak-anak termasuk yang paling dikorbankan. Saat ini di Dago Elos ada lahan-lahan yang biasa dipakai anak-anak bermain dan tumbuh. Nino tak kuasa membayangkan nasih anak-anak yang harus tergerus ruang bermainnya.

Menurutnya, bagi orang kaya mungkin tidak terlalu berdampak kehilangan satu dua petak tanahnya. Namun bagi orang kecil seperti Nino, kehilangan beras satu liter saja sudah menjadi beban berat.

“Sekarang bisa makan. Buat besok kan kita masih mikir kita bisa makan nggak. Kalau orang kaya kan nggak, tempatnya di mana-mana mungkin. Masa kita punya segini sepetak mau diobok obok, dirampas neng. Jangan, tolong aja jangan sampe, mau ke mana,” kata Nino.

Saling Menguatkan bersama Solidaritas

Pukul 12.00 WIB, warga mulai berjaga-jaga dengan membangun posko solidaritas. Hal itu untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti eksekusi lahan secara tiba-tiba, juga sebagai komitmen bersama untuk terus berjuang.

Bapak-bapak sibuk mengecat posko. Sementara ibu-ibu menyiapkan santap siang untuk dikonsumsi bersama dengan para warga, juga aliansi yang bersolidaritas.

Perwakilan dari Aliansi untuk Warga Dago Melawan, Jibril mengungkapkan bahwa ia bersama solidaritas lain juga warga begitu kaget dengan adanya putusan PK dari Mahkamah Agung. Mendengar adanya putusan terbaru ini, membuat ia dan kawan solidaritas lain kembali akan hadir untuk memberikan dukungan pada warga.

Beberapa rencana dan langkah hukum akan disiapkan menghadapi putusan tersebut. Untuk langkah hukum akan didiskusikan bersama LBH Bandung selaku kuasa hukum. Sementara langkah nonlitigasi, atau langkah lain di luar jalur hukum, pihaknya akan memperkuat kembali solidaritas warga. Menumbuhkan dan menguatkan warga untuk terus memperjuangkan hak mereka.

Jibril memahami betul bahwa penguatan akar rumput yakni di lingkup warga sendiri harus terus dilakukan. Hal yang sama yang dilakukan ketika ia dan solidaritas lainnya mengawal kasus sejak awal 2017 lalu.

“Ke depan kami dari solidaritas akan kembali memperkuat di warga sendiri, karena ini perlu, selain jalur hukum. Agar warga mau terus berjuang bersama untuk mendapatkan hak mereka,” ungkapnya.

“Posko kembali kami hidupkan, karena ini untuk menjaga dan mengatisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Kami juga dikuatkan oleh kemauan yang tinggi dari warga. Jadi saling menguatkan,” tambah Jibril.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//