• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (7): Festival Buku Asia Afrika dan Komunitas Baca Asian African Reading Club

MEMORABILIA BUKU (7): Festival Buku Asia Afrika dan Komunitas Baca Asian African Reading Club

Keterlibatan di AARC dan Sahabat Museum KAA mengilhami saya untuk mengumpulkan khazanah literasi tematik seputar KAA 1955. Buku, publik, dan museum berkelindan.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Buku babon Konferensi Asia Afrika (KAA), The Bandung Connection, terbit dalam versi Indonesia dan Inggris pada tahun 1980. Buku ini adalah buku yang dibaca dalam tadarusan pertama Asian African Reading Club. (Sumber foto: Pabukon Hanca)

29 Agustus 2021


BandungBergerak.idMari beranjak sejenak ke tahun 2009, tepatnya pada momentum Agustusan di acara Festival Buku Asia Afrika. Saat itu diresmikan sebuah komunitas baru yang akan mengusung nilai-nilai Semangat Bandung lewat bahan bacaan bertema Asia Afrika. Dalam kurun 2008-2010, ketika usaha buku saya hentikan karena bangkrut, saya mulai belajar menjadi asisten pustakawan dan pengelola kegiatan (event organizer) kegiatan-kegiatan literasi. 

Festival Buku Asia Afrika berlangsung 14–25 Agustus 2009 di Museum Konperensi Asia Afrika (Museum KAA). Komunitas baru itu bernama Asian-African Reading Club (AARC) yang lahir dari tautan buku, publik, dan museum.

Awal ketertarikan saya secara intens kepada museum muncul dari sebuah seminar bertopik museum yang diselenggarakan di Gedung Indonesia Menggugat sekitar bulan Mei 2009. Saat itu pemerintah mencanangkan satu gerakan cinta museum yang memiliki jargon baru “Museum di Hatiku”. Tujuan gerakan itu semacam ingin melekatkan kembali keberadaan museum kepada publik atau melibatkan publik secara partisipatif dalam kegiatan di museum.

Bandung memiliki sejumlah museum yang menyimpan banyak memori sejarah lokal, nasional, bahkan internasional. Sebut saja misalnya Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), Museum Geologi, Museum Pos, Museum Sri Baduga, dan Museum Mandala Wangsit. Sebagai orang pendatang yang pertama kali ke Bandung tahun 1995, saya manfaatkan betul waktu untuk mencari tahu informasi apa saja yang ada di museum, yang tak bisa didapatkan ketika saya bersekolah di Palabuhanratu.

Yang saya ingat, tampilan interior Museum KAA yang diresmikan tahun 1980 itu belumlah seperti sekarang. Baru tahun 2005, ketika peringatan 50 tahun KAA dihelat, Museum KAA bersolek diri. Sejak tahun itu pula gagasan dan konsep Sahabat Museum KAA disemai. Publik mulai terlibat langsung dalam mengangkat nilai-nilai sejarah KAA 1955.

Suasana peresmian Asian African Reading Community (AARC) pada 15 Agustus 2009 di ruang bendera Museum KAA saat Festival Buku Asia Afrika yang merupakan bagian dari Festival Kemerdekaan. Tampak hadir: Isman Pasha, Penulis, Ahda Imra, Nunun Nurhayati, dan Adew Habtsa (sumber foto: Desmond Satrian Andrian/MKAA)
Suasana peresmian Asian African Reading Community (AARC) pada 15 Agustus 2009 di ruang bendera Museum KAA saat Festival Buku Asia Afrika yang merupakan bagian dari Festival Kemerdekaan. Tampak hadir: Isman Pasha, Penulis, Ahda Imra, Nunun Nurhayati, dan Adew Habtsa (sumber foto: Desmond Satrian Andrian/MKAA)

Pembentukan AARC

“Kang Deni, ditunggu di rumah Euceu ya, ada yang perlu diobrolkan terkait komunitas,” terdengar suara Ceu Nunun dari balik gawai yang bisa dilipat. Saya terakhir bertemu Ceu Nunun di acara seminar museum bulan Mei itu.

Keesokan harinya saya mengunjungi rumah Ceu Nunun di daerah Buah Batu, Bandung. Dari obrolan itu disepakati rencana pendirian sebuah komunitas baca bernama Asian African Reading Club yang akan mengangkat nilai-nilai kesejarahan Konferensi Asia Afrika 1955.

Nunun Nurhayati yang saat itu saya kenal adalah seorang pegiat museum, selain beraktivitas sehari-hari sebagai PNS. Setelah pertemuan di rumahnya, saya intens berkunjung ke Museum KAA. Bersama Ceu Nunun, saya mempresentasikan 5W 1 H-nya komunitas AARC di hadapan Kepala Museum KAA saat itu, Isman Pasha.

Pak Isman yang ramah dan terbuka dalam menerima ide, membuat saya dan juga para anggota komunitas lain yang kemudian terlibat di MKAA merasa lebih betah dan nyaman di MKAA. AARC awalnya akan dikembangkan tidak hanya ‘membaca’ Asia Afrika lewat media buku, tapi juga film, drama, dan storytelling.

Kenapa dipilih model tadarusan? Model membaca ini pernah dipraktikkan selama saya aktif di Klab Baca Pramoedya dari tahun 2003-2006 sebagai satu model membaca secara kolektif dalam suasana santai. Lagi pula, saya kira nama tadarusan pun sudah akrab bagi orang-orang Indonesia.

Tadarusan buku dilakukan dengan membaca buku dalam jumlah halaman tertentu secara nyaring, dan dilanjutkan oleh pembaca lain sampai waktu tadarus berakhir. Setiap orang secara khas akan memiliki gaya baca nyaring yang berbeda-beda. Jika ada diksi atau kalimat yang tak dipahami, biasanya pembaca akan menjeda dulu sambil membahasnya secara bersama-sama. Terkadang diselingi canda tawa ketika ada kalimat yang dirasa menggelitik. Setiap diksi atau kalimat seolah-olah memiliki emosi tersendiri ketika dibanyakan secara nyaring.

Nah, masalahnya, buku apa yang akan dibaca untuk pertama kali di AARC nanti?

Suatu hari ketika berada di Museum KAA, saya dihampiri seorang staf dan ia menyodorkan sebuah buku berwarna merah berjudul The Bandung Connection. Buku itu ditulis atas kesaksian pribadi Ruslan Abdulgani, sang Sekretaris Jenderal KAA tahun 1955.

“Ini buku babon KAA, Kang,” tandas Kang Desmond, seorang tinggi besar dengan seragam gelap.

Pucuk dicinta ulam tiba. Kehadiran buku ini menjawab apa yang dimaksud dengan nilai KAA. Selama tiga bulan saya membolak-balik buku terbitan Gunung Agung (1980) itu, dan akhirnya menemukan inti sarinya: peacefull co-existance, satu nilai kebersamaan lewat hidup berdampingan secara damai. Nilai inilah yang kemudian menjadi daya gerak komunitas AARC. The Bandung Connection menjadi buku pertama dan secara berkala menjadi bahan tadarusan.

Sebulan kemudian, saya membentuk tim AARC. Tim ini diisi oleh kawan-kawan yang gandrung berkomunitas, mewakili keberagaman, dan paham sejarah. Saya mengajak Puji Wiranti, Theoresia Rumthe, Adew Habtsa, dan Letare Aldo Manurung. Mereka mewakili profesi masing-masing sebagai pustakawan, penyiar radio, musisi, dan mahasiswa sejarah. Awalnya dari pihak ‘sejarawan’ pilihan jatuh pada Febby Syahputra, namun karena sedang berhalangan, Letare-lah yang dipilih bergabung di Tim AARC.

Kami berlima sekawan ini wara-wiri Museum KAA, Braga, dan Balepustaka (perpustakaan tempat Puji bekerja). Saya ajak juga Kang Tobing Jr. yang berkegiatan komunitas MyCinema di Balepustaka untuk bisa bergabung di Museum KAA.

Selebaran Festival Buku Asia Afrika yang berlangsung 14-25 Agustus 2009 di Museum KAA. Tertera salah satu mata acaranya adalah Peresmian “Asian African Reading Club” pada Sabtu (15/8/2009). (Sumber: dokumentasi Deni Rachman)
Selebaran Festival Buku Asia Afrika yang berlangsung 14-25 Agustus 2009 di Museum KAA. Tertera salah satu mata acaranya adalah Peresmian “Asian African Reading Club” pada Sabtu (15/8/2009). (Sumber: dokumentasi Deni Rachman)

Festival Buku Asia Afrika 2009

Kehadiran beberapa komunitas di Museum KAA menambah kehangatan museum. Satu pemandangan yang mungkin langka di museum-museum lain. Dari obrolan antarkomunitas, akhirnya kami mengadakan satu kegiatan bersama yang paralel dengan peringatan Hari Kemerdekaan di Gedung Indonesia Menggugat. Kegiatan itu dinamai Festival Buku Asia Afrika (FBAA).

Komunitas dan instansi yang bergabung dalam festival ini adalah Museum KAA, Komunitas Dipan Senja, KP2W Unpad, Angklung Web Institute, Pesona Nusantara, Komunitas Menara, MyCinema, Dipan Senja, Paguyuban Karl May Indonesia, LawangBuku, Bacabaca Bookmart, dan Balepustaka.

Berikut ini mata acara FBAA:

Sabtu, 15 Agustus:

  • Pembukaan “Kemerdekaan dalam Inspirasi”
  • Monolog Pidato Bung Karno di KAA 1955 “Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru” oleh Wawan Sofwan
  • Peresmian “Asian African Reading Club”
  • Peluncuran Buku Citra Indonesia di Mata Dunia
  • Pertunjukan Musik Angklung & Paduan Suara
  • Orasi Budaya oleh Ahda Imran
  • Pentas Musik oleh Fajrur

14 – 25 Agustus:

  • Bazzar Buku Sejarah, Buku Langka, Buku-buku Asia Afrika
  • Pameran Karya Sketsa Sudjana Kerton

16 – 25 Agustus: Pemutaran Film Asia Afrika & Karl May

Minggu, 23 Agustus:

  • Seminar & Workshop Orang Tua dan Anak “Anak Kemerdekaan”. Pembicara: Yoanna Greissia.
  • Kemerdekaan dalam Puisi, Peluncuran Buku Puisi Surat ti Bali karya Didin Tulus

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (6): Menjadi Reseller Penerbit Mizan, Ijazah Jadi Jaminan
MEMORABILIA BUKU (5): Menjadi Mitra Penerbit Kiblat, dari Diskusi sampai Ketemu Jodoh
MEMORABILIA BUKU (4): Bekerja Sama dengan Grasindo Bermodal Status ‘Mahasiswa’

Peresmian dan Kiprah AARC

Setelah melalui proses selama kurang lebih dua bulan, pada tanggal 15 Agustus 2009, di dalam rangkaian FBAA, tibalah saatnya peresmian AARC. Saya bersama Pak Isman Pasha, Ceu Nunun Nurhayati, dan Kang Ahda Imran meresmikan pendirian AARC. Acara peresmian berlangsung di ruang bendera, dipandu oleh Adew Habtsa. 

Selanjutnya komunitas ini hadir rutin dengan program utama tadarusan buku mingguan, setiap Selasa petang selepas pemutaran film oleh komunitas MyCinema (kini LayarKita). Pada fase merawat kegiatan ini, jumlah peserta tadarus terkadang penuh, terkadang hanya tiga orang. Pengurus awal pun akhirnya menyusut tinggal berdua, saya dan Adew. Saya saat itu sebagai Ketua dan Adew sebagai Sekjen. Karena setahun kemudian saya diminta turut membidani kelahiran komunitas Sahabat Museum KAA, AARC terus dikelola oleh Adew hingga sekarang.

Kehadiran secara berkala para pembicara yang memiliki keilmuan tertentu, selepas tadarus buku, menambah nilai bobot acara tadarusan. Biasanya tadarus di AARC berlangsung sekitar 1,5 jam, setelah itu diisi dengan diskusi atau pemaparan dari pembicara. Satu buku akan tamat tergantung tebal tipisnya, yakni berkisar antara 1–6 bulan. Buku Dibawah Bendera Revolusi karya Bung Karno merupakan buku terlama yang pernah dibaca di AARC.

Pada fase perkembangannya, AARC berjalan dinamis dengan kehadiran peserta tadarus yang secara sukarela membantu mengurus kegiatan, termasuk Mubes pemilihan Sekjen AARC di tahun 2011 serta napak tilas sejarah ke Istana Bogor (tempat berlangsungnya Konferensi Bogor yang merumuskan maksud dan tujuan KAA), rumah Roeslan Abdulgani, Gedung Pancasila, dan makam pahlawan Kalibata.

Pada fase inilah, AARC menghasilkan karya literasi secara kolektif, seperti menerbitkan buku antologi Bandung Ibukota Asia-Afrika dan merekam audiobook The Bandung Connection. Sedangkan secara personal, lahir buku Menjadi Bangsa Pembaca dan syair-syair lagu karya Adew Habtsa. Di tahun 2020, terbit pula antologi Membaca M. Yamin dan tahun 2021 terbit buku Tadarus The Bandung Connection karya Pramukti Adhi Bhakti. AARC juga menjadi bahan kajian penelitian tesis Hendra Saeful Bahri, mahasiswa S2 Pendidikan Kewarganegaraan UPI.

Bagi saya sendiri, keterlibatan di AARC dan Sahabat Museum KAA mengilhami saya untuk mengumpulkan khazanah literasi tematik seputar KAA 1955. Akses koleksi ini terbuka bagi peneliti dan peminat sejarah KAA. Buku, publik, dan museum terasa berkelindan di sana.

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengutip apa kata seorang guru SMP 55 Bandung tentang tadarusan buku di AARC: “Pertama kali ke AARC Februari 2018. Mungkin sudah lama mengetahui AARC ini dari zamannya Supriadi (dosen Unisba, pernah menjadi pembicara di AARC). Sebetulnya motif datang ke AARC ini memelihara gila membaca. Semangat membaca jangan sampai hilang. Soalnya sekarang sudah ada namanya “Gerakan Literasi Sekolah’, yang saya tahu tidak semua guru suka membaca. Ketika dunia sehari-hari menghadapi orang yang tidak suka membaca seperti bibit tanaman, bagaimanapun bagusnya bibit tanaman jika disebar di gurun tidak akan tumbuh. Begitu juga dengan minat baca. Kegiatan AARC ini salah satunya memelihara tadarus, yang lainnya adalah menjadi silaturahmi dengan orang-orang baru.”

Saat ini informasi acara AARC bisa diperoleh dengan mengontak secara langsung Adew Habtsa (WA: 0821-2172-3948) dan mengikuti akun Instagram: asianafrican_readingclub. 

Berikut ini beberapa buku yang pernah ditadaruskan di AARC (2009-2021):

  1. The Bandung Connection (Roeslan Abdulgani)
  2. Asia Future Shock (Michael Backman)
  3. Tonggak-tonggak di Perjalananku (Ali Sastroamidjojo)
  4. Pasang Naik Kulit Berwarna (Lothrop Stoddard)
  5. Dibawah Bendera Revolusi (Ir. Soekarno)
  6. Indonesia Merdeka (Mohammad Hatta)
  7. Sejarah Afrika (Darsiti Soeratman)
  8. Seratus Tahun Haji Agus Salim
  9. Afrika yang Resah (Okot p’Bitek)
  10. The Colour Curtain (Richard Wright)
  11. Langkah Menuju Kebebasan (Nelson Mandela)
  12. Kisah-kisah dari Asia (Puci Rungkingking)
  13. Manusia Langka Indonesia, 90 Tahun Prof. Mr. Sunario (Sagimun M.D.)
  14. Rosseno dan Manusia Beton (Solichin Salam)
  15. 6000 Tahun Sang Merah Putih (Muhammad Yamin)
  16. Semua Manusia Bersaudara (Mahatma Gandhi)
  17. Sajak-sajak Mao Zedong
  18. Renungan Indonesia (Sutan Sjahrir)
  19. Konferensi Asia-Afrika 1955 (Wildan Sena Utama)
  20. Jalan Raya Pos Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer)

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//