MEMORABILIA BUKU (4): Bekerja Sama dengan Grasindo Bermodal Status ‘Mahasiswa’
Dimulai dari sistem konsinyasi, puncak kerja sama dengan Grasindo adalah ketika LawangBuku menjadi distributor buku dari tahun 2003 hingga 2008.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
8 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Ada tiga penerbit yang saya tuju di awal usaha berdagang buku: Grasindo, Kiblat, dan Mizan. Ketiga penerbit ini tersebar di tiga titik kota Bandung yang satu sama lain saling berjauhan. Di awal tahun 2002, saya mulai menyambangi ketiganya dengan bermodal status ‘mahasiswa’.
Yang pertama, Grasindo. Tawaran untuk datang ke kantornya disampaikan salah seorang petugas pemasaran yang memberikan kartu namanya ketika saya melapak buku di Pasar Kaget Gasibu. Demi menemukan harta karun di penerbit yang menerbitkan buku-buku sastra karya banyak tokoh besar, seperti Seno Gumira Ajidarma, Gunawan Mohamad, dan Nh. Dini itu, saya berangkat menuju bilangan Gunung Batu. Satu tempat yang asing bagi saya. Tidak seperti Pasteur yang sudah saya kenal. Saat itu belum ada GPS atau ojek online yang bisa membantu memukan titik lokasi dengan cepat.
Saya naik angkot (angkutan kota) beberapa kali, dengan angkot terakhir berwarna biru jurusan St. Hall–Cimindi. Setiba di terminal, saya bertanya kepada salah seorang di sana, dan ia lantas menyarankan saya memakai keretek atau delman untuk sampai ke alamat di kartu nama. Saya naik keretek dan menunggu agak lama karena penumpang harus penuh. Dari terminal, sang kusir mengarahkan kuda berbelok ke kanan, masuk ke kompleks perumahan.
Dimulai dari Konsinyasi
Saya meminta berhenti di jalan agak menurun, tepat di depan sebuah rumah bercat putih. Garasinya tertutup. Nampak ada tumpukan buku dan beberapa dus di teras menuju mulut pintu masuk. Saya mengetuk pintu yang sudah terbuka. Terlihat seorang perempuan, yang kemudian saya kenal bernama Mbak Theresia, sedang mengetik. Dia menghampiri dan menanyakan keperluan saya. Setelah saya menyebutkan nama pada kartu nama itu, dia mengatakan yang bersangkutan sudah tak bekerja lagi di Grasindo.
Saya lantas dipertemukan dengan Kang Dani, kepala marketing. Saya kemukakan niat dan maksud saya menerima tawaran menjualkan buku-buku humaniora terbitan Grasindo dengan sistem konsinyasi. Tanpa pakai ribet, pihak penerbit hanya meminta syarat fotokopi KTP & Kartu Tanda Mahasiswa, saya diperkenankan menjual buku-buku terbitannya.
Dari katalog yang diberikan dan dari tur singkat mengelilingi kantor sekaligus gudang itu, saya dapat mengetahui stok buku tersedia. Saya terkesiap melihat ratusan judul buku tersimpan di rak-rak dan di dalam dus-dus buku. Saat itu saya tidak mengetahui dari mana pasokan buku itu berasal.
Kerja sama saya secara rutin menyalurkan buku-buku Grasindo dari pameran ke pameran, baik di event besar maupun acara di sekolah-sekolah. Saya sering menyambut baik setiap tawaran dari Kang Dani untuk mengikuti acara lapakan buku, yang tak bisa dikelola oleh tim marketingnya. Dari sana saya belajar banyak mengelola event dan belajar mengenal perilaku konsumen dari berbagai kalangan. Setiap bulan hasil penjualan saya setorkan langsung ke kantor Grasindo. Sementara stok buku saya kelola di kosan yang tempatnya selalu nomaden.
Yang unik, akses menuju Grasindo ternyata bisa saya tembus dengan jalan memotong melalui satu terowongan panjang tepat di bawah jalan tol Pasteur. Saat itu saya turun di sekitar daerah setelah Borma Gunung Batu. Kemudian menuruni tepi jalan, masuk ke sebuah perkampungan yang masih ada MCK (Mandi Cuci Kakus) dilengkapi bak besar yang memiliki beberapa batang pancuran. Satu pemandangan tak biasa yang belum pernah saya temui sebelumnya di kota Bandung. Melewati kampung itu, saya berbelok ke kiri menuruni tangga masuk ke sebuah terowongan besar dan menaiki tangga lagi hampir tepat di depan kantor Grasindo.
Di kemudian hari saya baru mengetahui jikalau Grasindo adalah salah satu grup Kompas Gramedia. Grasindo yang berdiri tahun 1990, merupakan singkatan dari Gramedia Widiasarana Indonesia, lini usaha yang saat itu menerbitkan khusus buku-buku pelajaran dan referensi pendidikan. Saya mengenal Grasindo justru dari buku-buku sastranya yang dijual di Palasari.
Kerja sama dengan Grasindo terus berlanjut sampai sekitar tahun 2004-2005 ketika kantornya berpindah dan digabungkan dengan seluruh grup Kompas Gramedia (KG) di Gedung Grha Kompas. Gedung yang berlokasi di Jalan Riau itu bersebelahan dengan Goethe Institute dan Gedung Pos Banda. Di gedung barunya itu saya lihat ada penerbit Gramedia Pustaka Utama (yang menangani juga KPG dan Penerbit Buku Kompas) dan Elexmedia. Sedangkan lini majalah terbitan dan distribusi Gramedia seperti Bobo dan Hai saat itu berkantor di Ruko Segitiga Emas Kosambi. Kultur kerja dan komunikasi yang baik dengan pihak Grasindo dan lini-lini usaha di sana membuat saya betah. Saya tak segan untuk bisa mengajak pihak KG bekerja sama.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (3): Setahun Melapak Buku di Pasar Kaget Gasibu
MEMORABILIA BUKU (2): Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka
MEMORABILIA BUKU (1): Sebelum Penerbit Djambatan Tutup
Menjadi Agen Literasi
Model kerja sama meluas ketika saya dan ketiga rekan mendirikan agen literasi Dipan Senja di tahun 2005-2009. Saya kemudian memegang manajemen para penulis Grasindo: Anjar dan Adenita. Karya Anjar yang terkenal adalah Beraja (terbit 2002), selain karya lain seperti Kidung (2004), Lelana (2007), dan Motivasiholic (2009). Sedangkan Adenita menorehkan karya 9 Matahari (2008) yang best-seller, dan 23 Episentrum.
Saya mendampingi dan mengatur jadwal para penulis tersebut mulai dari peluncuran buku, bedah buku, workshop menulis, temu pembaca, dan book signing. Lokasinya berbeda-beda. Bisa di sekolah, di kampus, on air di radio, atau di pameran-pameran. Saya mendapat upah dari berbagi persentase penghasilan di luar royalti sang penulis. Dari agen literasi ini saya mengenal tim dapur redaksi, editor, penulis Grasindo atau grup KG lainnya. Dari sanalah saya mengenal Fira Basuki, Ayu Utami, Donny Dhirgantoro, Ratih Kumala, Mang Jamal, serta rekanan penulis seperti JJ Kusni, Ninit Yunia, dan Theresia Rumthe. Fase menjadi agen literasi ini akan saya ceritakan dalam satu tulisan khusus.
Puncak dari kerja sama dengan Grasindo adalah ketika LawangBuku menjadi distributor buku antara tahun 2003–2008. Saya berkongsi dengan Wiku Baskoro (eks pemilik toko buku Hitam Putih di kampus Universitas Widyatama). Seluruh judul humaniora kami distribusikan ke toko-toko buku kecil dan pameran-pameran di bawah badan hukum CV Dwi Saraswati. Pasar distribusi yang potensial saat itu di Kota Bandung adalah toko-toko buku kecil berbasis komunitas yang banyak bermunculan. Bak cendawan tumbuh di musim hujan, sebulan bisa berdiri satu toko buku.
Tak hanya mendistribusikan buku, saat itu fungsi distributor turut membantu promosi penerbit untuk mengenalkan penulis kepada para pembacanya. Salah seorang penulis Grasindo yang sedang hits saat itu, Fira Basuki, sempat membedah bukunya di Toko Buku Malka ketika masih berlokasi di bilangan Dago. Fira Basuki saat itu dikenal sebagai penulis chick lit serial Ms. B dan trilogi: Jendela-jendela, Pintu, dan Atap.
Di tahun 2007-2008, badai krisis moneter menghantam lagi dunia bisnis. Tak terkecuali kami sebagai distributor beberapa penerbit harus tutup usaha. Banyak toko-toko kecil itu tutup. Tak sedikit juga pemilik dan stok bukunya turut menghilang. Di masa inilah, seluruh stok buku Grasindo kami retur. Meski dari sisi hitungan sulit lagi menerka selisih kerugian dari buku yang hilang, namun kerja sama tetap terjalin. Hingga penghujung tahun 2009 saya masih menggelar beberapa lokakarya kepenulisan dan menjadi manajemen bagi Anjar dan Adenita.