Ngabuburit di Bandung Sambil Berburu Buku Ramadhan Post Book 2021
Ramadhan Post Book untuk menghidupkan geliat perekonomian pegiat dan komunitas buku yang terpukul pandemi Covid-19.
Penulis Iman Herdiana16 April 2021
BandungBergerak.id - Pecinta buku mungkin sudah kangen dengan suasana pameran buku di Bandung yang alfa selama pandemi Covid-19. Untuk mengobati kealfaan tersebut, pameran buku pertama sejak pandemi hadir di Kantor Pos, Jalan Banda, Bandung.
Pameran bertajuk “Ramadhan Post Book 2021” ini dibuka Sabtu 17-19 April 2021 mulai pukul 10.00-17.00 WIB. Pameran berikutnya berturut-turut digelar tiap akhir pekan, yakni 17-19 April, 24-26 April, dan 1-3 Mei 2021.
Lokasi pameran buku dipusatkan di lantai 1/Lobby Kantor Pos dengan pelapak buku dari komunitas Bandung yang terdiri dari Jaringan Buku Alernatif, Kabehaya Bookstore, Katarsis Book, LawangBuku, Mojok, Oleh-oleh Boekoe Bandoeng, Penerbit Bandong, Penerbit Ultimus, Theraz Buku, Lapak Penerbit Indie Bandung.
Pameran yang bertepatan dengan Ramadan ini diwarnai bedah buku setiap yang dilangsungkan di Lantai 6 Point Lab, meliputi Bincang Buku “Jejak Pers di Bandung” (Minggu, 18 April 2021, pukul 14.00 – 16.00 WIB);
Kemudian, Bincang Buku “Lantaran Dimadu – Satu Tragedi dalam Rumah Tangga Tionghoa di Bandung” (Minggu, 25 April 2021, pukul 14.00 – 16.00 WIB); dan Bincang Buku “Oud Bandoeng dalam Kartu Pos” (Minggu, 2 Mei 2021, pukul 14.00 – 16.00 WIB).
Penyelenggara acara dari Kubu Buku, Deni Rachman, mengatakan seluruh kegiatan diwajibkan memakai standar protokol kesehatan pencegahan Covid-19. “Pameran ini menjadi alternatif tujuan ngabuburit warga Bandung maupun wisatawan yang berisikan kegiatan edukatif,” kata Deni, dikutip dari siaran pers yang diterima BandungBergerak, Jumat (16/4/2021).
Ramadhan Post Book merupakan acara hasil kerja sama Kubu Buku dengan PT Pos Properti Indonesia dan Point Lab. Deni mengungkapkan, tautan pos dan buku sangat erat dalam kehidupan manusia. Keduanya berfungsi sama sebagai media penyampai pesan.
Buku yang merekam pesan penulis kemudian dicetak massif dikirimkan ke alamat pembaca atau tujuan yang dikehendaki dengan perantaraan jasa pos. Buku juga berperan mencatat sejarah pos, cagar budaya pos dan filateli maupun para tokoh-tokoh pos. Pos pun menjadi inspirasi penulis yang tak kalah menarik untuk diterbitkan.
“Tautan inilah yang hendak dimuliakan dalam event kali ini. Event yang bertajuk Ramadhan Post Book bertujuan mengupas sejarah yang berkaitan dengan sejarah Indonesia dan sejarah pos melalui kegiatan lapakan buku dan bincang buku,” terang Deni.
Terpukul Pandemi
Ramadhan Post Book diagendakan untuk menghidupkan kembali geliat perekonomian para pegiat dan komunitas buku di masa adaptasi new normal pandemi Covid-19. Untuk diketahui, pandemi Covid-19 juga memukul industri kreatif bidang penerbitan buku.
Dalam artikel “Industri Buku, Kian Lapuk di Tengah Pagebluk” yang ditulis jurnalis Adi Marsiela di laman independen.id, 9 Februari 2021, diuraikan bagaimana pandemi memukul industri perbukuan di Indonesia.
Adi mengungkap data penerbitan buku di Indonesia dari laporan menurut Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) berjudul “Penerbitan Buku Indonesia: Dalam Data dan Fakta” pada 2015. Saat itu, Ikapi mencatat ada 1.437 penerbit yang anggota dan non-anggota. Jumlah judul buku yang terbit mencapai 30 ribu per tahun. Pangsa pasar buku umum mencapai Rp14,10 triliun.
Adi mewawancarai Ketua Umum Ikapi, Arys Hilman yang memaparkan data kemerosotan angka pertumbuhan industri perbukuan di Tanah Air. Kondisi ini tercermin dari data jaringan toko buku Gramedia di mana pertumbuhan yang semula mencapai 28,22 persen pada 2010, secara konsisten setiap tahun merosot hingga titik terendah pada 2017 yang mencapai minus 0,48.
Kondisi yang terus memburuk di masa pandemi Covid-19 tercermin dalam survei Ikapi pada 16-20 April 2020. Survei ini diikuti 100 anggota Ikapi. Survei ini memperlihatkan hanya 12 persen penerbit yang mengeluarkan dan memasarkan buku sesuai kapasitas perusahaan. Sebanyak 20 persen memasarkan buku yang telah diterbitkan namun membatasi penerbitan buku baru, 28 persen memasarkan buku yang telah terbit namun tidak menerbitkan buku baru.
Ikapi mencatat ada 32 persen penerbit tidak menerbitkan dan memasarkan buku lagi, dan sebanyak 8% tidak diketahui lagi keberadaannya. Selanjutnya, Ikapi mensurvei daya tahan usaha penerbitan, di mana ditemukan sebanyak 5,1 persen penerbit bisa bertahan antara 9-12 bulan saat pandemi berlanjut tanpa kepastian.
Sebagian besar atau setara 60,2 persen penerbit menyatakan hanya sanggup menggaji karyawan selama 3 bulan, 25,5 persen penerbit masih bisa bertahan antara 3-6 bulan, dan 9,2 persen penerbit bisa bertahan selama 6-9 bulan.
Adi mencatat, banyak faktor yang memengaruhi kemerosotan industri ini. Mulai dari disrupsi digital, penciptaan iklim bisnis seperti insentif pajak, pembajakan, keputusan untuk menggelontorkan kas saat pandemi, hingga kultur literasi di Indonesia.
Kultur literasi atau bucaya baca dinilai menjadi pangkal persoalan dan dampaknya terlihat saat pandemi Covid-19. Disebutkan bahwa industri perbukuan di negara-negara maju justru mengalami berkah karena penjualan bukunya meningkat pada masa pandemi Covid-19. Di luar negeri yang budaya bacanya tinggi, masyarakatnya banyak membeli buku saat harus berdiam atau bekerja di rumah. Namun fenomena itu tidak terjadi di Indonesia.