MEMORABILIA BUKU (6): Menjadi Reseller Penerbit Mizan, Ijazah Jadi Jaminan
Penerbit Mizan, didirikan di Bandung pada 1983, terus berkembang dengan membuat lini-lini baru penerbitan. Selain reseller, ada juga pengalaman menjaga stan pameran.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
22 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Bagi saya yang merintis berdagang buku di tahun 2000-an, menjadi penjual buku Mizan merupakan sebuah idaman. Penerbit Mizan, sejak didirikan di Bandung tahun 1983, terus berkembang dengan membuat lini-lini baru penerbitan. Di tahun 2000-an, penerbit yang berkantor di Jalan Batik Kumeli itu memiliki, untuk menyebut beberapa: Kaifa, Qanita, Dar! Mizan, dan Teraju. Penjualan buku Mizan di toko-toko buku yang laris manis mendorong niat saya turut menjual terbitannya meski dengan syarat ijazah sebagai jaminan.
Pada awal tahun 2002, berbekal informasi dari halaman redaksi di salah satu judul buku terbitan Mizan, saya langsung meluncur ke kantornya. Dari kosan di Panyingkiran, saya cukup naik angkot jurusan Cicaheum-Ciroyom di Dipati Ukur dan turun di mulut Jalan Jalaprang. Dengan berjalan kaki sekitar 200 meter, tibalah saya di kantor Mizan. Sebuah rumah dengan model bangunan tahun 1980-an berhalaman berpagar rendah, dengan sayap kanan rumah diisi beberapa karton dus. Melewati teras berubin model lawas di sebelah kiri, saya mengetuk pintu dan disambut oleh salah seorang pegawai. Saya dipersilakannya duduk di kursi ruang tamu.
Dari dalam ruangan, datang seorang yang berperawakan kurus berkulit putih mengenakan kemeja rapi. Pak Yusuf namanya. Orangnya ramah dan murah senyum. Pak Yusuf menanyakan maksud kedatangan saya. Pengalaman berjualan di Pasar Kaget Gasibu menjadi informasi awal yang semoga bisa meyakinkan dan menarik hati Pak Yusuf. Saya kemudian diberikan katalog penerbit yang saat itu masih dalam bentuk selebaran ukuran A4 bolak-balik dari kertas HVS berwarna-warni.
Saya lantas diminta menyerahkan syarat-syarat untuk menjadi reseller buku-buku Mizan. Selain fotokopi KTP, yang mengejutkan saya adalah syarat jaminan ijazah asli SMU. Saya diminta mempertimbangkan syarat-syarat tersebut. Jika sudah menyetujuinya, saya bisa datang lagi pekan depan.
Setiba di kosan, saya nyaris melupakan beratnya syarat jaminan. Terkesiap dengan betapa banyak judul buku terbitan Mizan yang selama ini hanya diketahui di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Qta, atau di Pasar Buku Palasari. Sekarang buku-buku idaman ini sudah membayang di depan mata. Bahkan ada beberapa judul yang sama sekali tidak ada di toko-toko tadi. Itu berarti saya memiliki kesempatan menjualkan buku-buku yang isinya bagus meski tidak masuk kategori best-seller. Saya melingkari nomor-nomor judul di katalog. Jaminan ijazah rasanya bukanlah sebuah ganjalan lagi.
Sepekan kemudian saya berkunjung lagi ke kantor Mizan untuk menyerahkan ijazah SMU, fotokopi KTP, dan katalog Mizan yang judul-judul bukunya sudah saya lingkari. Saya pulang, menunggu dengan harap cemas: dengan melengkapi persyaratan itu, semoga saya dapat diperkenankan menjadi reseller buku Mizan.
Tak sampai sepekan, saya ditelepon oleh Pak Yusuf. Persyaratan diterima. Senangnya saya menerima kabar gembira itu. Keesokan harinya saya mendatangi kantor Mizan. Pak Yusuf mempersilakan saya membawa judul-judul buku yang sudah saya lingkari sebelumnya di katalog. Dengan modal tambahan stok buku Mizan ini, saya akhirnya bisa menjualnya di Gasibu dan pameran buku pertama kali di IAIN Sunan Gunung Djati, Cibiru, yang baru pada 10 Oktober 2005 berubah namanya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) SGD.
Begitulah kehadiran buku-buku Penerbit Mizan ini menambah stok LawangBuku selain dari Grasindo, Kiblat Buku Utama, dan stok sendiri yang sesekali masih saya beli di Pasar Buku Palasari. Penerbit Geger Sunten yang berlokasi di Jalan Setiabudi atas, dekat kampus UPI, dan Penerbit Nuansa yang beralamat di Jalan Vijaya Kusuma, turut menambah stok. Sesekali saya bertemu dengan para pemiliknya, yakni Kang Taufik Faturrahman (Geger Sunten) dan Pak Taufan (Nuansa).
Tambah Konsinyasi, Tambah Utang
Dengan bertambahnya konsinyasi, bertambah pula utang. Ada tiga tipe pemesanan buku ke penerbit, yaitu bayar tunai, kredit (bayar pada jatuh tempo tertentu, biasanya 1 bulan), dan konsinyasi. Dengan membeli secara tunai, aset modal akan bertambah. Hanya saja kita harus mempunyai modal besar, dan buku yang dibeli harus lebih selektif karena ini terkait dengan omzet dan perputaran modalnya.
Sementara itu, dengan cara kredit atau konsinyasi, pedagang buku mendapat kelonggaran pembayaran. Hanya saja kita perlu memegang kepercayaan dari penerbit: melaporkan penjualan secara jujur dan berkesinambungan per bulan atau setiap kegiatan pameran. Selain itu, perlu disediakan gudang yang cukup besar untuk menyimpan stok-stok yang akan terus bertambah seiring kepercayaan dari penerbit. Itu artinya, kita mempunyai beban operasional sewa gudang atau kontrakan. Karena saya bermodal pas-pasan, saya memanfaatkan kamar kos-kosan sebagai gudang sekaligus tempat tinggal.
Dengan sistem konsinyasi ini, pedagang sangat terikat kepada penerbit. Selain kewajiban membayar secara rutin laporan penjualan per bulan, pedagang juga harus menanggung kerusakan atau kehilangan buku. Risiko kehilangan buku paling banyak terjadi saat pameran buku. Selalu ada saja buku yang hilang, mungkin karena ada yang mencuri tanpa sepengetahuan penjaga stan. Risiko lainnya buku cepat rusak jika segel plastik buku dibuka demi menjadi sampel bacaan para calon pembeli. Musibah yang pernah saya alami beberapa kali yaitu kebanjiran gudang saat tinggal di Bojongkaler. Buku bersifat rentan terhadap air, panas terik matahari, dan suhu udara lembab.
Dari pengalaman berdagang buku secara konsinyasi ini, saya akhirnya mafhum bahwa memiliki barang sendiri jauh lebih bebas dan merdeka menentukan harga. Margin keuntungan yang rata-ata hanya 15 persen kadang tak sebanding dengan biaya operasional. Tak jarang masalah sering muncul ketika uang untuk disetorkan ke penerbit akhirnya terpakai. Jika ini terus-menerus berulang, kesehatan keuangan pedagang tergerogoti. Utang akan terus menumpuk. Ujung-ujungnya, laporan jadi mandek sehingga berakhir dengan putusnya kerja sama dengan penerbit. Jumlah setoran yang lebih besar sekitar 70 persen dari harga buku, akan membuat silap pedagang. Seolah-olah uang yang kita miliki tampak sangat besar, padahal itu hak amanah uang milik penerbit.
‘Jebakan’ seperti ini yang sempat mengemuka dalam sebuah zine yang ditulis oleh Iit Boit dari Toko Buku Omuniuum. Iit menulis, para pedagang buku harus berhati-hati dengan barang konsinyasi atau marjin laba dari sebuah buku. Sebagai contoh, jika harga buku Rp 20.000, pedagang buku hanya mendapat margin laba rata-rata Rp 2.000 per buku. Jika untuk sewa toko misalnya Rp 500.000 per bulan, berarti 250 eksemplar buku harus terjual dalam sebulan. Biaya itu belum termasuk jika pedagang mempunyai asisten dan biaya lain-lain (utilitas, konsumsi, alat tulis kantor (ATK), dan lainnya). Hitungan di atas hanya sebagai contoh dengan asumsi buku berharga sama. Akibat silap menerima uang penjualan yang besar, para pedagang buku sebenarnya sedang mengalami kerugian terus-menerus.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (5): Menjadi Mitra Penerbit Kiblat, dari Diskusi sampai Ketemu Jodoh
MEMORABILIA BUKU (4): Bekerja Sama dengan Grasindo Bermodal Status ‘Mahasiswa’
MEMORABILIA BUKU (3): Setahun Melapak Buku di Pasar Kaget Gasibu
Jadi Penjaga Stan Pameran Buku
Seiring bertambahnya kepercayaan, pada tahun 2003 saya terpilih menjadi penjaga stan (stand guide) Penerbit Mizan di sebuah pameran buku yang diselenggarakan oleh Ikapi Jabar. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menerima tawaran itu. Bukan main senangnya, ini berarti untuk pertama kalinya saya menjadi penjaga stan pameran buku. Ini prestise tersendiri.
Selama tujuh hari menjadi penjaga stan itu, saya jadi tahu sistem dan bagaimana menjual buku di pameran. Dengan honor 50 ribu per hari yang saat itu terbilang besar, saya bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam. Tugasnya mulai dari mengikuti gladi resik dan pertemuan teknis (technical meeting) di hari H-1, merapikan dan memastikan ketersediaan stok di rak pajang, melayani dan membantu informasi seputar harga dan isi buku kepada calon pembeli, membantu kasir, dan mendorong calon pembeli untuk membeli buku.
Di pameran buku itu, saya amati ada beberapa tipe media pamer (display). Ada media pajang di lantai (display floor), rak buku, rak buku dinding, dan rak buku obral. Buku disusun menumpuk dengan jumlah rata-rata 10-20 buku per judul, tergantung ketebalan buku. Buku dipilah berdasarkan kategori buku baru, best-seller, dan buku lini-lini Penerbit Mizan. Seluruh buku mendapat diskon spesial 20 persen selama pameran, kecuali buku obral yang dijual dengan harga sangat miring.
Pengalaman pertama menjadi penjaga stan ini mengingatkan saya pada sosok Ajip Rosidi, yang masih berumur 16 tahun, ketika menjadi penjaga stan di ajang Pekan Buku Nasional 1954. Di setiap pameran buku, meski berbeda semangat zaman, saya kira ada kesamaan keriaan dan hiruk-pikuk para pengunjung buku dengan segala acara yang disuguhkan panitia. Gedung eks toko buku zaman Belanda, Van Dorp, dipilih menjadi tempat langganan pameran buku oleh Ikapi Jabar. Sejak saat itu, saya yang biasanya hadir sebagai pengunjung, dapat merasakan langsung menjadi bagian dari distribusi buku.
Pengalaman Pahit Bekerja Sama
Salah satu cara untuk mendapatkan laba penjualan yang bagus adalah mencari judul-judul buku best-seller, buku-buku yang laris terjual. Mizan merupakan salah satu penerbit yang memberikan keuntungan besar. Hanya sayang sekali tak dibarengi dengan etika sistem penjualannya di lapangan.
Pengalaman pahit itu pernah saya alami ketika saya dipercaya menjadi penjual tunggal buku Penerbit Mizan di acara Festival Masjid Salman. Saya menanggung seluruh biaya stan tenda dan operasional, sedangkan Mizan memasok seluruh judul yang mereka terbitkan, serta meminjamkan beberapa rak buku. Tidak ada nota kesepahaman (M0U), hanya penjelasan (briefing) kecil antara saya, Pak Yusuf, dan salah seorang staf atasannya.
Saat festival berlangsung, tak diduga saya didatangi salah seorang agen inti Mizan. Agen inti adalah tim distribusi resmi di bawah Penerbit Mizan. Saat itu seingat saya, ada 4-5 orang tim agen inti. Merekalah yang mendapat target penjualan dan menjadi ujung tombak pemasaran (marketing) Mizan.
Orang agen inti itu mengabarkan jika ia telah menitipkan buku Mizan di beberapa stan. Sontak saya kaget dan marah menerima kabar tersebut. Bukankah ketika saya menjadi penjual tunggal di festival itu berarti tidak ada distribusi lainnya pada saat festival berlangsung? Kenapa agen inti tiba-tiba merangsek masuk dan menyebar buku, yang otomatis judul-judulnya sama, ke stan-stan lain? Sistem dagang ini tak ada di bahasan briefing sebelumnya. Apakah ini model beretika dagang? Saya berulang kali menggerutu kesal.
Festival usai menjelang magrib. Saya dan asisten stan berkemas, hendak meretur buku konsinyasi. Malam itu juga saya ke kantor Mizan. Saya berniat menginformasikan ke Pak Yusuf bahwa, karena kosan saya tak mungkin memuat buku sebanyak itu, buku-buku harus diretur. Namun, sudah jatuh tertimpa tangga! Setelah kejadian ulah agen inti tadi, setiba saya di kantor Mizan, saya malah dimarahi oleh petugas satpam karena meretur buku pada malam hari. Menurut satpam, saya seharusnya meretur esok pagi sesuai jam kantor.
Setelah konfirmasi kepada Pak Yusuf, akhirnya saya diperbolehkan masuk. Keesokan harinya saya melaporkan seluruh hasil penjualan dan mengungkapkan seluruh unek-unek saat berjualan buku Mizan. Semenjak itu, kerja sama konsinyasi mulai saya kurangi, bahkan makin kemari saya memutuskan untuk menghentikan bermitra dengan Mizan. Pak Yusuf dikabarkan telah keluar kerja, dan ijazah SMU saya pun sampai kini tak jelas rimbanya.
Salambuku!