• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (26): Bersolidaritas Buku di Festival Kampung Kota Dago Elos 2017

MEMORABILIA BUKU (26): Bersolidaritas Buku di Festival Kampung Kota Dago Elos 2017

Festival Kampung Kota Dago Elos sebagai solidaritas untuk warga Dago Elos yang berjuang mempertahankan ruang dari pengembang.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Panitia Festival Kampung Kota sedang memasang poster lapakan buku komunitas di dinding balai RW, berlatar spanduk perlawanan (Sumber Foto: Deni Rachman).

9 Januari 2022


BandungBergerak.idMengawali tahun baru 2022, saya akan coba menuliskan ingatan ke masa 4 tahun ke belakang. Akhir tahun 2017 menjelang tahun baru 2018. Masa ketika para pelapak buku turut bersolidaritas berbagi hasil penjualan buku untuk membantu aksi mencari dana usaha warga Dago Elos membayar biaya pengadilan dari gugatan sekelompok orang, yang sekonyong-konyong mengklaim tanah milik mereka. 

Ajakan lapakan solidaritas itu bermula dari Iiw Tualang Buku, salah seorang pentolan Sarekat Buku. Selain LawangBuku dan Tualang Buku yang melapak, ada Jaringan Buku Alternatif, Ultimus, Ruang Raung, Munisipal Book, Penerbit Parabel, Aliansi Literasi Surabaya, Grimloc, Perpustakaan Jalanan Bandung, dan Rumah Kultur. Kami menggelar lapakan ini di puncak acara 3 hari menjelang penutupan Festival Kampung Kota, 22-24 Desember 2022.

Meja lapakan buku dan cederamata pada Festival Kampung Kota di Dago Elos. (Sumber foto: Deni Rachman)
Meja lapakan buku dan cederamata pada Festival Kampung Kota di Dago Elos. (Sumber foto: Deni Rachman)

Sekilas Dago Elos dan Permasalahan Tanah  

Dago Elos bukanlah tempat yang baru bagi saya. Sekira tahun 2003-2005, saya sempat tinggal indekost di Dago Elos V tepat di belakang Pom Bensin. Sambil kuliah menjelang tingkat akhir, saya tetap menjalankan usaha kecil-kecilan menjadi distributor buku. Kamar kecil seukuran 3 x 5 meter disulap setengahnya untuk rak-rak tempat menyimpan stok buku.   

Secara geografis Dago Elos terletak di sebelah utara Kota Bandung. Untuk menempuh ke sana, dari Simpang Dago ke atas dapat menaiki angkot jurusan Dago-Kalapa sekira 15 menit. Kawasan kampung kota Dago Elos tepat berada jajaran Pasar Elos Terminal Dago. Terbagi menjadi Dago Elos I – Dago Elos V, dicirikan oleh lima jalan kecil masuk seukuran mobil.

Nama Elos sendiri bisa jadi berasal dari nama los pasar semacam bangsal alias rumah besar memanjang. Menurut siaran pers LBH Bandung, tanah di kawasan Dago Elos pernah tercatat milik N.V. Cement Tegel & Materialen Handel “Simongan”.

Dago Elos berada di dataran tinggi yang menghubungkan Jalan Dago (Jalan Ir. H. Djuanda) dengan tiga tujuan jalan lain selepas Terminal Dago: Jalan Citra Green, Jajaway/Dago Giri/Dago Bengkok, dan Dago Pakar. Saat itu belum ada pembukaan Jalan Citra Green yang menghubungkan ke Punclut dan Lembang. Saat itu pula belum berdiri megah apartemen The Maj yang mangkrak karena terhambat syarat ruang terbuka hijau.

Gelaran musik berlangsung nonstop selama lapakan buku berlatarkan panggung, rumah warga, dan apartemen The Maj. (Sumber: Deni Rachman)
Gelaran musik berlangsung nonstop selama lapakan buku berlatarkan panggung, rumah warga, dan apartemen The Maj. (Sumber: Deni Rachman)

Di seberang Dago Elos ada Dago Tea House dan Taman Budaya Jawa Barat, serta komplek perumahan dosen Unpad yang terletak di Bukit Dago Utara dan Selatan. Salah seorang dosen dan tokoh bahasa Indonesia legendaris, J.S. Badudu (alm.) pernah tinggal di komplek itu. Taman Budaya Jawa Barat menjadi sarana hiburan saya saat itu untuk menonton beragam pagelaran tradisional Jawa Barat saban malam Minggu. Di tahun 2004, LawangBuku pernah pula mendapat satu ruangan gudang buku sekaligus mengelola perpustakaan Taman Pustaka yang dikelola bersama komunitas LinkArt.

Sejak tinggal di Dago Elos yang akrab bagi saya saat itu tak menyisakan banyak masalah. Saya baru dikagetkan oleh berita di tahun 2017 berupa menangnya gugatan keluarga George Hendrik Muller (keturunan Jerman yang orang tuanya sudah hidup sejak masa Hindia Belanda) di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, atas klaim tanah miliknya kepada warga Dago Elos. Keluarga Muller mengklaim bahwa tanah seluas 6,3 hektare di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka.

Ratusan keluarga Dago Elos terancam digusur oleh putusan PN Bandung tersebut. Ada kabar sumir tentang isu pembangunan properti di sana, selain sudah berdirinya apartemen The MAJ. Ketenteraman warga Dago Elos terganggu. Bayangan saya tentang Dago Elos yang adem ayem- tentrem, tiba-tiba berubah seketika.      

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (23): Berkelana ke Bandung Tempo Dulu di Kota Baru Parahyangan
MEMORABILIA BUKU (24): Moro Rezeki di “Moro Referensi” Unisba 2017
MEMORABILIA BUKU (25): Kaleidoskop Buku Bandung 2021, Menggelar Lagi Pameran Buku

Anak-anak sedang mengerubungi lapakan LawangBuku pada Festival Kampung Kota di Dago Elos. (Sumber foto: Deni Rachman)
Anak-anak sedang mengerubungi lapakan LawangBuku pada Festival Kampung Kota di Dago Elos. (Sumber foto: Deni Rachman)

Festival Kampung Kota 2017

Ajakan melapak buku guna menggalang solidaritas kemanusiaan di Dago Elos langsung saya iyakan saat itu. Kekalahan warga atas gugatan hukum tersebut berbuah dukungan luas dari banyak lapisan warga Bandung lainnya. Selama sebulan dari 26 November hingga 24 Desember, aksi inisiatif pegiat seni dan budaya menyelenggarakan Festival Kampung Kota yang berlokasi di Lapangan dan Balai RW di Dago Elos I.

Dukungan warga untuk warga dalam bentuk perayaan festival semacam ini merupakan hal baru bagi saya. Ada rasa yang kuat untuk saling menemani, sebagai orang yang pernah tinggal di Dago Elos; saling menguatkan warga di sana, bahwa mereka tak berjuang sendiri. Festival ini menjadi seperti alarm bahaya bagi warga kampung kota di Bandung. Hari itu upaya penggusuran rumah terjadi di Dago Elos, bukan tidak mungkin nanti pun akan menimpa warga lainnya di belahan kampung kota Bandung lainnya. Mengatasnamakan pembangunan.

Lapakan buku dan cenderamata ditempatkan di lokasi serupa gang, disediakan di sebelah kanan lapangan RW. Berjejer-jejer kiri dan kanan meja-meja tak berukuran sama, memanjang dari pintu masuk hingga batas balai RW. Di pintu masuk, panitia menjual aneka poster dan cenderemata lainnya. Di lapangan berlangsung pagelaran musik, di dinding-dinding diterakan spanduk perlawanan, di dalam balai RW berlangsung pameran foto dan diskusi-diskusi.

Riuh, hangat panas, bergelora. Warga dari luar Dago Elos berduyun-duyun datang. Ada yang berela antre panjang di lapakan Grimloc. Sedangkan warga di sana, mulai dari anak-anak hingga dewasa turut berbaur dalam festival. Kecemasan penggusuran bisa jadi tetap ada, namun setidaknya kebersamaan di sini menjadi pemecah suasana.

Antrean pengunjung membentuk huruf U, menunggu dibukanya penjualan produk Grimloc. (Sumber Foto: Deni Rachman).
Antrean pengunjung membentuk huruf U, menunggu dibukanya penjualan produk Grimloc. (Sumber Foto: Deni Rachman).

Lapakan Buku dan Dana Kolektif

Selain membawa buku-buku bertema sosial-politik, saya sengaja membawa buku-buku murah mulai dari harga seribu rupiah. Ada berapa buku juga yang saya bawa untuk bonus jika ada anak-anak warga di sana yang mau jajan buku. Dan betul rupanya, buku-buku yang dipasangi label Rp 1.000, dikerubungi anak-anak. Sukacita mereka ketika mendapatkan buku menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya.

Menjelang siang, saya menjeda sebentar untuk isoma (istirahat, solat, makan). Saya berkeliling kampung bersama Indra Prayana ke bagian sisi kanan lapang. Di sana ada masjid jami dan warung-warung kecil. Gang-gangnya terhubung ke Jalan Dago Elos II yang terletak di belakang dan samping Pasar Elos Terminal Dago. Untuk makan berat, kawan Iiw mengajak saya ke warung nasi padang yang murah, terletak di mulut Jalan Dago Elos I.

Saat lapakan buku, saya sempat kedatangan Mas Buldanul Khuri sang pendiri penerbit Bentang asal Yogyakarta. Mas Bul datang bersama Andrenaline Katarsis. Setelah itu Mang Ucok sempet juga mampir membeli beberapa buku. Di akhir acara lapakan, panitia mengumpulkan donasi hasil penjualan buku yang kemudian dikolektifkan bersama donasi lainnya, diserahkan oleh Mang Ucok kepada warga Dago Elos sambil meneriakkan pekik:

"Hidup warga Dago Elos!

Hidup warga Bandung,

Hidup solidaritas,

Panjang umur perlawanan,

Jangan diam!”

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//