MEMORABILIA BUKU (17): Mengunjungi Penerbit Pustaka Sinar Harapan di Jakarta
Buku-buku terbitan Pustaka Sinar Harapan yang mulai langka, laku diburu pembaca. Manajemennya bubar pada 2013, gedung kantornya kini sudah rata dengan tanah.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
7 November 2021
BandungBergerak.id - Para pembaca mungkin sudah tak asing dengan buku Asterix atau Filsafat Ilmu karya Jujun S. Suriasumantri. Kedua buku terbitan Pustaka Sinar Harapan (PSH) ini menjadi begitu populer, selain tentunya buku-buku keren lainnya seperti Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Sukarno karya Ramadhan KH, catatan jurnalistik Hendro Subroto lewat bukunya Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur, Ikan Ikan Hiu, Ido, Homa dan Sastra dan Religiositas karya Y. B. Mangunwijaya, buku puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri, atau buku babon sejarah Freemason: Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1794-1962. Karakter buku-buku humaniora terbitan Pustaka Sinar Harapan hampir setali tiga uang dengan terbitan Djambatan dan Pustaka Grafiti.
Seakan menjadi ‘sinar’ dan ‘harapan’, pada 27 September 2012 saya akhirnya berkesempatan untuk pertama kalinya menyambangi dapur ketiga penerbit legendaris itu. Selain bisa mengenal lebih dekat, saya pun bermaksud berburu buku-buku terbitan mereka yang sudah mulai langka. Buku-buku itu akan saya boyong ke Bandung untuk mengisi stok toko LawangBuku yang baru buka di Baltos.
Kamis pagi itu, saya berangkat menaiki kendaraan travel di Cihampelas dengan tujuan pool yang dekat dengan alamat Pustaka Sinar Harapan di Jalan Dewi Sartika No.136-D, RT 10/RW 05 Kramat Jati, Kota Jakarta Timur. Karena saya yang awam dengan lokasi-lokasi di Ibukota, alamat ini saya tanyakan ke petugas travel kira-kira jurusan mana yang lebih dekat dengan tujuan.
Setiba di pool travel Jakarta, saya menghubungi Mas Subardi. Ia adalah pegawai bagian pemasaran (marketing) Pustaka Sinar Harapan yang sudah bekerja sejak tahun 1996. Mas Bardi, demikian saya memanggil singkat namanya, merantau ke Jakarta setamat dari SMA di kampung asalnya di Gunung Kidul, Yogyakarta. Sempat setahun ia bekerja di sebuah jasa travel, sebelum salah saeorang tetangganya yang bekerja di Pustaka Sinar Harapan menawarkan lowongan pekerjaan. Di umur 19 tahun, Mas Bardi diterima bekerja di bagian umum. Baru pada tahun 1999 ia dipercaya memegang bagian pemasaran.
Di awal pertemuan tak banyak informasi mengenai Mas Bardi, selain keramahannya. Kesan itulah yang tetap hinggap dalam persahabatan buku hingga sekarang. Sejak itu, saya selalu ditemani Mas Bardi jika ingin berkeliling ke tempat-tempat perbukuan di Jakarta. Pernah satu waktu kami bersama-sama mengunjungi pameran buku di Istora Senayan.
Mas Bardi dengan setelan rapi berkemeja warna biru telur asin dan celana kain warna abu-abu, menyambut saya di depan kantor Pustaka Sinar Harapab. Saya diajak masuk ke ruang tamu penerbit dan disuguhi minuman. Setelah ngobrol sebentar menanyakan perjalanan tadi dari Bandung, ia masuk ke dalam dan keluar lagi menyodorkan katalog buku. Bukan main sumringahnya saya menemukan judul-judul buku yang selama ini dicari. Dan tambah senang lagi ketika mengetahui semua buku-buku tersebut masih tersedia stoknya.
Saat itu buku tebal sejarah Freemason karya seorang masonis Belanda, Dr. Th. Steven, sedang langka di pasaran. Harganya sempat melonjak naik. Konon kabarnya, tak lama setelah buku itu terbit, ada yang langsung memborongnya. Benak saya segera terhubung dengan teori konspirasi, dan ketika mengingatnya lagi saat ini, saya tertawa sendiri dalam hati. Betul tidaknya teori konspirasi itu, yang jelas waktu itu sudah tampak di depan mata bukunya masih tersedia, dan saya memborongnya beberapa eksemplar.
Ketika suara azan zuhur terdengar, saya diajak ke musala oleh Mas Bardi. Menuju arah belakang, saya melewati gedung besar yang usianya tampak sama tuanya dengan kantor tadi. Rupanya itu adalah ‘pabrik’ koran Suara Pembaruan yang terkenal terbitnya di sore hari. Di dalamnya terdapat mesin cetak koran yang sudah usang. Sinar Agape, nama percetakannya.
Setelah kembali lagi ke kantor Pustaka Sinar Harapan, saya menuntaskan pembayaran. Mas Bardi lalu menanyakan, mumpung di Jakarta saya hendak berkunjung ke mana lagi. Saya mengutarakan maksud saya untuk bisa berbelanja buku ke penerbit Djambatan dan Pustaka Grafiti.
“Ayo, saya temani,” balas Mas Bardi dengan tulus hati, menawarkan diri.
Dengan gembira, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan waktunya. Saya duduk dibonceng di atas sepeda motor, lalu melaju menuju alamat Penerbit Djambatan dan Pustaka Grafiti di bilangan Senen. Kisah mengenai kunjungan Penerbit Djambatan ini, dapat dibaca di Memorabilia Buku (1).
Sepulang dari sana, kami kembali ke kantor Pusat Sinar Harapan, dan sempat berfoto. Saya berpamitan pulang dan membawa sekira 3 kantong besar. Sisanya buku akan dikirim memakai jasa paket. Senang bekerja sama dengan Anda, begitu gumam saya.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (16): Membuka Toko Buku di Baltos
MEMORABILIA BUKU (15): Semarak Cuci Gudang Buku, Seru dan Pilu Jadi Satu
MEMORABILIA BUKU (14): Anjangsana ke Rumah Roeslan Abdulgani, Saksi Sejarah KAA Tahun 1955
Semenjak itu, saya intens berkomunikasi dengan Mas Bardi, pria berkaca mata yang tinggal di Bekasi ini. Daftar pesanan buku saya kirimkan via email, pembayaran melalui transfer, sedangkan bukunya dikirimkan lewat jasa paket.
Tak berapa lama, Mas Bardi akhirnya menerima tawaran saya untuk melakukan ‘kunjungan balasan’ ke Bandung. Sambil membawa sebagian stok Pustaka Sinar Harapan seperti buku andalan Asterix, ia mengunjungi saya saat berpameran buku di Landmark Braga, awal Oktober 2012.
Buku-buku terbitan Pustaka Sinar Harapan terbilang laku. Namun seiring waktu, beberapa stok judul langkanya beringsut habis. Buku-buku terbitan baru Pusat Sinar Harapan dengan genre hukum, politik, dan militer kurang saya minati. Komunikasi dengan Mas Bardi mulai jarang dilakukan. Sesekali kami saling menyapa di WA dan Facebook, sekadar bertanya kabar.
Ujung Nasib Pustaka Sinar Harapan
Di masa pandemi ini, ketika tulisan pertama saya dimuat di BandungBergerak.id, saya intens kembali mengontak Mas Bardi. Saya masih menyimpan berkas digital foto Mas Bardi ketika kami berdua berkunjung ke Penerbit Djambatan tahun 2012 itu.
Saya lalu mengutarakan suatu saat ingin menulis juga sejarah Pustaka Sinar Harapan. Mas Bardi menyambut baik, namun ia mengungkapkan bahwasanya ia sekarang sudah jarang ngantor lagi di sana. Ia sekarang bekerja di sebuah instansi militer dan tetap memasarkan buku Pustaka Sinar Harapan di rumahnya, sambil menunggu pesangon yang belum dibayarkan penerbit.
Jejak sejarah Pustaka Sinar Harapan belum saya temukan secara utuh, baik dari buku, koran, atau artikel di daring. Hanya ada satu tulisan Bambang Trim yang mengulas sedikit ketika ia dan kawan-kawannya dari Program D3 Editing Unpad berkunjung ke dapur penerbit ini dalam rangka kerja sama bazar buku. Secara umum isi tulisannya menanggapi berhentinya raja koran sore Sinar Harapan di tahun 2016. Jejak Pustaka Sinar Harapan secara umum banyak mengupas perihal koran Sinar Harapan atau Suara Pembaruan.
Jejak lain yang masih ada kaitan antara buku dengan Pustaka Sinar Harapan, saya temukan dari tulisan sang pendiri, Aristides Katoppo, di buku 235 Tokoh Bicara Tentang Buku (Penerbit Yayasan Data Group, 1988). Ia menuliskan kata mutiara buku: “Buku teman hidup di bandar udara, di pesawat dalam perjalanan ke mana saja, di pantai di waktu santai, di tempat tidur waktu istirahat, sumber ilmu sumber ilham. Cisarua, 12.2.1988”.
Pustaka Sinar Harapan tercantum juga dalam Daftar Buku 1991 terbitan IKAPI. Di daftar buku itu tercantum buku-buku terbitan PSH dan di akhir buku tercantum direkturnya bernama GRW Senduk. Nama ‘Senduk’ ini mengingatkan saya pada tokoh dan saksi sejarah Dokter Senduk. Dokter Senduk kelahiran Minahasa ini menjadi Pembantu III Kongres Sumpah Pemuda II tahun 1928 dari Jong Celebes. Ia juga adalah salah seorang pendiri PMI. Apakah ada kaitan antara kedua nama Senduk, perlu ditelusuri lebih lanjut.
Dalam obrolan santai di balik gawai, Mas Bardi menceritakan bahwa awal-awal ia bekerja di Pustaka Sinar Harapan, isi dari koran Sinar Pembaruan dibukukan menjadi Rekaman Peristiwa dan kumpulan kartun. Rekaman Peristiwa terbit berkala tiap tahun, memuat kronik berita penting peristiwa nasional maupun internasional. Dapur penerbit dijalankan oleh redaksi koran Sinar Harapan. Koran itu terkenal kritis terhadap pemerintahan Orde Baru, membuat Aristides sempat masuk bui, dan korannya diberedel. Mas Bardi menyaksikan sendiri tahun-tahun awalnya bekerja di Pustaka Sinar Harapan, kantornya dijaga dan dipantau oleh orang-orang Ambon.
Pustaka Sinar Harapan merupakan salah satu lini usaha Yayasan Sinar Kasih. Lini usaha lainnya yaitu vila, eskpedisi, koran, dan percetakan. Kabar mengejutkan yang tak saya ketahui sebelumnya adalah kenyataan pilu bahwa manajemen Pustaka Sinar Harapan bubar di tahun 2013. Mas Bardi dijanjikan menerima pesangon. Untuk menjalankan penerbitan, ia masih dipercaya bersama 2 orang lainnya. Mereka memegang kendali produksi dan pemasaran sekaligus.
Dari tahun 2013 hingga 2021 ini, hanya 2 judul buku, yaitu seri buku Asterix dan Filsafat Ilmu, yang jadi andalan untuk menghidupi kas penerbitan. Banyaknya buku bajakan Pustaka Sinar Harapan menambah berat pemasukan. Mmenurut Mas Bardi, aksi nyata menggerebek para pembajak pernah dilakukan, namun hasilnya nihil. Pembajakan terus berlangsung. Pembeli bisa mendapatkan buku Filsafat Ilmu dengan harga amat murah, 25 ribu rupiah. Jauh di bawah harga buku ori-nya, 90 ribu rupiah.
Pada awal tahun 2016, koran Suara Pembaruan, yang terbit lagi sejak 2001 setelah diberedel pada 1986, berhenti terbit. Kabar lainnya, aset percetakan dikelola oleh Lippo Group. Betapa mengagetkan, rupanya foto saya di depan kantor Pusat Sinar Harapan betul-betul menjadi kenangan, karena sejak empat tahun lalu gedung tersebut sudah diruntuhkan. Hanya tersisa ruang kantor kecil yang menghadap ke Jalan Dewi Sartika.
Lahan eks kantor Pustaka Sinar Harapan itu, alih-alih disulap jadi apartemen, hingga hari ini masih mangkrak dan tetap rata dengan tanah.
Salambuku!
Beberapa judul buku legendaris terbitan Pustaka Sinar Harapan:
- Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (Ramadhan K.H., 1981)
- Rekaman Peristiwa ‘82 (1982), dan selanjutnya terbit setiap tahun
- Dasar dan Teknik Penerbitan Buku (Hassan Pambudi, 1981)
- Gandhi Sebuah Otobiografi (Mahatma Gandhi, 1982)
- Seratus Tahun Haji Agus Salim (Panitia Buku Peringatan, 1996)
- Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur (Hendro Subroto, 1996)
- Ikan Ikan Hiu, Ido, Homa (Y. B. Mangunwijaya, 1987)
- Sastra dan Religiositas (Y. B. Mangunwijaya, 1982)
- O Amuk Kapak (Sutardji Calzoum Bachri, 1981)
- Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (Mubyarto, 1983)
- Komik besar Asterix
- Filsafat Ilmu (Jujun J. Suriasumantri, 2005)
- Orang-orang Tran (N.H. Dini, 1985)
- Tuilerris (N.H. Dini, 1982)