Menggali Akar Pohon Buku di Bandung, Tumbuh Lebat lalu Berguguran
Di saat tunas 'pohon' buku di Bandung tumbuh dan berdaun, tak terlihat bantuan pemerintah. Komunitas buku alternatif di Bandung biasa bergerak mandiri.
Penulis Iman Herdiana23 April 2021
BandungBergerak.id - Bandung punya sejarah tua di bidang perbukuan, walau yang mencuat kini lebih bidang wisata belanja fesyen dan kulinernya. Bahkan bisa jadi akar buku di kota ini lebih tua dari sejarah wisata belanja.
Penelusuran akar perbukuan di Bandung bisa ditemukan dalam Pohon Buku di Bandung, buku karya aktivis literasi Bandung, Deni Rachman. Melalui bukunya, pendiri toko buku lawas LawangBuku ini menggali jejak perbukuan di Bandung sampai akhir abad ke-19, walaupun subjudul bukunya berbunyi: Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009.
Menurut Deni, Haryoto Kunto—pakar sejarah Bandung—pernah menyebut Bandung sebagai surganya buku dan kota buku. Untuk membuktikan pernyataan Haryoto alias Kuncen Bandung, Deni membuka bagian awal bukunya (Bandung dan Buku) dengan sejarah buku di Bandung awal abad ke-20, ketika Sukarno masih mahasiswa di Bandung.
Sukarno yang mahasiswa Technische Hoogeschool (ITB), diceritakan Deni kerap mencari-cari buku teknik di Toko Buku van Dorp di Bragaweg (Jalan Braga). “Dulu, di sanalah surga para penggila buku,” kata Deni.
Gedung van Dorp hingga kini masih berdiri megah di Jalan Braga, dengan arsitektur empire Eropa-Indonesia. Namanya berubah jadi Landmark. Di zaman normal sebelum pandemi Covid-19, Gedung Landmark masih sering dipakai pameran buku oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat.
Di masa lalu, kembali ke cerita Pohon Buku di Bandung-nya Deni, Gedung van Dorp adalah toko buku terbesar di Bandung, mungkin setara dengan Gramedia. Toko Buku van Dorp beroperasi tahun 1920-an. Ia menjadi tempat penyelenggaraan pameran buku.
“Gedung itu sekarang telah beralih fungsi. Lantai bawah menjadi gedung pameran, sementara lantai atas menjadi arena ‘dugem’ diskotek,” tulisnya.
Namun jauh sebelum Toko Buku van Dorp, ada percetakan yang usianya jauh lebih tua, yakni Toko Tjitak Affandi tahun 1903. Malah dari tahun 1850 sampai 1906, Bandung telah kebanjiran 222 judul buku berbahasa Sunda hasil cetakan Bandung dan luar Bandung.
“Kebanyakan buku-buku tersebut dikonsumsi oleh para pelajar dan mahasiswa sebagai buku gratis subsidi 100% dari pemerintah, tidak dikomersilkan seperti sekarang,” ungkap Deni.
Deni menemukan data tentang buku Sunda pertama dicetak pada tahun 1849/1850. Judulnya “Kitab Pangajaran Basa Sunda” setebal 1.490 halaman. Kitab ini dicetak tanpa nama penulisnya. Sedangkan novel Sunda yang pertama berjudul “Baruang kanu Ngora” karya sastrawan Sunda, D.K. Ardiwinata. Novel ini diterbitkan G. Kolff & Co pada tahun 1914.
Toko Buku van Dorp, percetakan buku Sunda, merupakan salah satu "akar pohon" buku yang digali Deni melalui buku “Pohon Buku di Bandung”. Jadi, beralasan jika Haryoto Kunto menyebut Bandung sebagai surganya buku atau kota buku, walaupun sebutan ini tidak semelekat julukan Parijs van Java atau Kota Kembang.
Dari kisah percetakan buku Sunda di akhir abad ke-19, Deni terus merayap ke perbukuan Bandung era pasca-kemerdekaan, lalu masuk ke era reformasi 98, dan berakhir di periode 2000-2009. Pada periode inilah Deni memaparkan ciri khas pohon buku di Bandung yang membedakan dengan geliat perbukuan di era sebelumnya.
Toko Buku Alternatif
Era 2000-an, Deni Rachman mengidentifikasi ada tiga ciri utama 'pohon' buku di Bandung, yakni toko buku alternatif dan komunitas baca, perpustakaan, dan pelaku perbukuan (komunitas). Sebenarnya, toko buku alternatif inilah yang menjadi pembahasan utama Pohon Buku di Bandung.
Mengapa toko buku alternatif? Deni menjawab, toko buku ini memberikan pilihan atau suasana berbeda dibandingkan toko-toko buku formal yang lebih dulu berdiri dan mapan. Di toko buku alternatif, publik buku yang didominasi anak muda, bebas berbicara, berkumpul, saling bertukar gagasan.
Lewat Pohon Buku di Bandung, Deni menunjukkan bahwa toko buku alternatif di Bandung terutama bercabang dan beranting subur pascareformasi 98, pascaruntuhnya kekuasaan Suharto (Orde Baru).
“Maka muncullah buku-buku terlarang pada masa Orde Baru, termasuk pembahasan buku Pramoedya Ananta Toer, Sukarno, Karl Marx, dsb. Anak-anak muda yang haus informasi mengenai sejarah dan sastra datang ke simpul-simpul kantung buku tersebut,” tulisnya.
Toko buku alternatif memiliki karakter yang dinamis tanpa melihat faktor komersil. Karakter ini tidak dimiliki oleh toko-toko buku mapan. Beberapa toko buku alternatif yang terbilang angkatan pertama di Bandung, antara lain, Toko Buku Kecil (Tobucil), Ommuniuum, Ultimus, Bacabaca Bookmart yang kemudian ganti nama menjadi Perpustakaan PowPow.
Komunitas menjadi basis utama toko buku alternatif itu. Deni mengurai hasil riset yang dilakukan Tobucil dan Commonroom, bahwa pada 2005 tercatat lebih dari 30 titik komunitas buku atau toko buku alternatif di Bandung.
Tetapi sebagaimana pohon, ada masa tumbuh, dan ada masanya gugur. Deni mencatat, di penghujung 2008, jumlah toko buku alternatif di Bandung semakin menyusut. Kendala mereka di antaranya tingginya harga sewa tempat dan persoalan manajemen internal. “Beberapa toko buku menghilang begitu saja, di antaranya menyisakan masalah keuangan/pembayaran.”
Di saat tunas pohon buku di Bandung tumbuh, tinggi, bercabang, dan berdaun, Deni tidak melihat adanya campur tangan atau bantuan pemerintah. Para pegiat toko buku alternatif itu umumnya bergerak mandiri. Dan di saat daun pohon buku mulai berguguran, perhatian pemegang kebijakan tetap sepi. Memang ada duta literasi, tetapi tidak terlihat benang merah yang tersambung ke komunitas-komunitas literasi.
“Perhatian pemerintah kota tidak tampak pada perkembangan kegiatan literasi berbasis komunitas ini,” kata Deni Rachman di bab pembuka bukunya.
Informasi Buku
Buku Pohon Buku di Bandung merupakan kronik penting perbukuan di Bandung. Buku ini terdiri dari 27 subjudul yang membahas pelbagai tema dan peristiwa buku atau literasi. Sebagai kronik, masing-masing subjudul bisa dibaca tersendiri atau pun dibaca secara berurutan dari kronik pertama sampai akhir.
Judul: Pohon Buku di Bandung: Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009
Penulis: Deni Rachman
Penerbit: Menara Api, Bandung
Cetakan: I, 2018
Tebal: 120 halaman