• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (23): Berkelana ke Bandung Tempo Dulu di Kota Baru Parahyangan

MEMORABILIA BUKU (23): Berkelana ke Bandung Tempo Dulu di Kota Baru Parahyangan

Di event tahun 2014, saya dan Pak Murwidi diberi satu stand yang terbuat dari bambu, dinaungi tenda besar yang memanjang.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Pintu masuk menuju area Lorong Bandung Baheula dengan gerbang yang mirip gedung Jarbeurs (Foto: 20/4/2014). (Sumber Foto: Deni Rachman).

19 Desember 2021


BandungBergerak.idBertempat nun jauh dari pusat Kota Bandung, para pegiat lawasan mulai dari pedagang buku, pedagang barang antik, komunitas sepeda ontel, komunitas sejarah Historia Van Bandoeng, hingga kolektor mobil antik berkumpul di Kota Baru Parahyangan dalam satu acara Festival Bandoeng Baheula 2014.  Saat itu untuk pertama kali saya diajak berkolaborasi oleh (alm.) Pak Murwidi – pemilik penerbit Khazanah Bahari yang mencetak buku-buku karya Pak Sudarsono Katam – turut berpartisipasi berjualan buku di festival itu.

Di satu kawasan perumahan yang berlokasi di wilayah Padalarang Bandung Barat, festival digelar dalam rangka menggugah perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap sejarah Bandung. Aroma nostalgia sudah sangat terasa ketika saya memasuki area stand di hunian koridor Bandoeng Tempo Dulu. Hunian berarsitektural art deco dibuat seakan-akan saya masuk mesin waktu menuju masa lalu.

Di depan pintu masuk area festival, dibangun gerbang yang dibuat seperti gedung Jaarbeurs. Jaarbeurs sendiri merupakan pameran dagang yang menjadi objek wisata di Kota Bandung, diselenggarakan dari tahun 1920-1941. Pameran tahunan di masa Bandung tempo dulu itu dikunjungi oleh wisatawan dari dalam Hindia Belanda dan mancanegara (Sudarsono Katam, 2010).

Seakan-akan menautkan dengan momen bersejarah itu, Festival Bandoeng Baheula diselenggarakan setahun sekali menarik benang merah sejarah kota antara kini dan ‘baheula’. Jika dulu Jaarbeurs biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli, sedangkan festival ini selalu diselenggarakan di bulan April atau Maret.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (20): Menjadi Panitia Pameran di Konferensi Internasional Budaya Sunda 2011
MEMORABILIA BUKU (21): Pertama Kali Masuk Televisi
MEMORABILIA BUKU (22): Soemardja Book Fair, Gelaran Buku Kolektif di ITB 2017-2019

Poster digital yang dipadukan dengan kliping informasi festival yang dimuat di harian Kompas (17/4/2013). (Foto: Deni Rachman).
Poster digital yang dipadukan dengan kliping informasi festival yang dimuat di harian Kompas (17/4/2013). (Foto: Deni Rachman).

Diajak Melapak Buku

Persahabatan buku antara saya dengan Pak Murwidi terjalin berkat perantaraan Pak Sudarsono Katam. Saat itu saya mulai bergiat lagi di pameran buku di Landmark Braga antara tahun 2010-2012, stok buku di stand saya sering disokong oleh Pak Katam. Di luar pameran, untuk menambah daya jual di Facebook saya pun mendapatkan buku-buku lawas nan langka dari toko g-books milik Pak Katam. Toko buku kecil itu terletak di samping rumahnya. Di situlah satu waktu saya diberi nomor kontak Pak Murwidi.  

Tak lama setelah mendapatkan nomor kontak, saya menghubungi Pak Murwidi dan berkunjung ke rumahnya di daerah Bukit Dago Selatan. Rumah yang letaknya agak tinggi dari jalan, dibatasi oleh halaman luas dan pagar besi yang tinggi.

Saya dipersilakan masuk melewati pintu rumah utama, lurus menuju garasi dan udakan tangga menuju satu bangunan mirip paviliun. Dengan senyumnya yang khas dan bahasa tutur yang agak formal, kami berbincang-bincang sambil minum teh, dikelilingi oleh rak-rak besar yang berisi buku-buku. 

Dari situlah saya baru tahu, bahwa buku Album Bandoeng Tempo Doeloe karya Pak Katam yang terbit pertama kali di tahun 2005 ternyata diterbitkan oleh tangan dingin Pak Murwidi. Hanya saja saat itu berbendera penerbit Navpress Indonesia. Saya yang kala itu menjadi distributor buku, turut memasarkannya dari Kang Daniel Pinem sebagai marketing penerbit yang berkantor di Jalan Cihampelas. Setiap pameran saya dibekali tak hanya stok buku oleh Kang Daniel, namun juga x-banner dan bingkai-bingkai berfoto Bandoeng Tempo Doeloe. Buku dengan rasa klasik ekslusif ini masuk kategori buku laris manis.

Yang kemudian saya ketahui juga, rupanya Pak Murwidi adalah menantu J.S. Badudu. J.S. Badudu merupakan maestro bahasa yang dulu saya ingat semasa kecil kerap mengasuh acara Bahasa Indonesia di TVRI. Pak Murwidi yang beristrikan Sari Badudu, turut membangun penerbit Khazanah Bahari; di antaranya saya sering melihat namanya tercantum sebagai editor di halaman kolofon. 

Kerja sama dengan Pak Murwidi semakin intens, dan saling berkunjung balik ke toko saya di Baltos dan pameran buku di Landmark. Suatu waktu, Pak Murwidi menawarkan saya menemaninya berpameran di Kota Baru Parahyangan yang stand-nya tak dipungut biaya alias gratis. Mengingat judul pamerannya berkaitan dengan sejarah dan Bandung tempo dulu, membuat saya langsung menerima tawaran itu. 

Teknis pulang-pergi diatur. Berhubung saya akan membawa banyak buku maka kami putuskan untuk bertemu langsung di lokasi. Pak Murwidi membawa kendaraan sendiri. Dan saya merental mobil bak terbuka untuk membawa beberapa rak buku yang cukup besar. Biaya dari Baltos ke Kota Baru lumayan mahal, tak seperti sekarang yang bisa memakai jasa Go-Box atau delivery yang ongkosnya jauh lebih murah. Sedangkan untuk pulang di hari pertama dan keberangkatan di pagi hari kedua, saya turut menumpang kendaraan Pak Murwidi.

Stand gabungan Khazanah Bahari & LawangBuku yang menjual aneka buku tematik Bandung, buku lawas, dan majalah saat berpameran di Festival Bandoeng Baheula 2014. (Foto: Deni Rachman).
Stand gabungan Khazanah Bahari & LawangBuku yang menjual aneka buku tematik Bandung, buku lawas, dan majalah saat berpameran di Festival Bandoeng Baheula 2014. (Foto: Deni Rachman).

Sekilas Festival Bandoeng Baheula

Seingat saya, cikal bakal festival ini bermula dari rintisan acara yang dibuat oleh Mahanagari dan Kota Baru Parahyangan antara bulan Januari hingga Maret 2007. Mahanagari sebagai satu gerai kaos dan cenderamata yang mengangkat serba Bandung menggagas acara yang bernama “Bandung Pisan”.

Selain membuat acara ngobrol bareng para narasumber yang kompeten perihal sejarah Bandung, acara ini berlanjut menjadi sebuah event “Tahoen Baroe Petjinan” di Kota Baru Parahyangan, 23 hingga 25 Februari 2007. Saya sempat takjub juga logo LawangBuku bisa terpampang secara massif. Rasanya seperti bertengger di pundak raksasa, promosi acara ini tak main-main bisa nongol di koran Kompas, Pikiran Rakyat, bahkan dipampang di baligo besar di salah satu titik kilometer jalan tol.    

Baru di tahun 2012, event ini terang-terangan memakai nama Bandoeng Tempo Dulu. Dari penelusuran dokumen flyer, kliping koran, website Kota Parahyangan, dan Kalawarta 2013 yang saya dapatkan dari Mang Yadi dan Kang Danis; event ini terselenggara hanya selama 4 tahun dari 2012 hingga 2015, kesemuanya bertempat di koridor Bandoeng Tempo Doeloe Kota Baru Parahyangan:

1. BDG MOOI! Festival Bandung Baheula, 28 - 29 April 2012, berisikan mata acara musik, jajanan, karnaval, komunitas baheula, bazar, pameran, dan kontes graffiti.

2. FESTIVAL BANDOENG BAHEULA 2013, 6 – 7 April 2013, menampilkan acara festival jajanan baheula, kompetisi kaulinan baheula, parade sapedah baheula, pameran mobil baheula, pameran foto Bandoeng baheula, pameran barang antik, diskusi sejarah, jual beli barang baheula, botram bersama, pemutaran film baheula, penampilan musik oleh Bimbo, Mat Bitel, 4 Peniti, Time Bomb Blues, angklung, keroncong “The Oxygen” dan lain-lain.

3. Di festival ini terdapat wahana lorong waktu yang di dalamnya serupa ruangan indoor tidak permanen, berisikan timeline sejarah Kota Bandung didesain dan diriset oleh Mahanagari dari tahun 1810 hingga? yang di tempel di dinding lorong. Sedangkan di tengahnya dipamerkan aneka barang tempo doeloe mulai dari buku, mainan jadul, sepeda jadul, dsb.

4. FESTIVAL BANDOENG BAHEULA 2014, 19 – 20 April 2014, berisikan acara Lorong Bandung Baheula, pameran mobil dan barang antik, festival jajanan baheula, kaulinan baheula, parade sapedah ontel, jual beli barang baheula, seventies and eighties days, dan pemutaran film baheula. Penampilan istimewa menghadirkan Ebit G. Ade, KSP Band, The Mat Bitel, Iwan Presley, The Kroncongers Indonesia.

5. FESTIVAL BANDOENG BAHEULA 2015. 28 hingga 29 Maret 2015, menampilkan Lorong Bandoeng Baheula, pameran mobil dan barang antik, festival jajanan baheula, kaulinan baheula, parade sapedah ontel, jual beli barang baheula, 70’s & 80’s Days, dan pemutaran film baheula.

Di area panggung ditampilkan Deddy Dhukun, Mus Mujiono, Rock & Keroncong Simphony Orchestra, cover Genesis by Paperlate, cover U2 by Ameshagi, dan lain-lain. Di tanggal 28 Maret para pengunjung menikmati suasana Poek Mongkleng di Festival Bandoeng Baheula pada hari Sabtu 28 Maret 2015, pukul 20.30 sampai 21.30 dalam rangka mendukung kegiatan Earth Hour.

Penulis dengan Pak Murwidi (alm.) sedang duduk santai menjelang malam hari kedua di muka sebelah kiri stand. Festival bandung Baheula saat itu berlangsung hingga pukul 21.00. (Sumber : Deni Rachman).
Penulis dengan Pak Murwidi (alm.) sedang duduk santai menjelang malam hari kedua di muka sebelah kiri stand. Festival bandung Baheula saat itu berlangsung hingga pukul 21.00. (Sumber : Deni Rachman).

Stand Khazanah Bahari & LawangBuku

Dari kronik event di atas, saya mengikuti pameran buku di sana yaitu yang pertama pada tahun 2007 bertempat di Bale Pare, dan kedua pada 2014 yang bertempat di koridor Bandoeng Tempo Doeloe.

Di event tahun 2014, saya dan Pak Murwidi diberi satu stand yang terbuat dari bambu, dinaungi tenda besar yang memanjang. Melihat dari mata acara, buku barangkali masuk ke kategori jual beli barang antik. Bisa jadi yang menjual buku hanya stand kami saja, karena sebagian besar stand menjual aneka barang antik nonbuku. Kabarnya, seluruh peserta pedagang barang antik itu diboyong langsung dari Pasar Antik Cikapundung.

Posisi stand yang membentuk hook dengan dua muka, membagi posisi pajangan kami masing-masing. Pak Murwidi yang membawa stok buku-buku baru dipajang di muka yang menghadap ke jalur lalu lintas pengunjung, sedangkan saya yang membawa buku-buku dan dokumen lawas sebagian di muka depan dan sebagian besar lagi di muka kiri dan di bagian dalam. 

Buku-buku yang dijual Pak Murwidi tentu saja buku terbitan Khazanah Bahari di antaranya: Album Bandoeng Tempo Doeloe, Oud Bandoeng dalam Kartu Pos, Pada Suatu Hari, dan Bandung dalam Hitam Putih. Buku karya M. Ryzki Wiryawan berjudul Okultisme di Bandoeng Doeloe dan Album Bandoeng en omstreken karya Pak Katam saat itu belum terbit.

Sedangkan saya membawa buku lawasan seperti Semerbak Bunga di Bandung Raya, Dibawah Bendera Revolusi (2 jilid), Tanah Air Kita, Sejarah Pos Indonesia (5 jilid), buku 3 jilid karya Joseph Stalin, bundel koran mingguan Kudjang tahun 1975, Autowagen Atlas, dan lain-lain.

Waktu pameran yang singkat hanya 2 hari saja, membuat rasa kangen ingin melapak buku lagi di sana. Di tahun 2015 bisa jadi merupakan acara terakhir festival yang mengangkat khazanah sejarah dan budaya Bandung tempo dulu di Kota Baru Parahyangan. Begitupun kerja sama dengan Pak Murwidi di tahun-tahun selanjutnya tidak intens lagi. Saya menutup toko di tahun 2016, dan ia menonaktifkan penerbitannya. Pak Murwidi sempat beralih profesi, tak di buku lagi. Di penghujung tahun 2020, saya di-DM oleh Pak Katam bahwa pria bernama lengkap Murwidi Udi Narnowo dikabarkan meninggal dunia. Ada rasa kehilangan yang mendalam mendengar kabar kepergian orang yang sangat baik dan banyak menaruh perhatian terhadap perbukuan tematik Bandung. Selamat jalan Pak Murwidi.   

Editor: Redaksi

COMMENTS

//