• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (21): Pertama Kali Masuk Televisi

MEMORABILIA BUKU (21): Pertama Kali Masuk Televisi

Betul ada isu televisi versus buku, tapi sebenarnya televisi bisa menjadi media efektif untuk menyebarkanluaskan kabar dunia perbukuan.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Aang, presenter “Bandung Teaa” STV Bandung, dan penulis sedang melakukan proses syuting di lapak LawangBuku di tengah pameran Stok Buku Bandung 2006 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (7/6/2006). (Sumber foto: dokumentasi Deni Rachman)

5 Desember 2021


BandungBergerak.id - Wargi Bandung barangkali masih ada yang ingat program televisi “Bandoeng Teaa” yang ditayangkan stasiun lokal STV Bandung di tahun 2005-an. Saban Jumat jam 19.00, sang presenter Aang akan memandu para penonton setia, mengupas pelbagai khazanah unik Kota Bandung. Kala itu, saya kedatangan tim produksi serial favorit televisi lokal ketika saya menyelenggarakan pameran Stok Buku Bandung 2006 di Gedung Indonesia Menggugat. Memorabilia kali ini akan mengulas perjalanan LawangBuku masuk tivi ketika kotak ajaib ini, bersama film di bioskop, masih menjadi media utama tontonan warga sebelum hadirnya platform YouTube atau media sosial lainnya.  

Saat dihubungi pertama kali oleh Kang Atay, sang produser program, bukan main senang hati saya. Pertautan kami ini seingat saya bermula dari toko Mahanagari dan Komunitas Hong. Tentu ini kali pertama saya akan disyuting dan tayang di televisi. Kegirangan itu cukup mewakili dunia masa kanak-kanak jikalau menyaksikan orang terdekat yang masuk televisi. Seperti masuk layar TVRI misalnya.

“Mah, A Dudi masuk tivi…masuk tivi…”, begitu teriak saya sambil berlari menghampiri ibu sambil menunjuk sang kakak sulung yang ada di layar kaca TVRI. Kakak saya masuk tivi menjadi juru bicara Cerdas Cermat babak penyisihan, mewakili sekolahnya SMA 1 Cibadak Sukabumi dan hasilnya dimenangkan oleh SMA 4 Bandung. Lokasi pengambilan syutingnya di TVRI Bandung sekitar tahun 1991. Betapa saya turut berbangga hati, sang Kakak bisa masuk tivi.

Riwayat masuk tivi juga saya alami ketika kelas 2 SD sekitar tahun 1986. Nah, kali itu karya gambar saya yang masuk tivi. Gambar saya berlatar bawah laut diapresiasi langsung oleh Pak Tino Sidin, yang ditayangkan TVRI. “Bagus!”, ujar Pak Tino dengan topi khasnya. Girang betul hati saya saat itu!

Penulis tampil di tayangan yang mengulas buku lawas dan antik di STV Bandung, Rabu (28/8/2013). Televisi dan buku tidak harus dipertentangkan karena ia justru bisa menjadi sarana efektif menyebarluaskan informasi perbukuan. (Sumber foto: Intan Nurhapni)
Penulis tampil di tayangan yang mengulas buku lawas dan antik di STV Bandung, Rabu (28/8/2013). Televisi dan buku tidak harus dipertentangkan karena ia justru bisa menjadi sarana efektif menyebarluaskan informasi perbukuan. (Sumber foto: Intan Nurhapni)

Sekilas Sejarah STV Bandung

Program “Bandung Teaa” yang selalu saya tunggu-tunggu itu merupakan salah satu program STV Bandung yang dipandu oleh Kang Arman atau akrab disapa Aang. Dengan durasi 30 menit, para penonton disuguhi konten sejarah Kota Bandung dengan konsep jalan-jalan. Topik “Bandung Teaa” kemudian berkembang mengangkat wisata atau rekreasi, sosial budaya, dan kuliner.

STV merupakan singkatan dari Sunda Televisi. Pertama kali mengudara pada 18 Maret 2005 di saluran 34 UHF. STV yang sering membuka tayangannya dengan teaser video klip lagu “Manuk Dadali” berlatar tiang pancang Jalan Layang Pasupati, memiliki jargon “One Tune Hade” (plesetan dari “wantun hade” yang artinya berani tampil keren). STV memang mengedepankan budaya lokal Jawa Barat dengan konsep visual yang keren dan nama-nama program yang unik.

Beberapa program khas STV yang saya ingat ada “Pojok Si Cepot” yang revolusioner dengan versi organ tunggal tak banyak membawa rombongan, siaran berita “Damar Parahyangan” yang memakai narasi Bahasa Sunda campur Bahasa ‘mamalayuan’, “Sinemania” yang dibawakan oleh presenter sang Duta Bahasa Jabar: Anarima Destiani Savitri, “Kabayan Nyintreuk” yang dipandu oleh Kang Tisna Sanjaya yang “nyeleneh” berkeliling kota Bandung memotret kondisi sosial dengan sindiran yang ‘menjewer’ bikin panas pemerintahan kota, “Ziggy Wiggy”, “Persib Aing”, “Kuliner Parahyangan”, dan seabrek program menarik khas STV Bandung lainnya.

STV Bandung berkantor di Setrasari Mall Bandung. Pada tahun 2011, televise ini berjejaring dengan Kompas TV, dan tiga tahun kemudian berubah nama menjadi Kompas TV Jawa Barat, seiring dengan hadirnya koran Kompas edisi Jawa Barat. Kantornya setahu saya di tahun 2013 sudah pindah lokasi ke Graha Kompas di Jalan Riau. Dari tahun 2011-2014 itu konten lokal di STV semakin menyusut, termasuk hilangnya program “Bandung Teaa”. Beberapa program baru mengudara, salah satunya adalag “I Love Bandung” yang dibawakan Kang Ridwan Kamil, jauh sebelum ia menjadi Walikota Bandung. Saya pribadi sangat menyayangkan dan merasa kehilangan acara-acara bagus berkualitas di STV itu.

Poster Pameran Stok Buku Bandung 2006 yang berlangsung 5-8 Juni 2006 hasil desain Errithethird. (Sumber foto: dokumentasi Pabukon Hanca)
Poster Pameran Stok Buku Bandung 2006 yang berlangsung 5-8 Juni 2006 hasil desain Errithethird. (Sumber foto: dokumentasi Pabukon Hanca)

Syuting di Pameran Stok Buku Bandung 2006

Stok Buku Bandung merupakan acara pameran, bursa buku, dan diskusi yang digagas oleh Arahman Ali di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) bertanggal 5 hingga 8 Juni 2006. Saya dan beberapa kawan seperti Wiku, Eri, Soni, dan Argus menyambut baik dan menjadi pelaksana kegiatan tersebut.

Ulasan mengenai pameran ini sudah pernah saya dedah di buku Pohon Buku di Bandung (MenaraAPI, 2018). Pameran ini diharapkan akan memperlihatkan kondisi stok buku para pedagang buku di Bandung. Sedianya pameran ini bisa terus berkeliling dari kota ke kota, seperti Stok Buku Semarang, Stok Buku Jakarta, dan seterusnya. Namun hingga kini, rencana itu belum terealisasi.

Pada hari ketiga, 7 Juni 2006, seingat saya pagi itu saya di-SMS oleh Kang Atay. Siangnya Kang Atay bersama kameramen dan Kang Aang sang presenter datang. Kendaraan operasional diparkirkan di halaman GIM.

Syuting berlokasi di lapak LawangBuku yang terletak di salah satu sudut ruangan utama membelakangi jendela. Sekitar jam 14.00, syuting dimulai. Seingat saya, saya ditanya perihal apa yang dijual oleh LawangBuku, termasuk menanyakan buku-buku berbahasa Sunda terbitan Kiblat Buku Utama dan Geger Sunten. Selain buku, saya menjual pin dan poster-poster yang sudah dibingkai. Aang sambil ngobrol membuka-buka buku dan membaca Pokoknya Sunda karya (alm.) Adeng Chaedar Alwasilah. Selebihnya ia menanyakan acara yang sedang berlangsung.

Setelah kurang lebih sejam, Kang Atay beserta tim pamit dan mengabarkan liputannya akan tayang kemudian. Sayang sekali saat ini saya tak mempunyai dokumentasi video tersebut. Saya hanya menyimpan dokumen foto saat syuting, kliping liputan di koran, dan berkas-berkas media publikasi pameran Stok Buku Bandung.

Masuk Televisi (Lagi)

Pada kesempatan lain, di akhir tahun 2012 saya dikontak Anarima ‘Rimme’ Savitri dari I-Channel TV. Lokasi syuting berlangsung di toko LawangBuku saat masih beralamat di bawah eskalator lantai D-2 Baltos. Rimme sebelumnya adalah presenter STV Bandung.

Kali ketiga, di tahun 2013 saya mendapat undangan dari STV Bandung setelah stasiun itu sudah bergabung dengan Kompas TV. Sang produser menelepon saya untuk bercerita soal seluk-beluk buku lawas dan antik. Lokasi pengambilan syuting saat itu di Gedung Graha Kompas Bandung, dipandu oleh dua presenter, dan tayang pada 28 Agustus 2013.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (20): Menjadi Panitia Pameran di Konferensi Internasional Budaya Sunda 2011
MEMORABILIA BUKU (19): Tiga Tahun Menyelenggarakan Hari Buku Sedunia di Bandung
MEMORABILIA BUKU (18): Demo di Depan Gedung Merdeka

Promosi Buku, Kick Andy, dan Jalinan Silaturahmi

Setelah syuting, saya tetap menjalin hubungan baik dengan para jurnalis televisi dan jejak karier mereka di kemudian hari. Kang Atay di kemudian hari bekerja di stasiun TVone, sementara Anarima ‘Rimme’ Savitri membuka usaha mandiri Jazz the Way You Are bersama sang suami Bayu Bharotodiasto.

Liputan ketiga stasiun tivi tersebut berefek langsung terhadap penjualan buku. Jangkauan siaran yang meliputi Bandung Raya dan sebagian kabupaten dan kota, mengundang para pelanggan baru LawangBuku. Ucapan selamat pun datang dari tetangga, kawan-kawan, dan pelanggan setia; menambah semangat terus berjualan buku. Dalam kesempatan ini, saya menghaturkan terima kasih kepada para stasiun tivi yang turut ambil bagian menyiarkan konten buku.

Tentang efek baik promosi buku di televisi ini, bisa saya ambil contoh dari kesuksesan Andrea Hirata saat masuk program “Kick Andy”. Beberapa hari setelah tayangan bincang-bincang novel Laskar Pelangi di Metro TV, penjualan buku Andrea membludak. Dalam sebulan, nyaris 1.000 buku terjual di Toko Buku Gramedia Bandung. Trik menyembunyikan buku di bawah kursi penonton atau Andy F. Noya membuat kuis buku di akhir acara, melahirkan semangat di atnara pembaca buku, penulis, dan penerbit.

Melihat daya promosi buku melalui televisi, alih-alih merasa bosan dengan isu televisi versus buku, saya lebih bersepakat jika televisi bisa menjadi media efektif untuk menyebarkan kabar dunia perbukuan lebih luas hingga ke pelosok Tanah Air. Televisi seperti halnya radio menjadi media vital di era kelisanan kedua, ditambah dengan hadirnya saluran YouTube dan podcast dewasa ini. Kedua saluran media terakhir yang berbea produksi lebih murah menjadi andalan para pegiat buku mengenalkan buku-buku kepada khalayak luas. 

Salambuku!

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//