• Buku
  • Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik

Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik

Yang lebih mendesak dari sekadar pengelompokan kelangkaan adalah seberapa besar manfaat yang didapat publik dari keberadaan buku-buku yang menjadi sumber primer itu.

Beberapa sampul buku Bandung, dilihat dari topik bahasan dan alamat penerbit, yang tergolong antik, langka, dan unik. (Sumber foto: koleksi pribadi Indra Prayana dan Ryzki Wiryawan)

Penulis Indra Prayana1 Mei 2021


BandungBergerak.idAda pengalaman menarik yang saya alami di acara Ramadhan Post Book 2021 yang digelar komunitas buku Bandung setiap akhir pekan di Graha Pos, Jalan Banda 30. Seorang pengunjung datang dan berbincang perihal buku-buku bertema Bandung. Menurut Akang, buku Bandung yang paling langka itu buku apa, tanyanya.  

Menjawab pertanyaan itu, saya berusaha mengurainya dengan menempatkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan buku langka serta parameter apa yang digunakan untuk menempatkan sebuah buku itu langka atau tidak. Tentu semua orang punya sudut pandang masing-masing untuk menilai dengan pemahaman dan subjektivitasnya, tetapi biasanya sebutan langka disematkan untuk buku-buku lama yang terbit puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Meskipun begitu tidak berarti setiap buku terbitan lama bisa dikatagorikan langka.    

Untuk memudahkan katagorisasi buku dengan berbagai genre dan bentuknya, paling tidak ada tiga wilayah yang jadi penempatannya, yakni antiquirat, langka, dan unik.

Kategori Antiquariat menggunakan standar penilaian umum bahwa suatu buku dikatakan antik apabila sudah menjadi domain publik. Batas ketentuannya, sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, adalah 70 tahun setelah penulis meninggal. Artinya, kalau dihitung mundur dari sekarang, semua buku yang terbit di bawah tahun 1951 sudah masuk katagori ini.     

Katagori langka memiliki beberapa varian. Ada buku yang menjadi bestseller atau favorit pada masanya dan tidak (atau) belum dicetak ulang lagi pada saat ini, misalnya buku Semerbak Bunga Di Bandung Raya karya Haryoto Kunto. Buku babon yang mengupas sejarah kota Bandung dengan sangat detail itu memiliki ketebalan 1.116 halaman, lengkap dengan peta dan lampiran, diterbitkan oleh penerbit Granesia Bandung pada tahun 1986. Variasi kedua buku langka adalah buku yang dicetak secara eksklusif dan terbatas untuk kepentingan komunitas atau tamu-tamu negara. Misalnya, buku Bandung-Braunschweig yang diterbitkan untuk menyambut kerja sama sister city atau kota persahabatan antara Bandung dan Braunschweig di Jerman. Varian buku langka berikutnya adalah buku yang secara khusus menerangkan peristiwa atau tokoh tertentu  yang secara khusus pula pada kurun waktu tertentu.

Kategori ketiga, yaitu kategori unik, bisa berlaku pada semua genre buku, baik buku terbitan baru atau pun lama, selama ia mempunyai perbedaan dengan yang lain. Contohnya, ada tanda tangan penulisnya, atau ada hal-hal unik, tabu, atau apa pun yang tidak lazim.

Ada beberapa contoh buku Bandung, baik buku bertema Bandung ataupun buku terbitan Bandung, yang saya anggap bisa mewakili penempatan tiga kategori di atas. Buku-buku ini terbit dalam kurun waktu berbeda.  

Riwajat Ir. Soekarno (1932)

Dari sekian banyak buku mengenai Sukarno, nampaknya buku ini mengandung keunikan tersendiri, karena menjadi data baru untuk mematahkan data sebelumnya. Dalam beberapa keterangan, diyakini bahwa buku biografis pertama mengenai Bung Karno adalah “Soekarno Sebagi Manoesia” karangan oleh Im Yang Tjoe, seorang penulis dari Tegal. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Revina Solo pada tahun 1933, dan sudah mengalami cetak ulang pada 2008.

Buku “Riwajat Ir. Soekarno” yang ditulis oleh Wiranta, seorang aktivis pergerakan,  terbit pada tahun 1932 atau setahun lebih awal dari bukunya Im Yang Tjoe. Buku seukuran saku itu diterbitkan oleh percetakan Dahlan Bekti di Bandung yang banyak menerbitkan buku-buku alternatif di luar penerbit Balai Pustaka yang dikontrol pemerintah Hindia Belanda. Buku berukuran 16x11 centimeter dengan ketebalan 80 halaman yang ditulis dalam bahasa Sunda ini mengupas perjalanan hidup Sukarno, dari masa kecil sampai perannya dalam perjuangan kemerdekaan. 

Hallo Bandoeng Hier Den Haag (1928)

Buku dengan subjudul ‘Herinneringen Aan De Eerste Radiotelefoon Gesprekken Tusschen Nederland en Nederland Indie’ ini merupakan buku kenangan saat terjadi percakapan radio telepon pertama antara pemerintah Belanda dengan tanah jajahannya Hindia Belanda. Frase ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ merupakan tanda panggilan antara radio di Belanda dengan pemancar radio di kaki gunung Malabar Bandung yang berjarak lebih dari 12.000 kilometer. Buku ini diterbitkan oleh Hoofdbestuur Der P & T, semacam departemen telekomunikasinya Belanda, pada tahun 1928 atau lima tahun sesudah sambungan nirkabel antara Bandung dan Den Haag terlaksana.

Setebal 90 halaman, buku ‘Hallo Bandoeng, Hier Den Haag’ memuat 13 tulisan yang mengisahkan sambutan dan kegembiraan atas terhubungnya sambungan antara kedua Belanda dan tanah jajahannya. Seorang telegraf Henri van Wermeskerken menuliskan: “Maar niemand, noch aan deze, noch aan gene zijde van den aardbol spreekt. Het blijft stil. Een benauwende nerveuze stilte, die ontstaat omdat de keel is toegesnoerd, Eindelijk de eerste stem. Uit indie…Is u daar moeder? Ja,Jongen…wie is er ? ik jongen (Tidak ada orang yang berbicara, baik di sisi ini, maupun di sisi lain dunia. Mereka tetap diam, Keheningan yang mendera muncul karena tenggorokan tercekat, akhirnya suara pertama dari Hindia terdengar ... Apakah kamu di sana ibu? Ya, Nak ... Siapa di sana? Saya, anakmu)”. Percakapan langsung seperti ini sebelumnya tidak bisa dilaksanakan. Kalau pun bisa, hanya melalui pos. Maka tidak heran kalau tersambungnya komunikasi ini merupakan langkah besar yang jadi bagian “Een Nieuwe Weg naar Indie” atau Jalan Baru menuju Hindia.  

Demokrasi Islam Dalam Teori dan Praktek (1950)

Buku Demokrasi Islam Dalam Teori dan Praktek pertama kali terbit dalam bahasa Belanda, sebelum diterjemahkan oleh Muhammad Tahrir Ibrahim pada penghujung tahun 1950 dan diterbitkan oleh N.V. Masa Baru yang beralamat di Jalan Gereja Nomor 3 Bandung. Tulisan ringkas mantan wali negara Pasundan ini membahas tentang bagaimana demokrasi diterapkan dalam sudut pandang Islam. Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dari buku tipis 36 halaman ini, kalau tidak ada keistimewa di dalamnya.

Buku yang saya miliki ini unik karena dibubuhi tanda tangan basah R. A. A.Wiranatakusumah sendiri disertai pesan kepada para penyusun UUD 1945 agar memperhatikan bahwa Indonesia sebagian penduduknya adalah orang Islam, pesan itu ditulis tertanggal 10 Januari 1957. Selain itu di lembar cover juga ada tulisan basah Mr. Wilopo, seorang politisi PNI yang juga mantan perdana menteri di era kabinet parlementer, yang kemungkinan pernah menjadi pemilik buku tersebut.

Buku Petundjuk Alamat Pengusaha Bandung Priangan

Selama bergelut dengan buku lama, saya baru satu kali melihat fisik buku ini. Isinya berupa alamat kantor pabrik, toko-toko, tempat wisata, dan fasilitas umum lainnya yang tidak hanya ada di Bandung tetapi juga di Garut dan Tasikmalaya. Selain alamat tempat-tempat yang disebut, buku ini juga banyak memuat iklan-iklan lokal serta foto-foto Bandung dan sekitarnya. Buku berukuran 17x23,5 centimeter dengan tebal 105 halaman ini tidak diketahui tahun terbitnya karena tidak tercantum, tetapi kemungkinan terbitnya pada masa pemerintahan Wali Kota Bandung R. H. Enoeh (1949-1956) yang memberi sambutan dalam buku ini. Yang menarik, dalam sambutan tersebut nama wali kota tertulis “Alm. R. H. Enoeh”. Artinya, kemungkinan sambutan dalam buku ini ditulis saat wali kota masih hidup, tetapi bukunya baru diterbitkan pada saat sang wali kota sudah meninggal dunia.   

Baca Juga: Ngabuburit di Bandung Sambil Berburu Buku Ramadhan Post Book 2021
Menggali Akar Pohon Buku di Bandung, Tumbuh Lebat lalu Berguguran

Sangat mungkin ada buku-buku Bandung yang tidak masuk kategori kelangkaan mana pun, karena semuanya akan sangat tergantung pada sudut pandang dan penilaian masing-masing, tapi demikian penting isinya. Yang lebih mendesak dari sekadar pengelompokan kelangkaan adalah seberapa besar manfaat yang didapat publik dari keberadaan buku-buku yang menjadi sumber primer itu. Baik yang ada di ruang-ruang publik atau pun di ruang privat (koleksi perorangan).

Sebagai langkah sederhana, ada baiknya kita menginventarisasi serta mengidentifiksi buku-buku Bandung, terutama yang ada di ranah privat atau dimiliki perorangan. Tujuannya adalah membangun basis data bersama tentang buku bertema Bandung sehingga memudahkan siapa saja yang memerlukan data, baik untuk kepentingan penulisan, penelitian, kegiatan-kegiatan edukasi, atau pun yang lainnya

Editor: Redaksi

COMMENTS

//