• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (14): Anjangsana ke Rumah Roeslan Abdulgani, Saksi Sejarah KAA Tahun 1955  

MEMORABILIA BUKU (14): Anjangsana ke Rumah Roeslan Abdulgani, Saksi Sejarah KAA Tahun 1955  

Roeslan Abdulgani hidup dan berperan pada zaman Sukarno, Suharto, Gus Dur, dan Megawati. Berperan penting di era KAA tahun 1955.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Berfoto bersama Ibu Hafilia (putri Roeslan Abdulgani) dan Kang Desmond Satria Andrian (staf Museum KAA) mengapit marmer titimangsa sejarah rumah kediaman Roeslan Abdulgani di Jakarta, 18 September 2013. (Sumber Foto: Deni Rachman)

17 Oktober 2021


BandungBergerak.idBegitulah saya menyebut catatan kecil ini sebagai memorabilia bersejarah, mengawali kiprah di Asian-African Reading Club. Tak dinyana, percakapan saya dengan staf Museum Konperensi Asia-Afrika (KAA), Kang Desmond Satria Andrian, sore itu di Facebook membuahkan perjalanan yang berharga.

Esok hari sebetulnya sudah ada janji saya untuk mengikuti metode membaca Al-Quran BBQ99 di sebuah masjid di Margahayu tempat sang mertua tinggal. Malamnya didapatkan kabar ternyata acara bedah BBQ99 diundur, agenda yang tersisa tinggal satu Sabtu itu berkunjung ke tokoh bangsa ini: Dr. H. Roeslan Abdulgani, mantan Sekjen KAA tahun 1955, mantan menteri luar negeri RI pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II 1956-1957, dan Rektor IKIP Bandung 1964-1966 (sekarang UPI). Cak Roes adalah panggilan akrab baginya, nama lengkapnya sekarang diabadikan menjadi nama ruas jalan di dalam kampus UPI.

Sekjen Asian Afrian Reading Club (AARC) Adew Habtsa tak bisa bergabung dalam perjalanan ini. Tinggallah saya dengan Kang Desmond tanpa didampingi Kepala Museum KAA, Isman Pasha. Kang Andi yang biasa temui sebagai tim keamanan Museum KAA ikut serta menyetir mobil. Jadilah perjalanan ini seperti proyek 3 in one di Jakarta. Kami berangkat pukul 07.00 pagi, tertanggal 18 September 2010.

Perjalanan menuju Jalan Diponegoro No.11, Jakarta, memakan waktu 3,5 jam. Sempat berhenti lama mengganti oli di area istirahat tol Cipularang dan sarapan pagi bubur kacang hijau-ketan hitam. Perjalanan tidak terganggu arus balik sehabis mudik lebaran, cukup lancar meski Kang Andi masih meraba-raba jalan-jalan di samping jalur busway menuju Thamrin. 

Sepanjang jalan melewati Taman Surapati kami temui pepohonan besar dan gedung tua, besar dan megah. Sebuah taman menahan kami di persimpangan, di ujung sana katanya kantor Kedubes AS. Sebelumnya sempat terlewati gedung Kedubes Bulgaria dan kantor KPU yang sempat terkena ledakan di toilet pada masa-masa pemilu yang lalu. Dan tepat di seberang jalan gedung Kedubes Rusia, kami berhenti.

Rumah Cak Roes ini merupakan hibah Bung Karno untuk Cak Roes, sepulang BK dari pembuangan di Bengkulu. Separo gedung ini telah diperluas, dengan kondisi bagian depan dan dua lantai masih utuh. Di halaman dan teras depan banyak sekali arca-arca batu Boloputo, Puntodewo, dan Buddha. Saya duduk di kursi teras yang masih antik dari rotan dan besi bercat minyak. Di depannya, terdapat satu gazebo dengan seperangkat mebel antik menggoda saya untuk menghampirinya. Di samping dua lembar daun pintu jati utama, saya sempat memotret kotak pos antik dengan aksara berukiran H. Roeslan Abdulgani.  Sesampainya di sana, penjaga rumah mempersilakan duduk dan menawari minuman. Suasana rumah dengan rindang pepohonan dan lalu lalang kendaraan yang lengang, menambah hawa sejuk dan nyaman.

Setelah dipersilakan masuk ke ruang tamu utama, Ibu Hafilia, anak bungsu Cak Roes menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Saya memperkenalkan diri sebagai Ketua AARC dan turut mendengarkan prolog dari Kang Desmond sebagai wakil dari Museum KAA dalam rangka serah terima benda koleksi Cak Roes untuk dijadikan benda pameran di “Cak Roes Corner” tepat di balkon utama Ruang Sidang Gedung Merdeka. Ibu Hafilia menyerahkan satu buah mesin ketik kecil, alat menulis Cak Roes selama hidup. Pojok Cak Roes ini menjadi kehormatan bagi keluarga Cak Roes sekaligus kebanggaan untuk Museum KAA, mengingat peran Cak Roes yang sangat vital selama penyelenggaraan KAA tahun 1955.

Cak Roes dan Mao Tse Tung. (Sumber Foto: Deni Rachman)
Cak Roes dan Mao Tse Tung. (Sumber Foto: Deni Rachman)

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (13): Pameran Buku di Kampus-kampus Bandung
MEMORABILIA BUKU (12): Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung
MEMORABILIA BUKU (11): Kenangan Toko Buku Djawa
MEMORABILIA BUKU (10): Keakraban Pasar Buku Sabuga 2006
MEMORABILIA BUKU (9): Pameran Buku di Landmark Bandung sejak 2003 sampai Dihentikan Pandemi

Kiprah di KAA 1955

Konon, Roeslah Abdulgani turut ikut mengepel lantai ruang Sidang Utama Gedung Merdeka ketika gedung itu tergenang air karena bocor. Bersama tim panitia, ia ikut menyingsingkan lengan mengepel dengan karung goni. Atau bagaimana peran besar Cak Roes dalam menghentikan kebuntuan sidang komite KAA. Komite politik yang bermusyawarah di gedung Dwi-warna deadlock, dan KAA terancam gagal!

Cak Roes melapor kepada PM Ali Sastroamidjojo tentang kebuntuan ini dan berhasil meredakan debat urat saraf. KAA berhasil ditutup meski ‘molor’ sehari dengan hasil pra-Dasasila Bandung yang terkenal itu masih hanya dengan kondisi draft ketikan dan coretan pena.

Kisah-kisah inilah yang diceritakan Cak Roes dalam bukunya The Bandung Connection. Buku ini saat itu sedang dibaca secara tadarusan oleh kawan-kawan Asian Afrian Reading Club saban Selasa sore hingga malam. Di buku ini, Cak Roes berkisah prosesi KAA mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga pascadengan gaya bahasa tutur yang renyah.

Gaya tulisan feature berisi 18 bab disertai foto-foto dan hasil KAA. Di lampirannya terdapat pidato pembukaan Bung Karno yang bersejarah itu, yang membakar semangat antikolonialisme di bumi Asia-Afrika, yang membuat hening seluruh peserta konferensi, sembari memberikan tepuk tangan yang tak berkesudahan selama hampir 7 menit menandingi kemegahan orator ulung Hitler!

Dari buku inilah, perjalanan dimulai ketika AARC didirikan Agustus 2009 di ruang bendera MKAA. Perhentian sementara setelah membaca bab terakhir, ingin sekali saya merintis kunjungan studi napak tilas KAA di antaranya mengunjungi gedung Dwi-warna, penginapan para delegasi, ruang VIP Gedung Merdeka, Istana Bogor, Gedung Pancasila, termasuk mengunjungi rumah Cak Roes. Maksud kedatangan saya hari itu menjadi isi dari surat permohonan kunjungan yang diterima langsung oleh Ibu Hafilia. Satu mimpi yang dengan izin-Nya akan segera terwujud.

Ibu Hafilia mempersilakan kami mengitari ruang demi ruang. Menunjukkan koleksi Al-Qur’an Cak Roes dari pelbagai negara, membuka kotak Al-Qur’an pemberian dari Aceh, dan membuka kotak kaca khusus. Terdapat dua Al-Qur’an pemberian Bung Karno dengan goresan pena langsung: “Untuk Sdr. Roeslan Abdulgani dengan salam persaudaranku, Soekarno. 20/2,‘58”

Kotak surat bertuliskan Roeslan Abdulgani, sang empunya rumah. (Sumber Foto: Deni Rachman)
Kotak surat bertuliskan Roeslan Abdulgani, sang empunya rumah. (Sumber Foto: Deni Rachman)

Sosok Bersahabat

Koleksi lainnya yaitu mesin tik yang agak besar yang menyisakan selembar utuh hasil ketikan terakhir sebelum Ruslan Abdulgani wafat. Rupanya Cak Roes sempat mengetik beberapa kalimat pada hari Minggu sesaat diwawancara oleh salah satu televisi swasta. Bukti otentik inilah yang menjadi saksi bisu mesin tik tua itu. Di sepanjang dinding hingga ke ruang tengah, padat dengan foto-foto. Berulang-ulang saya melihat tokoh-tokoh bangsa negeri ini maupun dari pelbagai negeri: Sukarno, Sultan HB IX, Sjahrir, Nehru, U Tant, Suharto, Gus Dur, dan selain tentunya foto-foto keluarga. Yang menakjubkan bagi saya yaitu pose ketika Cak Roes dipegang jemarinya bak sahabat oleh Mao Tse Tung.

Koleksi lainnya Cak Roes berada tepat di ruang tengah sebelum tangga menuju lantai dua. Beberapa vas keramik berisi ratusan tongkat dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Pada bagian ini menjadi kisah tersendiri Ibu Hafilia. Ia menuturkan bagaimana ia sebagai bungsu mendengarkan makna filosofi tongkat (iteuk dalam bahasa Sunda) yang pernah dituturkan sang Bapak.

Menurutnya, ada 3 pepatah yang dipegang oleh Cak Roes. Dua di antaranya yang saya ingat: “Jika ada yang lapar kasihlah makan, dan berilah tongkat jika orang itu ‘kelicinan’ (mungkin maksudnya tergelincir).” Saya menafsirkan tongkat ini sebagai pegangan hidup, agama, keyakinan, kepercayaan, ideologi, atau semacam itu. Sehingga orang tidak akan tergelincir dalam kehidupan. Begitu banyak ketidakpastian dan keblingeran dalam hidup manakala ketika kita tidak menemukan ‘tongkat’. Ada baiknya juga jika kita memberikan pilihan dari ‘tongkat’ kita kepada yang membutuhkan.

Dari penuturan ibu yang ramah ini, saya tidak berani menyimpulkan secara gegabah sosok Cak Roes. Dari penuturannya, didapat keterangan kalau Cak Roes seorang Pancasilasis dan pluralis sejati. Atau Gus Dur dalam kesempatan lain menyatakan Cak Roes sebagai nasionalis tulen seasli-aslinya. Katanya Cak Roes juga Soekarnois seasli-aslinya. Terkadang dalam mimpinya, Cak Roes sering bertemu dengan Bung Karno (BK), selalu membaca Yaasin di makam Blitar, dan mengagumi betul BK.

Di pihak lain Cak Roes adalah sosok bersahabat sehingga ia dapat hidup dan berkerabat pada beberapa zaman pemerintahan: Sukarno, Suharto, hingga Gus Dur dan Megawati.

“Mega itu bukan anak ideologis BK,” tuturnya, setelah beberapa kali menyarankan agar Mega mencopot jabatan ketua partai ketika ia menjabat sebagai presiden, bahwa pemimpin harus dapat memayungi semua partai. Mungkin Cak Roes meneladani jejak BK yang melepas ketua PNI setelah menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Jejak pengalaman lewat tuturan dan suguhan koleksi bersejarah ini menjadi ruang tersendiri bagi saya. Ada beberapa yang tak tercatat tersimpan dalam tambahan mimpi saya. Dalam inspirasi dan memori. Rumah itu menceritakan segalanya. Selama pulang melewati Cipularang saya membolak-balik, membaca beberapa buku karangan Cak Roes hadiah dari Ibu Hafilia yang sangat berterimakasih pula kepada kawan-kawan AARC yang masih mau menggali sejarah dan ketokohan sang Ayah. Sang nasionalis sejati. Semoga bermanfaat. Salambuku!

Berikut ini karya tulis Roeslan Abdulgani yang datanya berhasil saya himpun:

  1. Funksi Penerangan Indonesia (Djakarta: Kempen RI, 1953)
  2. Ideologie dan Negara (Djakarta: Kempen RI, 1954)
  3. Negara dan Dasar Negara (Djakarta: Endang, 1957)
  4. Mendajung dalam Taufan: Politik Luar Negeri Indonesia, 1956-1967 (Djakarta: Kementerian Luar Negeri, 1958)
  5. Taat-setia kepada Negara Proklamasi dan Pantjasila (Djakarta: Endang, 1958)
  6. Dihadapan Tunas Bangsa (Djakarta: B.P. Prapantja, 1960)
  7. Manipol and Usdek (Djakarta: Department of Information Republic of Indonesia, 1960)
  8. Penggunaan Ilmu Sedjarah (Djakarta: B.P. Prapantja, 1962)
  9. Pembinaan Kesatuan Bangsa (Djakarta: Deppen RI, 1960-an)
  10. Politik dan Ilmu (Universitas Padjadjaran, 1961)
  11. Pidato-pidato Roeslan Abdulgani pada sidang pleno pertama konperensi-persiapan KWAA tgl. 11 Pebruari 1963 di Djakarta.
  12. Asia Tenggara dalam Sinar Apinja Hari Pahlawan Indonesia (Djakarta: Deppen RI, 1963)
  13. Resapkan dan Amalkan Pancasila (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1964)
  14. The Bandung Spirit: Moving on the Tide of History (Djakarta: Prapantja, 1964)
  15. Pengabdian Politik kepada Revolusi (Djakarta: Pertjetakan Negara, 1964)
  16. Nasionalisme Asia (Djakarta: Jajasan Pantjaka, 1964)
  17. Bersama-sama Wanita Menyelesaikan Revolusi (Djakarta: Pertjetakan & Penerbitan Negara, 1964)
  18. Sosialisme Indonesia (Djakarta: B.P. Prapantja, 1965)
  19. Api Islam dalam Korban Api Revolusi Indonesia (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1965)
  20. Indonesia PBB 25 Tahun (Djakarta: Gunung Agung, 1972)
  21. Nationalism, Revolution, and Guided Democracy in Indonesia (Australia: Monash University, 1973)
  22. Konferensi Asia-Afrika, Bandung: Sejarah, Cita-cita, dan Pengaruhnya (Jakarta: Yayasan Idayu, 1975)
  23. Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978)
  24. Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk Menuju ke Selfreliance (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 1978)
  25. The Bandung Connection, Konperensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 (Jakarta, Gunung Agung, 1980). Dicetak ulang (Bandung: Museum KAA, 2011). Dicetak dalam Bahasa Inggris (Singapore: Gunung Agung, 1981) dan dicetak ulang (Bandung: Museum KAA, 2020)
  26. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia (1983)
  27. Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987)
  28. Pancasila, Perjalanan Sebuah Ideologi (Jakarta: Grasindo, 1988)
  29. Indocina dalam Kawasan Asia Tenggara Dewasa Ini (Jakarta: Yayasan Idayu)
  30. Almarhum Dr. Soetomo yang Saya Kenal (Jakarta: Yayasan Idayu)
  31. 100 Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia (Jakarta: Jayakarta Agung Offshet, 1994; sebelumnya diterbitkan Yayasan Idayu, 1974)
  32. Proses Pengembangan Pancasila (Jakarta: Yayasan Widya Patria, 1995)
  33. Pegangan Politik Luar Negeri Indonesia
  34. Kebidjaksanaan Wampa Menteri Penerangan Dibidang Pers & Grafika (Jakarta: Deppen RI)
  35. Sejarah Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif (Jakarta)
  36. Roeslan Abdulgani, Tokoh Segala Zaman. Otobuografi: dituturkan kepada Casper Schuuring (Jakarta: Grasindo, 2002)

 NB: Terima Kasih saya untuk perjalanan ini: Pak Isman, Kang Desmon, dan Kang Andi. Tulisan ini dibuat tanggal 29/7/2011 dengan sedikit penyuntingan.

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//