MEMORABILIA BUKU (18): Demo di Depan Gedung Merdeka
Seorang seniman bermonolog sambil menunjukkan secarik kertas berisi tulisan: “Mari Membaca, Mari Melawan!”. Ia lalu memberikan sebuah buku kepada petugas polisi.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
13 November 2021
BandungBergerak.id - Pagi itu sekumpulan seniman dan pegiat buku berkumpul di pelataran Gedung Merdeka, Bandung. Salah seorang seniman menyampaikan ekspresinya lewat aksi memajang buku satu per satu di dinding gedung. Tak lama, suara peringatan melalui corong di sudut atap gedung terdengar berkali-kali.
Di pintu gedung, sudah duduk beberapa orang polisi berpakaian preman. Mereka yang berseragam sudah berjaga-jaga di seberang sana, di area parkir Bank NISP. Usai aksi, keluarlah dua truk dalmas (pengendalian massa) dari parkiran itu.
Demonstrasi damai dari para seniman dan pegiat buku itu berlangsung pada hari Minggu, 25 April 2010. Dua hari sebelumnya, saya bolak-balik ke bagian reserse Polrestabes untuk sekadar pemberitahuan rencana aksi dalam rangka memperingati Hari Buku Sedunia itu. Saya diterima oleh salah seorang petugas yang usianya masih muda, tampak tampilannya seperti mahasiswa. Untuk menjaga kelancaran aksi, ia memberitahukan bahwa akan dikerahkan beberapa petugas polisi di sekitar area.
Serasa de javu, suasana di kantor reserse itu mengingatkan saya akan peristiwa buku 4 tahun sebelumnya, ketika turut mendampingi kawan-kawan yang ditangkap polisi dalam insiden pembubaran diskusi filsafat Marxisme di Toko Buku Ultimus. Kawan yang saya ingat yang turut diinterogasi selama lebih dari 1 x 24 jam itu, di antaranya ada Arahman Ali dan Didin Tulus. Keesokan harinya, saya menjadi penandatangan surat jaminan selesai interogasi untuk Arahman Ali.
Penangkapan beberapa kawan aktivis itu bermula dari diskusi Marxisme bersama Suprapto Marhaen pada tanggal 14 Desember 2016. Aktivis buruh Kanada yang berasal dari Indonesia ini mengangkat tema tentang gerakan buruh di Kanada. Saat itu peserta yang telah hadir sebanyak 50 orang.
Sebelum acara dimulai pukul 19.00 WIB, di depan Ultimus (Jalan Lengkong Besar) sudah bergerombol sekelompok pemuda yang mengatasnamakan Persatuan Masyarat Antikomunisme. Para pemuda yang ditemani beberapa orang berjaket hitam merangsek masuk ke dalam tempat diskusi. Mereka dengan kasar menyerang para peserta yang hadir. Ada yang dipukul dan dikejar menuju kampus Universitas Pasundan (Unpas) di seberang Ultimus.
Buku-buku Marxis di-sweeping. Tak ketinggalan ada juga yang mengambil kesempatan untuk menyita juga buku Album Bandoeng Tempo Doeloe. Perlengkapan di sana disita, termasuk papan bertuliskan Republik Semut Hitam. Beberapa orang ditangkap oleh polisi. Baru keesokan harinya mereka dibebaskan setelah mendapatkan jaminan dari kuasa hukum dan kerabatnya.
Persiapan Aksi
Aksi demo di depan Gedung Merdeka, Bandung, sebenarnya sudah dipersiapkan sejak awal April 2010, masuk dalam rangkain perayaan Hari Buku Sedunia. Aksi ini ditempatkan di akhir rangkaian acara sebagai satu wadah ekspresi seni atas keprihatinan lesunya perekonomian perbukuan dan masih adanya tirani terhadap dunia perbukuan, seperti masih adanya pembubaran diskusi dan penyitaan buku-buku.
Saya, yang saat itu masih aktif di Asian African Reading Club (AARC), sempat berkonsultasi dahulu dengan Kepala Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) Pak Isman Pasha tentang kemungkinan mengadakan demo di depan Gedung Merdeka. Tak disangka, justru saya mendapat dukungan. Pak Isman hanya menyarankan agar tetap dilakukan secara damai dan memberitahukan rencana aksi ini kepada pihak kepolisian.
Untuk mewujudkan rencana ini, saya selaku ketua panitia Hari Buku Sedunia di Bandung bersama tim panitia berkumpul di Perpustakaan Balepustaka. Balepustaka, yang saat itu berada di lantai 2 gedung Pastoral Keuskupan, disepakati menjadi sekretariat Hari Buku Sedunia di Bandung sejak tahun 2008. Dalam pertemuan yang intensif selama minggu ke-1 dan ke-2, seluruh rekan koordinator program merumuskan konsep dan pengorganisasian.
Program aksi demonstrasi di bawah koordinasi Adew Habtsa. Disepakati pembagian tugas: tim sekretariat membuat surat pemberitahuan yang ditujukan kepada pihak Polrestabes. Saya yang akan datang ke kantor polisi, Adew menghimpun kawan-kawan seniman termasuk para pegiat buku, sedangkan tim publikasi dan dokumentasi akan menyebarkan selebaran aksi dan mendokumentasikan berlangsungnya aksi.
Setelah surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian selesai, yang perlu dipikirkan juga adalah apakah aksi ini akan melibatkan publik. Disepakati, publik bisa turut berekspresi dengan menghubungi koordinator aksi, sedangkan yang hadir tidak dibatasi. Saat itu rekan-rekan panitia yang diundang hadir utamanya terdiri atas para relawan dari perpustakaan Balepustaka dan perpustakaan Dekranas Jabar, ditambah beberapa pegiat AARC.
Siaran pers disebarkan tanggal 24 April 2010. Saat itu email dan SMS menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan kepada para jurnalis. Berikut ini siaran persnya:
PRESS RELEASE
Pada acara
SENI DAN AKSI “LAWAN DENGAN BUKU”
MEMPERINGATI HARI BUKU SEDUNIA
FOR IMMEDIATE RELEASE
Sabtu, 24 April 2010
Yth.
Redaksi Media Massa
Di Tempat
Dengan ini kami memberitahukan bahwa pada:
Tanggal : 25 April 2010
Waktu : 10:00 – 14:00
Tempat : Pelataran Gedung Merdeka
Nama Jalan : Jalan Asia-Afrika 65, Bandung
Akan diadakan aksi damai para pelaku perbukuan didukung para seniman Bandung dalam rangka memperingati Hari Buku Sedunia dan Spirit Bandung 55. Dalam aksi dan seni ini akan diselenggarakan:
- Pengumpulan donasi buku untuk korban banjir di Bandung Selatan
- Pembagian flyer kampanye mendadak membaca
- Orasi, pembacaan puisi, fragmen karya sastra, musik akustik, dan performance art lainnya oleh: Untung Wardojo, Mochamad Anggawhedaswhara, Silvester P. Hurip, Semi Ikra Anggara, Evie Sri Rezeki, Koloni Hitam, Dedi Setiawan, Fredy Wansyah, Metz Muntsani, Andi Nurroni, Ivan, Yoga ZaraAndritra, Mayang Mae Rahayu, KOMPI JABAR, Ganjar Noor, Agus Klopass, Iman Budi Susu, Ihung Cianda, Rahmat Jabaril, Heliana Sinaga, Gusjur Mahesa, Mapah Layung, Abah Ultimus, Riksa Alhasil, Deu Galih, Sang Denai.
Kegiatan ini didukung oleh Majelis Sastra Bandung, Asian African Reading Club, Museum Asia Afrika, SOS, dan ProPublic.info. Besar harapan kami, Bapak/Ibu dapat meliput kegiatan tersebut. Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan, kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama Bapak/Ibu.
Untuk informasi dapat menghubungi: Adew Habtsa (022-91699574)
Bandung, 24 April 2010
Deni Rachman
Ketua Penyelenggara
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (13): Pameran Buku di Kampus-kampus Bandung
MEMORABILIA BUKU (14): Anjangsana ke Rumah Roeslan Abdulgani, Saksi Sejarah KAA Tahun 1955
MEMORABILIA BUKU (15): Semarak Cuci Gudang Buku, Seru dan Pilu Jadi Satu
MEMORABILIA BUKU (16): Membuka Toko Buku di Baltos
MEMORABILIA BUKU (17): Mengunjungi Penerbit Pustaka Sinar Harapan di Jakarta
Aksi di Hari H
Di hari yang sama dengan aksi demo di depan Gedung Merdeka, diselenggarakan pula program Hari Buku Sedunia, yaitu jelajah sejarah toko-toko buku tempo dulu di Bandung. Jelajah sejarah yang dinamai “Kami Doeloe Pernah Ada” ini selesai sekitar pukul 9. Para peserta jelajah turut kami ajak untuk ikut dalam aksi damai yang akan berlangsung satu jam kemudian.
Tiba di pelataran Gedung Merdeka, kami melihat beberapa orang polisi berpakain preman yang sudah berjaga di depan pintu sayap kanan gedung. Saya dipanggil. Seorang di antaranya petugas itu menanyakan perihal aksi ini dan ia memberitahukan di seberang sana sudah siaga beberapa polisi. Ia juga memberitahukan berapa orang yang sedari pagi tadi bersiap siaga.
Si petugas polisi itu seakan-akan memberi kode. Saya mafhum. Tim panitia pun sudah menyiapkan beberapa bungkus rokok dan nasi bungkus.
Sebelumnya panitia kecil sudah sedari pagi menyiapkan area aksi di bawah koordinasi Adew Habsta. Yostiani dan Noel Sagalana sempat mendampingi polisi yang sedang menuliskan isi spanduk yang akan dibentangkan di tiang bendera Gedung Merdeka. Adew pun sudah mengobrol dengan beberapa polisi berpakaian preman di selasar Museum KAA.
Setelah seluruh panitia dan semua pengisi aksi bergabung, demo dimulai. Dipandu oleh Adew, para seniman berekspresi. Di ujung gedung sudah digelar buku-buku untuk pencarian dana usaha. Di jalan Cikapundung Timur (sekarang Jalan Ir. Soekarno), terparkir satu mobil patroli polisi.
Penampilan seni pertama menyajikan aksi neraca batu dan buku. Tali pengikat batu akhirnya harus dijilat api dan terputus. Satu tafsir bagi saya, jangan biarkan kepala diisi batu, tapi isilah dengan buku. Penampilan-penampilan seni lainnya, yang saya tidak ingat semua, menyusul bergantian.
Ada Untung Wardojo membacakan puisi yang kelak akan ia bukukan. Didin Tulis membaca puisi dari buku Bandung dalam Puisi, sementara Ihung bermonolog. Lain lagi seniman bermonolog sambil menunjukkan secarik kertas berisi tulisan: “Mari Membaca, Mari Melawan!”. Ia lalu memberikan sebuah buku kepada petugas polisi gondrong berpakaian preman.
Yoga Zara Andita membacakan puisi sambil diiringi alunan karinding oleh rekannya, sementara Iman Budi Susu membaca buku pelajaran sambil memakai baju seragam SMA lengkap. Mayang Mae Rahayu, sambil duduk mengangkang, menutup selangkangannya dengan selebaran bertuliskan “Buang Buku Maka Hilanglah Ilmumu”, lalu dilanjutkan dengan penampilan membaca puisi.
Ganjar Noor, disambung Deu Galih dan kawannya, melantunkan lagu-lagu balada. Lalu menyusul kemduian, penampilan oleh Evi Sri Rezeki, Heliana Sinaga, dan Rahmat Jabaril. Di sela-sela aksi, kawan-kawan panitia membagikan selebaran aksi dan kotak air mineral untuk penggalangan donasi buku korban banjir di Bandung Selatan.
Aksi demo menyedot perhatian pejalan kaki dan pelancong yang kebetuan lewat. Juga para pengemudi kendaraan yang melintas di depan Gedung Merdeka. Beberapa pedagang memarkirkan gerobak dan pikulannya di depan pintu gedung yang memang pada tahun-tahun itu banyak disesaki pedagang, terutama di hari Minggu. Sebelum nama Jalan Cikapundung Timur diubah, suasananya tak seramai seperti sekarang.
Aksi demo selesai menjelang petang. Saat kami sedang bersama-sama membersihkan trotoar dan jalan dari sampah dan serakan sisa penampilan seni, dari area parkir Bank NISP di seberang Jalan Asia Afrika sana, keluar dua mobil truk dalmas. Betapa kaget kami, tapi juga sekaligus betapa lucunya mengetahui ternyata aksi kami ini sudah menjadi standarnya diawasi sampai dua truk polisi.
Setelah berfoto bersama sambil membentangkan spanduk Hari Buku Sedunia, kami membubarkan diri. Aksi demo hari itu menjadi kenangan tak terlupakan. Sebuah aksi berbalut isu perbukuan berhasil digelar di depan gedung bersejarah yang menjadi ikon perlawanan kolonialisme: Gedung Merdeka!
Salambuku!