• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (8): Pertama Kali Ikut Pameran Buku, Ketemu Andrea Hirata dan Andy Rif

MEMORABILIA BUKU (8): Pertama Kali Ikut Pameran Buku, Ketemu Andrea Hirata dan Andy Rif

Tanpa diduga saya didatangi seseorang yang kelak penjualan karya bukunya meledak dan dijadikan film layar lebar: Andrea Hirata.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Berpose bareng Andrea Hirata di Potluck Coffe & Library saat acara bedah buku yang dikelola oleh Renjana Organizer. (Sumber: Deni Rachman).

5 September 2021


BandungBergerak.id - Bunyi alarm mundur mobil truk terdengar nyaring. Seseorang terlihat sedang memberi aba-aba parkir. Tampak hiruk-pikuk orang-orang saling bergegas menurunkan barang-barang di loading dock. Setelah truk merapat, sang asisten supir membuka pintu truk box dan menurunkan isinya satu-persatu. Di mulut pintu gedung, troli datar beroda empat sudah bersiap-siap menampung barang-barang yang diturunkan.

Saya berada di jok depan mobil rental bak terbuka, menunggu giliran truk itu selesai menurunkan seluruh isinya sambil menyaksikan aktivitas hilir-mudik orang-orang di belakang layar demi kesuksesan sebuah pameran. Terkadang terdengar teriakan beberapa orang memberi semangat kepada rekan setimnya. Tim logistik, begitulah saya sebut untuk orang-orang yang menangani persiapan pasokan barang pameran buku ini. Proses loading in biasanya dilakukan malam hari, barang-barang langsung ditata dan dipajang, dan keesokan hari stand pameran sudah siap dibuka. 

Untuk pertama kalinya, saya berada dalam situasi hiruk-pikuk itu. Saya dengan modal keberanian ‘setengah’ nekat mengikuti pameran umum di Graha Manggala Siliwangi yang berlokasi di Jalan Aceh No.66. Infonya lagi-lagi saya dapatkan dari rubik di harian Pikiran Rakyat. Beberapa hari sebelum acara digelar, saya menghubungi narahubung yang tertera di sana.

Setelah kira-kira setahun melapak di Pasar Kaget Gasibu, saya merasa perlu mencoba tantangan baru selanjutnya dengan berkeliling dari bursa ke bursa buku maupun dari pameran ke pameran. Saat itu pameran dengan pasar homogen seperti di Pameran Buku Bandung belum bisa sepenuhnya saya ikuti, karena masih merasa terbatas pengalaman, belum cukup modal untuk menyewa stand, dan belum memiliki cukup stok buku. Untuk belajar mengenal pameran buku besar yang secara rutin diselenggarakan oleh Ikapi Jabar di gedung Landmark, saya menjajakinya menjadi penjaga stand penerbit lain atau sekadar menjadi pengunjung umum. Maka langkah lain berdagang buku melalui pasar heterogen dan lokasi kampuslah yang menjadi pilihan.

UIN menjadi tempat bursa buku pertama di kampus yang saya jajaki. Sedangkan gedung Graha Manggala Siliwangi merupakan tempat pertama kali saya mengikuti pameran yang skalanya tingkat provinsi. Dengan mendapat pasokan konsinyasi buku dari penerbit Grasindo, Kiblat, Mizan, Geger Sunten, dan Nuansa, saya memberanikan diri mengikuti ajang penjualan buku yang segmen pasarnya berbeda dengan pasar di Gasibu.

Tanggal 9 - 12 April 2003, pameran bertajuk 4th Kids Expo ini berlangsung di Graha Manggala Siliwangi, diselenggarakan oleh event organizer (EO) Green Production pimpinan Pak Hans Juanda. Kegiatan pameran pendidikan, kesehatan, dan perlengkapan anak ini berisi acara lomba balita sehat, gigi sehat anak, foto balita sehat, cipta puisi, penulisan esai, dialog, pementasan nyanyi, dll. Narahubung EO, Kang Deden S. Rachmat, sangat baik dan ramah memberikan kelonggaran biaya untuk stand buku. Saat mendaftar, stand tinggal tersisa beberapa. Saya akhirnya mendapatkan satu stand.

Secara kategori, stand buku masuk ke dalam pameran pendidikan. Saya membawa judul-judul buku anak-anak yang banyak diterbitkan oleh Penerbit Mizan dan Grasindo. Buku anak Penerbit Mizan selalu menjadi favorit pembeli. Sedangkan konsumen yang meminati buku panduan pendidikan untuk guru dan orang tua, lebih memilih terbitan Grasindo. Dari terbitan Kiblat dan Geger Sunten, biasanya yang laris adalah buku cerita anak berbahasa Sunda dan kamus 3 bahasa (Sunda-Indonesia-Inggris). Pameran berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 9 malam, dan sepenuhnya hanya saya sendiri yang menjaga stand.

Buku didiskon biasanya di kisaran 10-15 persen kepada konsumen. Dengan margin laba 10-15 persen saat itu, sebetulnya tidak terlalu menargetkan omzet penjualan. Yang terpenting seluruh biaya operasional seperti biaya sewa rental mobil PP, biaya stand, biaya konsumsi tiap hari; sudah tertutupi. Laba memang tidak terlalu besar. Namun dengan bisa membawa segudang pengalaman berpameran saja saya sudah mendapatkan satu ‘keuntungan’ besar.

Di sela-sela istirahat saat melapak buku di satu pameran di Sabuga, saya sempat bertemu dan berfoto bareng Andy Rif. (Sumber: Deni Rachman).
Di sela-sela istirahat saat melapak buku di satu pameran di Sabuga, saya sempat bertemu dan berfoto bareng Andy Rif. (Sumber: Deni Rachman).

Mengenal Karakter Pelbagai Event Organizer

Rupanya Kids Expo yang diselenggarakan Green Production sudah berlangsung sejak tahun 2001. Setiap tahun EO ini menyelenggarakan dua kali pameran bertemakan pendidikan anak-anak. Di awal pendiriannya di tahun 1997, EO yang dipelopori oleh para alumnus ITB dan didirikan oleh Hans Juanda ini menyelenggarakan pameran pertama kali tahun 2000 bertajuk Pameran Pendidikan, Pelatihan, dan Teknologi di Sabuga.

Beberapa pameran yang diselenggarakan Green dominan bertemakan pendidikan (dari anak usia dini hingga pascasarjana), teknologi, kesehatan, olahraga, pertemuan ilmiah; meski pernah juga menyelenggarakan Expo International Coconut Day (2002) dan Family Gathering suatu perusahaan tertentu.

Sampai saat ini, meski sejak tahun 2010 saya belum mengikuti lagi pamerannya, saya masih berhubungan baik dengan Kang Deden. Ia saat ini sudah menduduki posisi Direktur Green Production.

Ada sekira 5 organizer acara umum di rentang tahun 2003-2010 yang pernah saya ikuti, saya patut menyebut Green Production merupakan yang terbaik karena dikelola secara profesional. Seluruh publikasi event GP dilakukan massif secara BTL (below the line). Saya sering melihat baliho, spanduk, dan banner kecil terpasang di setiap titik strategis Kota Bandung. Publikasi ini membuat hati saya dan para tenant puas, kami optimis penjualan bakal ramai karena didukung publikasi yang optimal.

Pernah suatu waktu mengikuti event yang dikelola oleh EO lain, namun membawa kesan buruk kepada para tenant. Ketika itu berlangsung sebuah pameran yang sepertinya hendak meniru Kids Expo. Di depan mata saya sendiri, marketing EO beradu mulut dengan beberapa tenant di depan stand. Konflik tersebut akhirnya memicu keributan di tengah-tengah acara yang sedang berlangsung. Satu hal yang menjadi pelajaran, sebaiknya penanganan masalah diselesaikan di ruangan sekretariat EO, tentunya terlebih dahulu EO harus bersikap santun dan rendah hati. Sejak saat itu saya tak pernah mendengar EO tersebut mengadakan acara lagi. Dengan mengenal berbagai EO saya mengenal juga karakter EO tersebut, mana yang sebaiknya saya ikuti atau tidak.     

Pertama kali saya mengikuti pameran di 4th Kids Expo, 9-12/04/2003, Graha Manggala Siliwangi. (Sumber: Deni Rachman).
Pertama kali saya mengikuti pameran di 4th Kids Expo, 9-12/04/2003, Graha Manggala Siliwangi. (Sumber: Deni Rachman).

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (5): Menjadi Mitra Penerbit Kiblat, dari Diskusi sampai Ketemu Jodoh
MEMORABILIA BUKU (6): Menjadi Reseller Penerbit Mizan, Ijazah Jadi Jaminan
MEMORABILIA BUKU (7): Festival Buku Asia Afrika dan Komunitas Baca Asian African Reading Club

Mengenal Pelbagai Gedung Tempat Pameran

Sampai saat ini Bandung tidak memiliki gedung pertemuan yang berskala besar. Karena ruang di kota yang semakin sempit dan terbatas, ada wacana membuat ruang pertemuan tersebut di luar pusat kota. Berikut ini beberapa gedung yang kerap dipakai pameran:

1. Graha Manggala Siliwangi (kapasitas 2.500 orang)

2. Sabuga (auditoriumnya berkapasitas 2.500 orang)

3. Bale Asri Pusdai (kapasitas 2.000 orang)

4. Landmark (kapasitas 1.500 orang)

5. Hotel-hotel besar

6. Mal

7. YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan/Gedung Pusat Kebudayaan)

Meskipun pameran banyak diselenggarakan di mal Kota Bandung, namun jarang pedagang buku yang turut serta dalam pameran dikarenakan biasanya sewa per meternya yang sangat mahal. Hanya sesekali pernah diadakan pameran homogen perbukuan di tahun 2000-an seperti di mall Paris van Java yang diselenggarakan oleh EO BukaBuku dan di Bee Mall (Jalan Naripan) yang diselenggarakan Syakaa Organizer. 

Bertemu Andrea Hirata dan Andy Rif/ di Pameran

Ketika melapak buku di pameran pendidikan di Hotel Papandayan, tanpa diduga saya didatangi seseorang yang kelak penjualan karya bukunya meledak dan dijadikan film layar lebar: Andrea Hirata. penulis Laskar Pelangi.

“Mas, perkenalkan saya penulis buku ini,” kata dan Andrea Hirata, sambil menyerahkan selembar sampul depan dan belakang buku bertuliskan Laskar Pelangi. “Bukunya saat ini sedang dicetak oleh penerbit di Yogyakarta.”

Saya langsung melihat logo penerbitnya di sampul bukunya yang masih draft itu. Rupanya diterbitkan oleh Penerbit Bentang, satu penerbit yang khas dengan desain kaver karya Buldanul Khuri dan Harry Ong. Kini penerbit itu sudah berpindah tangan menjadi lini penerbit Mizan.

Andrea Hirata mengulurkan tangannya. Kami pun berkenalan. Maksud kedatangannya ingin sekali mendapat bantuan untuk mempromosikan bukunya jika jadi terbit nanti. Saya dengan seksama membaca sinopsisnya di sampul belakang, tema cerita yang unik yang jarang hadir di tengah buku teenlit-chicklit-kosmopolitan yang sedang trend saat itu. Saya berkesimpulan Andrea ingin ada EO yang bisa melejitkan bukunya. Melihat kemampuan diri saat itu yang nol pengalaman dalam dunia EO, bahkan memfokuskan diri dari pameran ke pameran, tawaran itu saya tolak secara halus. Saya mengarahkan jika bukunya sudah terbit nanti, Andrea bisa merapat ke Toko Buku Kecil (Tobucil) untuk peluncuran sekaligus bedah buku. Tak lama kemudian buku tersebut terbit, dan betul saja Andrea mengikuti saran membedah bukunya di Tobucil di Jalan Kyai Gede Utama No.8. 

Keinginan Andrea untuk memiliki agen literasi akhirnya terwujud dengan bantuan tangan dingin Dhipie Kuron sang pemilik Renjana Organizer. Renjana Organizer sekira tahun 2005 kerap mengadakan bincang-bincang buku di Bacabaca Bookmart, sebuah toko buku independent yang bertempat di Sabuga. Saat itu saya jadi sering bertemu Andrea dan Dhipie di sana, karena saya memasok juga buku ke Bacabaca. Seluruh kegiatan promosi Laskar Pelangi bahkan hingga menangani kontrak ketika akan difilmkan oleh Miles Film, dikelola oleh Renjana. Renjana pun mematahkan ‘mitos’ jika dalam satu kota, buku hanya bisa dibedah 1 kali. Di tangan Renjana, bedah buku Laskar Pelangi di Bandung saja bisa 3-4 kali di pelbagai tempat. Buku Laskar Pelangi diketahui kemudian sudah cetak lebih dari 600 ribu eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 24 bahasa asing.  

Pertemuan yang lain yang jadi kenangan adalah ketika sempat berpotret bareng dengan Andy Rif. Vokalis yang bernama asli Restu Triandy ini hadir di Sabuga ketika pameran berlangsung. Di sela-sela istirahat menjaga stand buku, tanpa menyia-nyiakan kesempatan saya mengambil kamera digital ‘jadul’ dan menghampiri kang Andy Rif. Ia dengan ramah bersedia diminta berpotret bersama.

Tak semua pameran dan prosesnya berjalan mulus. Seperti yang saya alami saat mengontak narahubung panitia pameran di Gedung Merdeka yang akan didatangi pejabat negara, ia menyatakan kalau pameran buku tidak diperkenankan berjualan karena “sareukseuk”, dalam Bahasa Sunda artinya menggangu pemandangan mata. Ironis sekali, jawaban panitia itu yang menganggap buku sebagai sesuatu yang kotor, berantakan, memalukan, dan mengganggu pandangan.

Suka dan duka berpameran buku di event-event skala besar ini menjadi memorabilia tersendiri bagi perjalanan berdagang buku. Yang pasti tak ada yang sia-sia, saya meraih jaringan relasi perbukuan yang semakin terjalin luas seperti jejaring laba-laba. Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//