• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (11): Kenangan Toko Buku Djawa

MEMORABILIA BUKU (11): Kenangan Toko Buku Djawa

Kenangan akan Toko Buku Djawa, yang tutup awal Maret 2015 lalu, tidak akan lenyap. Dari jadi pelanggan, memasok buku, hingga akhirnya ditawari berdus-dus buku.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Toko Djawa di Jalan Braga, Bandung, Senin (27/9/2021). Toko Djawa dahulu adalah toko buku yang menjadi salah satu ikon literasi di Bandung. Kini toko ini sudah ganti usaha. (Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

26 September 2021


BandungBergerak.id - Sekitar tahun 2016, seorang kawan kolektor buku dan barang antik memberi kabar mengejutkan. Ia begitu sumringah akhirnya bisa mendapatkan plang Toko Buku Djawa dari sebuah kios di Pasar Antik Cikapundung. Saya sempat membayangkan betapa gagahnya artefak itu jika dipasang di depan toko buku saya sewaktu masih melapak di Baltos.

Setahun lalu kawan saya itu meninggal dunia. Istri mendiang menghubungi saya, sekaligus menawarkan apakah saya berminat membeli buku-buku koleksi suaminya. Di sela-sela penawaran, saya menanyakan apakah masih ada plang toko legendaris di Bandung itu dan ia menjawab tak tahu-menahu.

Satu per satu artefak Toko Buku Djawa yang beralamat di Jalan Braga 79 itu tercerabut dan hilang. Namun tidak dengan kenangan tentangnya di kepala saya. Mulai dari hanya datang sebagai pelanggan, lalu memasok buku, hingga akhirnya ditawari berdus-dus buku eks toko.

Tutupnya Toko Buku Djawa tahun 2015 sempat menjadi viral di media sosial. Kliping koran PR (Pikiran Rakyat) selama dua hari, 3-4 Maret 2015, berupa liputan jurnalis Tri Joko Her Riadi, menjadi catatan sejarah perbukuan di Bandung. Isu yang kemudian bergulir adalah kekhawatiran warga jika fisik gedung toko ini turut berubah jika sudah berganti usaha.

Ciri khas etalase show case kaca yang memajang buku-buku impor maupun lokal yang unik dan tampak berharga mahal, menjadi daya tarik bagi siapa pun yang menyusuri Jalan Braga. Saya pernah melihat ada Ensiklopedi Sunda dan Wajah Bandoeng Tempo Doeloe terpajang di sana. Tipografi huruf nama toko pun sangat khas.

Masuk ke dalam, ruangan yang memanjang ke belakang itu memajang aneka judul buku baru dan lawas, kartu pos, peta, globe, poster, serta alat tulis dan kantor (ATK). Ada tiga ruangan utama yang saya ingat. Ruang utama berisi rak dinding buku yang berundak-undak, etalase kartu pos yang dapat berputar, serta lemari show case kaca yang di dalamnya dipamerkan pelbagai ATK dan di atasnya digunakan sebagai tempat menyimpan mesin kasir.

Di ruangan terusan menuju ke arah belakang, terdapat rak berkolom yang memajang buku-buku lawas tahun 1980-an dan 1990-an. Ruangan tersebut terhubung ke ruangan terakhir yang juga memajang buku-buku lawas. Ruangan yang beratap tinggi dengan interior bangunan tempo dulu membuat saya adem, betah berlama-lama di sana.

Beberapa buku panduan yang mencantumkan Toko Buku Djawa. (Sumber: Pabukon Hanca)
Beberapa buku panduan yang mencantumkan Toko Buku Djawa. (Sumber: Pabukon Hanca)

Menelusuri Jejak Sejarah Toko Buku Djawa

Beberapa data kliping koran dan informasi digital menyatakan bahwa toko ini berdiri tahun 1955 dan dikaitkan dengan peristiwa Konferensi Asia Afrika (KAA). Namun, buku panduan KAA 1955 sendiri tak mencantumkan nama toko ini. Barulah pada buku Bandung Guide Book Africa Asia Islamic Conference 1965, saya menemukan Daftar Nama dan Alamat Toko-toko.  Tertera di sana Toko Buku Djawa beralamat di “Djalan Braga 51 B: selling books”. Melihat nomor toko yang berbeda, apakah di Braga sempat terjadi perubahan urutan nomor atau pada tahun 1965 toko ini pernah berlokasi di nomor lainnya?

Sesepuh Bandung, dokter Sam Askari Soemadipradja memberikan kesaksian langsung. Keluarga Pak Sam pernah menjadi pelanggan toko ini. Pada tahun 1960, Pak Sam diajak kakeknya mencukur rambut di tukang cukur (Braga No. 81) yang letak pintunya berhadapan dengan Toko Buku Djawa, terpisah oleh Gang Apandi. Pak Sam pernah tinggal di Jalan Markoni tak jauh dari Jalan Braga. Menurutnya, Jalan Braga adalah pemisah Jalan Markoni (yang masuk wilayah Desa Bandung Wetan) dan Toko Buku Djawa yang masuk wilayah Desa Bandung Kulon.

Ketika berkunjung ke toko, Pak Sam menuturkan ia dan adik-adiknya menyukai komik dan buku-buku cerita, sementara ayahnya lebih menyukai buku dan majalah impor. Ibunya lain lagi. Dia memilih novel asing.  

Adik Pak Sam, Rizki Wisnu Soemadipradja, pernah bercerita tentang perkenalannya dengan Toko Buku Djawa sejak ia masih duduk di bangku SD. Pak Rizki menuturkan suasana toko yang ‘hommy’ walaupun si tante empunya toko agak judes. Karena jadi langganan, akhirnya Pak Rizki mengenal kedua anaknya yaitu Tjoe Jang dan Tjoe Ping yang sering bertugas menjadi kasir. Beberapa kali toko ini dijadikan latar video klip dan film nasional.

“Kedua anaknya lebih dulu wafat, sedangkan si tante sudah semakin sepuh. Akhirnya toko ini tutup, menyisakan pintu berwarna merah dan plang Toko Buku Djawa. Toko dijaga pemuda-pemuda berbaju hitam dengan logo ormas,” tutur Pak Rizki seperti yang diceritakan kepada Pak Sam.

Ibu Safrina Noorman, masih adiknya Pak Sam, bahkan pernah berpose di dalam ruangan toko yang sudah kosong. “Paying tribute to Toko Buku Djawa, 5 Maret 2015”, demikian tertera di unggahan medsosnya. Terima kasih saya ucapkan kepada Pak Sam atas informasi berharga ini.

Keberadaan Toko Buku Djawa (yang ada setidaknya sejak tahun 1960 itu) diperkuat juga lewat penelusuran Buku Penunjuk Telepon Bandung-Cirebon 1978. Di sana tercantum nama Djawa, Toko Buku, Jl. Braga 79D Bd (No.Telp) 59409. Di buku penunjuk telepon tahun 1956 & 1959, toko ini belum tercantum.  Sedangkan di Panduan Informasi Bisnis –Yellow Pages bulan Juni 2006-2007, tertera nama: Djawa Toko, Jl. Braga 79 (No. Telp) 423-1087.

Nama Toko Buku Djawa tercantum pula di dalam sebuah Buku Petunjuk dan Peta Kota Bandung (1981) terbitan PT Karya Nusantara (dulunya toko buku Visser & Co).

Sumber-sumber panduan wisata sejak tahun 2000-an, baik itu brosur, peta, maupun buku sekelas karya Her Suganda (Jendela Bandung dan Parijs van Java) sering tak mencantumkan toko buku sebagai destinasi wisata belanja. Berbeda dengan buku-buku panduan wisata atau peta antara tahun 1950-1990-an yang tak pernah absen mencantumkan direktori Toko Buku. Alhasil, tahun 2000-an Kota Bandung lebih dikenal sebagai kota sejuta FO (factory outlet) dan kuliner, ketimbang kota buku.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (10): Keakraban Pasar Buku Sabuga 2006
MEMORABILIA BUKU (9): Pameran Buku di Landmark Bandung sejak 2003 sampai Dihentikan Pandemi
MEMORABILIA BUKU (8): Pertama Kali Ikut Pameran Buku, Ketemu Andrea Hirata dan Andy Rif

Menjadi Pemasok Buku

Di tahun 2006-2007, saat LawangBuku menjadi distributor, Kang Iwan, petugas marketing Penerbit Kiblat yang menerbitkan buku-buku Sunda, dan Kang Sadewa dari Danendra Distributor pernah menyarankan kepada saya untuk turut memasok buku ke Toko Buku Djawa.

Yang saya tanyakan lebih dulu kepada mereka, apakah laporan penjualannya lancar? Lancar jawab mereka. Tiap bulan saya bisa datang ke toko sambil mengecek stok bersama-sama dengan pengelola toko.

Tak lama kemudian saya pun mulai memasok buku dan majalah. Dari sanalah, saya mulai mengenal Pak Edward yang bertugas menjaga kasir sekaligus membuat laporan penjualan. Karena penjualan kurang bagus dan sistem pelaporan yang tidak praktis, kerja sama konsinyasi itu hanya bertahan satu tahun.

Meski begitu, saya masih tetap rutin menyambangi toko ini. Terakhir, sekitar tahun 2013, saya sempat berburu buku lawasan yang cukup langka di sana bersama pedagang buku Iwan ‘Iiw’ Kurniawan.

Nota belanja buku 7 Penetapan Bahan Indoktrinasi, kartu, dan lainnya di Toko Buku Djawa tahun 1965. (Sumber foto: Pabukon Hanca)
Nota belanja buku 7 Penetapan Bahan Indoktrinasi, kartu, dan lainnya di Toko Buku Djawa tahun 1965. (Sumber foto: Pabukon Hanca)

Ditawari Buku-buku eks Toko Buku Djawa

Suatu hari di tahun 2016, saya menerima SMS dari seorang wanita yang mengaku kerabat dari Toko Buku Djawa. Saya diminta untuk datang ke kantornya di Jalan Jatayu. Maksudnya adalah untuk menawarkan ribuan buku eks toko tersebut.

Bukan main girangnya saya ketika mendapat kabar mengejutkan ini. Saya langsung mengiyakan untuk berjanji ketemu di hari yang sudah ditentukan, sembari mengingat-ngingat dari mana Ibu ini tahu nomor telpon saya.

Lokasi kantor si ibu itu berada di pertigaan Jalan Jatayu, di antara loakan barang-barang besi. Saya menghampiri gedung yang memiliki gerbang tinggi besar berwarna hijau. Setelah saya menelpon, gerbang dibukakan oleh seseorang dan saya dipersilakan menunggu. Gedung bertingkat yang bergarasi besar ini seperti sebuah gudang distribusi. Nampaknya si ibu yang menelpon saya itu adalah bosnya.

Wanita itu, yang namanya saya lupa, menghampiri saya dan mengajak saya ke satu ruangan yang berisi puluhan dus berukuran besar. Dia mempersilakan saya melihat-lihat dulu isi dus ini. Ibu ini adalah adik dari Nyonya Tung pemilik toko. Karena toko buku tutup akibat permasalahan keuangan dan biaya sewa tempat, seluruh bukunya akan dijual.

Saya ditawari harga per 1 dus senilai 1 juta rupiah. Untuk dus-dus yang rerata isinya adalah buku lawas masakan dan komputer, saya urung membeli. Hanya ada 1 dus saja yang menarik minat saya, yakni yang seluruh isinya buku berjudul Indonesian Communism: A History karya Arnold C. Brackman. Namun karena tidak ada kesepakatan harga, gagallah saya memiliki buku eks toko terkenal di Bandung ini.

Nama Toko Buku Djawa termuat di daftar toko di Jalan Braga Bandung dalam Guide Book Africa Asia Islamic Conference 1965. (Sumber foto: Pabukon Hanca)
Nama Toko Buku Djawa termuat di daftar toko di Jalan Braga Bandung dalam Guide Book Africa Asia Islamic Conference 1965. (Sumber foto: Pabukon Hanca)

Akhir Kisah Toko-toko Buku di Sepanjang Jalan Braga

Sejak tahun 1954, berdasarkan informasi yang termuat di buku Pekan Buku Indonesia (1954), Bandung and Environs (1955), Short Guide Djakarta-Bogor-Bandung (1955), Bandung Shopping Directory 1991, dan beberapa Buku Petunjuk Telepon, terdapat banyak toko buku di sepanjang Jalan Braga, di antarany:

  1. Van Dorp
  2. Suco
  3. Tiara
  4. Djawa
  5. Marco
  6. Indira (kemudian berubah menjadi Sarinah-Indira?)
  7. Scientific
  8. Harapan
  9. Mawar
  10. Intervarsity
  11. Skanda
  12. Nusa Cendana

Dari data di atas, saat ini tinggallah tersisa Toko Buku Nusa Cendana, itu pun saat ini sudah berubah bentuk menjadi Indische Cafe. Inilah potret yang menunjukkan “matinya toko buku di kota intelektual”, kalau boleh saya meminjam judul yang dituliskan oleh Usep Romli HM, wartawan PR, di koran edisi 4 Maret 2015.

Pada tahun 2019, saya dan anak sulung menyempatkan mampir ngopi di eks Toko Buku Djawa yang sudah berubah menjadi kedai Kopi Toko Buku Djawa. Saya lihat nama dan tipografi yang tak berubah, kaca bekas etalase beserta nama toko, serta di dalam menggantung beberapa foto berbingkai yang sama seperti saat toko buku masih buka. Meski ‘aroma buku’-nya sudah hilang sama sekali, namun patut saya hargai usaha baik dari sang empunya kedai untuk mempertahankan kenangan terhadap Toko Buku Djawa. 

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//