• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (3): Setahun Melapak Buku di Pasar Kaget Gasibu

MEMORABILIA BUKU (3): Setahun Melapak Buku di Pasar Kaget Gasibu

Berjualan di tempat terbuka seperti pasar tentu berbeda dengan duduk manis di bangku kuliah, atau berjualan di dalam gedung pameran. Ibu-ibu jago menawar.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Suasana pasar kaget Gasibu, Kota Bandung, pada Januari 2014. Di pasar yang hanya buka setiap hari Minggu inilah Deni Rachman memulai usaha melapak buku pada akhir 2001. (Foto: Prima Mulia)

1 Agustus 2021


BandungBergerak.idAku tidak melihat alasan / Kenapa harus diam tertekan dan termangu / Aku ingin secara wajar kita bertukar pikiran / ... / (W.S. Rendra, Aku Tulis Pamplet ini, 1978)

Subuh-subuh betul, seperti saat saya menuliskan fragmen memorabilia ini, saya menyiapkan satu kantong tas gunung kepunyaan kakak kedua serta setumpuk buku, segulung karpet plastik, sekantong keresek pembungkus, sebilah kemoceng, dan sebongkah nyali untuk mengusir rasa malu berdagang di pasar kaget Gasibu. Sekitar akhir tahun 2001, saya memulai usaha ini dengan nama. Baru di dagangan selanjutnya, saya menamainya Kios Buku Wacana. Kios yang diidamkan tak seperti kios yang sebenarnya, kios buku yang etalasenya ngampar di atas aspal.

Selesai sembahyang, saya berpamitan. Saat itu saya tinggal menumpang di rumah kontrakan kakak di daerah Haur Pancuh. Ingat betul, kakak mengontrak di rumah milik Ayi Gasibu. Dinamai begitu karena, menurut kabar, dialah yang menjadi pengelola seluruh penjual roda ‘teh botol’ di kawasan Gasibu.

Kakak saat itu sudah mempunyai anak yang masih balita, keponakan lucu yang serbaaktif. Saya pergi ketika keponakan masih tidur, menembus gang-gang, keluar dari Gang Tilil menuju area depan Gedung Telkom. Dengan bermodal 300 ribu rupiah pinjaman sahabat di kampus, tas gunung yang saya bawa awalnya masih berisi sekira 30 buku.

Seminggu sebelumnya saya belanja buku di Toko Buku Ampera Palasari. Saya membeli buku-buku sastra dan sejarah, tapi lebih dominan novel dan cerpen, seperti karya Ahmad Tohari, Ayu Utami, Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan buku-buku Balai Pustaka lama yang dicetak ulang. Saya mendapat potongan harga 20-30 persen dari Pak Sasmita, sang pemilik toko buku Ampera yang ramah dan baik hati itu.

Awal mula bernama Wacana sambil melapak buku di Gasibu, penulis menyebarkan buletin Gema Wacana. Seperti inilah tampilan buletin edisi 1 Maret 2002 (Sumber: dokumentasi Deni Rachman)
Awal mula bernama Wacana sambil melapak buku di Gasibu, penulis menyebarkan buletin Gema Wacana. Seperti inilah tampilan buletin edisi 1 Maret 2002 (Sumber: dokumentasi Deni Rachman)

Adu Datang Pagi

Pasar kaget Gasibu ini seingat saya sudah ada sejak pascareformasi. Ya, sekitar awal tahun 2000-an. Meski namanya pasar kaset Gasibu, kenyataannya pasar itu tak hanya di lapangan Gasibu saja, tapi terus meluber dan memanjang ke atas melewati gedung Telkom, dan berakhir di Taman Monju (Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat). Saat itu area para pedagang belum sampai ke depan Monju. Tak seramai sekarang.

Dalam bukunya Album Bandoeng Tempo Doeloe (2010), Sudarsono Katam menyebutkan sejarah Lapangan Gasibu ini. Awalnya lapangan ini bernama Wilhelmina Plein, yang kemudian tahun 1950-an berganti nama menjadi Lapangan Diponegoro. Setelah itu, tak disebutkan tahunnya, berganti nama lagi sampai sekarang menjadi Lapangan Gasibu. Gasibu ini bukanlah gazebo, melainkan sebuah akronim dari Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara. Lapangan ini tahun 1960-an pernah menjadi permukiman liar sebelum warganya dipindahkan ke daerah Sukaluyu.

Di pasar kaget Gasibu yang hanya ada di hari Minggu ini, para pedagang harus bergegas berangkat subuh-subuh karena harus berebut mendapatkan tempat hamparan. Mungkin tak seperti sekarang yang sudah ada sistem pengaturan atau perjanjian berdagang. Saat itu siapa cepat, dia dapat.

Saya mematok rutin melapak di depan gedung Telkom, tepat di dinding tembok tinggi bertuliskan Telkom. Itu pun, jam 7, karpet plastik harus rela digulung dahulu, karena kawasan itu akan dipakai senam aerobik. Daripada diam, terkadang saya ikut bergabung senam untuk sekadar menyegarkan badan. Baru sejam kemudian senam usai, dan para pedagang boleh menghampar dagangannya lagi.

Jarak alas dagangan satu sama lain hampir rapat. Paling lebar hanya menyisakan selangkah kaki agar ada akses keluar masuk pembeli atau pedagang. Pedagang di sebelah kiri-kanan saya tidak serta merta menetap. Minggu ini bisa bersebelahan dengan pedagang donat dan pakaian. Minggu depan sudah berubah lagi.

Pedagang yang telat dagang tentu tak akan kebagian tempat. Mereka mencari-cari tempat kosong yang biasanya hanya ada di kawasan menuju Taman Monju yang kurang ramai pengunjung. Traffic keramaian sebetulnya ada di lapangan Gasibu, lalu menuju gedung Telkom.

Setelah senam usai, dagangan buku saya pajang kembali, memenuhi alas karpet plastik seukuran kurang lebih 1 x 2 meter. Sedikit tempat dikosongkan untuk saya duduk dan melayani calon pembeli. Saya sesekali mengibas-ngibaskan debu dari buku dengan kemoceng. Alas yang rapat dengan aspal dan alas kaki pengunjung membuat buku lebih sering berdebu, dan debu adalah musuh buku karena kertas akan cepat teroksidasi.

Di depan Telkom saat itu belum ada mobil bukunya Pak Wagino. Jadi bisa dikatakan baru lapak sayalah yang menjual buku, terutama buku-buku humaniora. Mungkin ada satu-dua penjual buku yang umumnya buku-buku agama Islam (fikih, penuntun solat, dan buku Muhammad Isa Dawud yang saat itu best-seller).

Saya sering mengajak sepupu saya, Wawan dan Basith, atau kawan-kawan sekampus: Heru (orang yang pertama menawarkan ide wirausaha buku), Imel, Rina, Shinta, atau R. Oga untuk turut melapak buku bareng di pasar kaget Gasibu.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (2): Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka
MEMORABILIA BUKU (1): Sebelum Penerbit Djambatan Tutup

Gugup dan Malu

Ketika calon pembeli datang, ada rasa gugup menyerang. Ya, ada juga hinggap rasa malu. Berjualan di tempat terbuka seperti pasar tentu berbeda dengan duduk manis di bangku kuliah, atau berjualan di dalam gedung pameran. Kebanyakan calon pembeli adalah ibu-ibu yang rajin menawar, terkadang nyaris setengah harga. Padahal saya membawa buku-buku baru yang harganya di atas 30 ribu.

Tawar-menawar ini kadang terjadi seperti barang dagangan lainnya di pasar. Calon pembeli pura-pura pergi melengos, sambil tetap kukuh dengan harga tawarannya. Kalau harga minimal dan ada untung meski sedikit, saya lantas kerap memanggilnya. “Boleh, Bu bungkuuuus!”, setengah berteriak saya memanggilnya. Alhamdulillah, gumam saya, lalu uang yang didapat di panglaris pertama sering dikibaskan di barang dagangan sambil mengucapkan: “Panglaris… panglaris…”.

Entah dari mana awalnya kebiasaan ini, saya sering merasa lucu memperhatikan perilaku pedagang, yang kadang saya tiru juga sekadar untuk menghibur diri. Sungguh saya banyak mendapatkan pengalaman baru yang tidak bisa saya dapatkan di kampus, dan yang terutama adalah menguji mental agar saya tidak malu berdagang. Kedua orang tua saya yang saat itu dalam jabatan nyaman menjadi pegawai perkebunan di Bengkulu sering melarang saya berjualan. Kalau saya butuh uang tinggal bilang saja, begitu ujar Ibu di balik telpon.

Sampai jam 11-an pengunjung pasar Gasibu saat itu sudah mulai surut, beberapa pedagang ada yang mulai mengemas pulang barang dagangan. Selain karena suhu Bandung yang mulai panas, waktu zuhur menjadi batas para pedagang berjualan. Selama ngampar dari subuh sampai siang itu, ada sekitar 3-4 orang yang menagih retribusi. Mulai dari yang resmi hingga japrem (jatah preman) yang tanpa karcis. Kisaran retribusi 1-2 ribu rupiah. Kami para pedagang cukup tahu sama tahu saja. Yang resmi biasanya untuk menjamin kebersihan setelah pasar kaget ini bubar.

Pada 2 Mei 2002, Wacana resmi berubah menjadi Lawang. Informasi ini tersurat di buletin Edisi No. 2 dengan alamat yang sudah berpindah ke Kampung Panyingkiran. (Sumber: dokumentasi Deni Rachman)
Pada 2 Mei 2002, Wacana resmi berubah menjadi Lawang. Informasi ini tersurat di buletin Edisi No. 2 dengan alamat yang sudah berpindah ke Kampung Panyingkiran. (Sumber: dokumentasi Deni Rachman)

Menambah Kawan, Memperluas Jaringan

Di sela-sela waktu menunggu datangnya calon pembeli, saya ngobrol dengan pedagang di sebelah. Pertemanan bertambah. Yang saya ingat menjadi teman baik di pasar kaget Gasibu adalah seorang kawan penjual poster musik dan penjual koran. Selepas berdagang, saya biasanya mampir untuk ngobrol di lapak poster. Ia adalah seorang sarjana dan menghidupi istri dan anak-anaknya dari berjualan poster sembari menawarkan jasa bingkainya. Dagangannya laris manis, seiring lahirnya pascagenerasi MTV yang menyukai profil band luar atau lokal.

Sementara itu, pedagang koran yang berjualan di pinggiran Lapangan Gasibu, biasanuya saya temui setiap Sabtu pagi. Saya membeli korannya dan melihat agenda kota di akhir pekan, mencari tahu jadwal ajang pameran atau kegiatan sastra apa yang sedang berlangsung saat itu di Bandung. Atas kebaikan tukang koran itu, saya diajak melapak buku setiap hari Sabtu.

Sautu waktu, ketika saya berdagang di hari Minggu, seorang pria sebaya berjongkok melihat buku-buku yang saya pajang. Ia menanyakan dari mana saya memperoleh buku-buku terbitan Grasindo, seperti buku chiklit karya Fira Basuki dan karya Seno Gumira Ajidarma. Pria itu lantas menyodorkan kartu nama berlogo Grasindo dan mempersilakan saya datang ke kantornya di daerah Gunung Batu. Menurutnya, saya bisa mengajukan sistem konsinyasi. Artinya saya bisa mengambil dahulu bukunya, sedangkan buku yang terjual dilaporkan setiap bulan.

Alangkah senangnya saya saat itu. Dengan bertambahnya jaringan perkawanan, baik sesama pedagang maupun kenalan orang penerbit, stok buku saya bertambah. Saya bisa membuka akses agenda kota untuk bisa berdagang di event-event level kota Bandung.

Saya tuntaskan waktu 1 tahun berdagang di pasar kaget Gasibu. Kontrakan kakak pun berakhir dan saya harus mencari kontrakan baru dengan ruangan yang sedikit lebih luas dengan jumlah buku yang semakin bertambah.

Saya harus mencari alam baru dari keterasingan saya di kampus karena pendapat kukuh saya tentang laku Ospek nirkekerasan tak bisa diterima di lingkungan kampus. Saya mendapat tempat di ‘arena buku’ ini dan terus bertumbuh hingga sekarang.

Ketika berpamitan kepada dua kawan berdagang ngampar di pasar kaget Gasibu, sang pedagang poster dan si penjual koran itu, sempat terpikir dalam benak suatu saat nanti saya bisa berdagang kembali di pasar kaget Gasibu menggunakan moko (mobil toko) buku. Semacam wishlist yang semoga suatu saat terwujud.

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//