• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (15): Semarak Cuci Gudang Buku, Seru dan Pilu Jadi Satu

MEMORABILIA BUKU (15): Semarak Cuci Gudang Buku, Seru dan Pilu Jadi Satu

Cuci gudang buku menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang buku yang rela antre untuk memperoleh pasokan buku murah. Bagi para penulis, obral buku adalah ironi.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Kedua anak penulis sedang jajan buku di acara cuci gudang buku Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Caringin, Kota Bandung, Minggu (16/10/2016). (Sumber foto: Deni Rachman)

24 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Bulan Oktober selalu mengingatkan saya akan kenangan berburu cuci gudang buku di Jalan Caringin Bandung tahun 2016. Kala itu Kelompok Kompas Gramedia (KKG) mengadakan ajang “Big Sale Gudang Buku Gramedia” dengan harga per eksemplar buku hanya 5 ribuan rupiah. Bisa jadi kawan-kawan pembaca ada yang pernah mengalaminya, bukan? Para pemburu buku rela antre demi mendapatkan buku bagus dengan harga murah-meriah.

Di bulan dan tahun yang sama, LawangBuku menutup usaha toko buku di Baltos. Tahun 2014-2016 saya rasakan langsung sebagai pukulan telak karena penjualan buku semakin sepi, daya beli semakin turun, sementara harga sewa di Mall Baltos terus naik.

Obral buku besar-besaran masih terus berlangsung sampai tahun 2018. Penerbit Mizan pun melakukan bersih-bersih gudang buku di Jalan Cinambo. Kenangan ini berbaur jadi satu antara seru berburu buku dan pilu tutup toko. Juga suara-suara hati kecil para penulis yang nasib bukunya harus rela diobral.

Fenomena obral buku di sana-sini sangat terasa. Baik di pameran buku, toko buku besar, maupun di beberapa gudang penerbit. Jika diingat-ingat, gejala serupa sempat saya alami juga satu dekade sebelumnya.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (14): Anjangsana ke Rumah Roeslan Abdulgani, Saksi Sejarah KAA Tahun 1955
MEMORABILIA BUKU (13): Pameran Buku di Kampus-kampus Bandung
MEMORABILIA BUKU (12): Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung

Bursa Buku Murah dan Krisis Ekonomi 2006

Pada tanggal 11-12 November 2006, saya sempat meliput sekaligus hadir sebagai pemburu buku di acara Bursa Buku Murah (BBM) yang diselenggarakan kelompok Gramedia di Jalan Cimanuk Nomor 14. Sampai sekarang saya sering tertegun, kok bisa buku bagus bersegel dijual dengan harga supermurah. Tak tanggung-tanggung, dengan harga 10 ribu saya bisa mendapatkan 4 eksemplar buku!

Kurang lebih 10 ribu pengunjung memadati rumah antik itu. Kegiatan yang bisa dibilang teramat jarang itu hanya berlangsung 2 hari saja. Setelah sukses digelar di Jakarta, program BBM ini berhasil menggemparkan Bandung.

Saya melihat di sana buku-buku penerbit GPU, Grasindo, dan Elex Media tertumpuk dan berserakan menjadi buruan para penggila dan pedagang buku. Buku yang dijual beragam mulai dari komik, novel, referensi, hingga buku anak-anak. Saya memboyong buku karya Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Tohari, dan berbagai buku puisi karya penyair Indonesia dengan kondisi masih bersegel.

Penamaan acara ini dengan singkatan BBM saya kira disengaja agar terkait dengan kondisi krisis ekonomi saat itu. Isu BBM (Bahan Bakar Minyak) akan dinaikkan sudah terasa di tahun 2005. Pemerintah kemudian mengurangi subsdi BBM. Pil pahit itu merupakan dampak dari anjloknya nilai tukar rupiah akibat harga minyak mentah dunia yang rontok.

Tahun 2006-2008 saya alami sebagai krisis ekonomi kedua pascareformasi 1998. Di tahun-tahun itu juga, banyak toko-toko buku berbasis komunitas yang tutup usaha. Saya pun memutuskan tutup usaha sebagai distributor di tahun 2008, lalu berpindah wirausaha di bidang jasa pelatihan, dan bekerja paruh waktu sebagai pustakawan di Balepustaka milik Keuskupan Pastoral Bandung.

Di seberang nomor antrean cuci gudang buku, tampak beberapa pedagang buku Dewi Sartika sedang menunggu gerbang dibuka oleh pihak penyelenggara di Caringin, Kota Bandung, Sabtu (15/10/2016). (Sumber foto: Deni Rachman)
Di seberang nomor antrean cuci gudang buku, tampak beberapa pedagang buku Dewi Sartika sedang menunggu gerbang dibuka oleh pihak penyelenggara di Caringin, Kota Bandung, Sabtu (15/10/2016). (Sumber foto: Deni Rachman)

Cuci Gudang Gramedia 2016

Ada tiga ‘babak’ kunjungan saya ke gudang Gramedia di Jalan Caringin. Yang pertama, ketika pertama kali mengetahui pusat gudang bukunya berada di jalan yang berada tak jauh dari Pasar Induk Caringin dan makam Ibu Inggit Garnasih di TPU Porib. Saya mendapat informasi dari Irvan Darmansyah, rekan sesama pedagang buku ketika saya masih membuka toko buku di Baltos. Irvan, sang pemilik Toko Theraz Buku, merupakan eks karyawan Elex Media Komputindo yang jadi bagian lini usaha Kelompok Kompas Gramedia (KKG).

Gudang Caringin itu mirip milik Penerbit Pustaka seperti yang pernah saya tulis di Memorabilia Buku (3), hanya saja ukurannya lebih kecil dan beratap rendah. Buku-buku hanya ditumpuk di area pintu masuk saja. Saya belum mengetahui dan tidak diperkenankan masuk ke dalam. Urusan pembayaran diarahkan langsung ke kantor di sebelah kanan gudang, ditangani oleh Mbak Dorkas sebagai bagian keuangan. 

Di gudang Caringin, akses hanya ditujukan bagi para pedagang buku. Harga buku obral beragam. Dari yang termurah, 10 ribu rupiah per judul, hingga buku-buku reguler yang didiskon 30 persen.

‘Babak’ kedua kunjungan saya ke gudang Caringin berlangsung pada 15-31 Oktober 2016. Desas-desus acara cuci gudang besar-besaran ini sebenarnya sudah santer terdengar sebelumnya di kalangan pedagang buku. Suatu momen yang ditunggu-tunggu karena semua buku hanya dibandrol 2 harga, yaitu 5 ribu (buku tipis) dan 10 ribu (buku tebal). Bayangkan, betapa murahnya!

Ketika informasi selebaran digital tersebar, saya bersyukur karena biasanya acara pameran atau bursa buku grup KKG selalu berbarengan dengan pameran buku yang diselenggarakan Ikapi Jabar. Hal itu disengaja atau tidak, entahlah. Rupanya di hari pertama, kunjungan diutamakan bagi para pedagang buku. Beberapa hari sebelumnya, kunjungan pembeli dikhususkan bagi perpustakaan dan taman bacaan.

Di hari pertama, wajah-wajah yang tak asing berdatangan. Merekalah para punggawa buku di Bandung. Para pelapak buku di kaki lima Jalan Dewi Sartika, pedagang buku di Palasari, dan pedagang buku daring (online) satu per satu mendapat nomor antrean. Saya tiba sudah sejak jam 7 pagi, berangkat memakai bus Damri tujuan Leuwipanjang, dilanjutkan dengan naik angkot Cipatik-Tegalega.

Giliran masuk pun tiba, tanpa pembatasan jam. Begitu masuk ke ruang gudang utama, jiwa kalap saya muncul, namun petuah tak keburu nafsu dari almarhum Pak Ammar Haryono (pemilik penerbit Pustaka) terngiang-ngiang, seperti mengingatkan. Di tengah lautan buku, buku-buku yang diincar disimpan terlebih dulu di satu tempat. Setelah yakin perburuan selesai, barulah buku dipilah ulang.

Usai membayar buku, saya lihat ada beberapa pedagang yang memborong berpuluh-puluh dus buku. Semoga laris manis, doa kecil saya.

Keesokan harinya, saya gunakan kesempatan itu untuk mengajak kedua anak saya jajan buku langsung dari ‘pabriknya’. Rencananya di hari yang sama, saya akan membelikan anak sulung sebuah sepeda yang sudah ia idam-idamkan. Setiba di gudang buku dan mendapatkan nomor antrean, kami bertiga langsung merangsek masuk. Karena khawatir kalap, saya sengaja tak mengambil tas jinjing yang sudah disediakan panitia di pintu masuk.

Didit dan Anom langsung menuju gundukan buku di tengah-tengah ruangan, mengambil buku sesuka hati sebelum nanti disortir lagi. Wajah mereka tampak sumringah dan takjub melihat ‘banjir buku’. Alhasil, dua bocah ini membawa setumpukan buku menuju kasir.  Sengaja hari itu saya hanya mengaping mereka, memotret, dan memilihkan buku-buku. Saya berusaha sekuat mungkin ‘menutup mata’ agar tak tergoda berbelanja buku lagi.

Masih di ‘babak’ kedua, saya datang lagi untuk ketiga kalinya persis di hari terakhir obral buku, 31 Oktober 2006. Saya sengaja datang pagi-pagi agar mendapatkan nomor antrean paling awal. Namun tampak pemandangan yang tak biasa. Di depan pintu gerbang yang masih ditutup, sudah berdiri beberapa orang berbaju PNS. Di sudut tembok dan gerbang sekarang sudah terpajang standing-banner bertuliskan pengumuman jam antrean masuk.

Tampaknya setelah hari kedua, mulai ada pengaturan nomor dan jam antrean. Dalam satu hari pengunjung dibatasi 700 orang. Artinya, selama 17 hari obral buku ini kira-kira dikunjungi lebih dari 11 ribu orang! 

Dua jam berlalu dari jam buka seharusnya pada jam 9 pagi. Saya dan beberapa orang mulai mengantre panjang di sepanjang pintu gerbang besi. Seorang petugas keamanan akhirnya mengumumkan bahwa di hari terakhir, gerbang baru dibuka jam 1 siang karena sedang berlangsung kunjungan Bunda Literasi yang tak lain adalah istri sang Gubernur Jabar saat itu, Netty Prasetyani Heryawan.

‘Penonton’ kecewa. Sebagian ada yang pulang, sebagian besar bertahan. Yang bertahan ada yang mencari jajanan. Lewat tengah hari, sebagian dari mereka beribadah salat zuhur, lalu makan siang. Warteg di depan gudang menjadi sasaran.

Jam 12 siang, setelah rombongan pejabat itu meninggalkan gudang, kami yang sudah menunggu berkerumun di depan gerbang akhirnya diperbolehkan masuk. Suasana rebutan buku sangat terasa, barangkali karena kami sudah berjubel sedari pagi. Lagi pula, ini hari terakhir!

Saya datang untuk membeli buku-buku yang akan digunakan untuk memulai usaha penjualan buku anak-anak. Niat itu terlaksana juga. Istri saya tertarik membuka usaha sampingan berjualan buku anak-anak dengan nama AmBOOKids. Di sela-sela jam mengajar, dia menawarkan buku-buku hasil berburu di gudang Caringin itu ke rekanannya sesama guru. Dan, ternyata laris manis. Syukurlah!

‘Babak’ kedua berakhir, dan kabarnya buku yang terjual selama cuci gudang sudah lebih dari 200 ribu eksemplar.

Rupanya Cuci Gudang Gramedia ini dibuka lagi tanggal 3-13 November 2016. Inilah ‘babak’ ketiga kunjungan saya. Yang berbeda, buku yang dijual saat itu berharga sama semua: 5 ribuan rupiah! Tak ada seleksi buku tipis atau tebal. Hanya saja, ketika saya sempat mampir lagi, kondisi stoknya sudah kurang saya minati.

Tak lama setelah usai acara itu, gudang Caringin berubah usaha menjadi KGXpress. Grup Kompas Gramedia betul-betul sudah menutup gudang bukunya.

Cuci Gudang Buku Mizan di Cinambo

Berselang dua tahun kemudian, tepatnya pada 31 Agustus – 11 September 2018, Mizan pun melakukan program cuci gudangnya. Suasana gudang yang tampak lebih tertata dengan sistem undangan VIP membuat volume pengunjung tidak terlalu padat.

Saya dan beberapa pedagang buku bisa hadir sehari sebelum acara cuci gudang dimulai. Sebagian teman menghubungi saya supaya saya bisa menjadi jastipper (jasa titip belanja buku). Penentuan harga berbeda-beda. Bandrolnya 10-50 ribuan rupiah.

Di luar gudang terdapat musala, gerai buku reguler, dan bazar buku impor. Tak banyak yang saya boyong karena sedikitnya jenis dan judul buku yang sesuai minat. Ditambah lagi, modal pembelian buku saya ketika itu sangat terbatas.

Beberapa pedagang buku di Bandung sedang berburu buku dengan harga murah untuk kemudian dijual lagi lewat lapak masing-masing, baik kios fisik maupun daring. (Sumber foto: Deni Rachman)
Beberapa pedagang buku di Bandung sedang berburu buku dengan harga murah untuk kemudian dijual lagi lewat lapak masing-masing, baik kios fisik maupun daring. (Sumber foto: Deni Rachman)

Seru Sekaligus Pilu

Keseruan berburu buku murah oleh para pedagang buku terkadang menjadi ironi bagi pihak lain. Siapa tega melihat buku-buku yang menggunung-meluber kemudian berserakan di lantai terinjak-injak? Lalu, bagaimana ya perasaan para penulis yang tahu bukunya diobral begitu murah?

Sebagai pedagang buku, tentu ajang cuci gudang ini menjadi berkah tersendiri. Sebagai ayah dari anak-anak – yang saat ini buku dan gawai mengisi hari-hari mereka – ajang ini menjadi momentum yang tak bisa disia-siakan. Namun, bagaimana dari sisi penulis dan penerbit?

Untuk mengetahui perihal dua sisi mata uang ini, saya mencoba mengeceknya langsung lewat obrolan sore kemarin bareng penulis Anjar dan kawan yang pernah bekerja di sebuah penerbitan. Anjar sangat mahfum buku karyanya yang beberapa kali diterbitkan oleh Grasindo, diobral. Di awal kontrak menulis sudah ada pemberitahuan jika dalam sekian tahun buku tidak terjual, bukunya akan diobral.

“Meski sakit hati, tapi ya mau gimana lagi. Saya sering juga berinteraksi dengan banyak penerbit dan mereka menceritakan bagaimana kondisi gudangnya yang penuh,” ungkap Anjar.

Mensiasati ironi seperti ini, Anjar turut membeli buku karyanya yang diobral, untuk kemudian ia bagikan sebagai doorprize atau cinderamata bagi rekanan.

Dari sisi penerbit, seorang kawan menyatakan, biasanya yang termasuk kategori obral adalah buku-buku overstock dan dead stock. Setelah sekian tahun penjualan suatu buku tetap lambat dan bahkan tidak ada penjualan, biasanya buku tersebut diobral.

Untuk penerbit sekelas Gramedia, misalnya, setiap hari pasti ada judul baru yang terbit. Hal inilah yang mungkin diposisikan ‘fair’ oleh Anjar.

“Sebetulnya ada yang lebih sakit hati, terutama saat pandemi ini. Buku saya dibajak, dijadikan PDF dan disebarluaskan tanpa seizin saya,” tuturnya.

Untuk menghindarkan obral buku, ada beberapa siasat yang diambil penerbit saat ini. Di antaranya dengan menerapkan sistem prapesan (pre-order) dan cetak terbatas sesuai permintaan pembeli. Dengan cara ini, buku akan lebih terserap habis oleh pembaca, sehingga tak perlu diobral.

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//