MEMORABILIA BUKU (16): Membuka Toko Buku di Baltos
Di saat ramai pembeli, tiba-tiba manajemen Baltos secara sepihak memindahkan counter buku LawangBuku. Komunitas lapak buku tak lagi guyub.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
2 November 2021
BandungBergerak.id - Kisah memorabilia lainnya di bulan Oktober, adalah momentum ketika LawangBuku akhirnya harus menutup toko buku pada tanggal 1 Oktober 2016. Sepekan sebelum tutup, banyak kawan pelanggan maupun komunitas yang datang silih berganti seakan memberikan semangat dan dukungan kepada saya untuk tetap bertahan.
Beberapa kawan dengan sukarela membantu kepindahan toko pada malam 30 September itu, menuju satu ruangan kosan tak jauh dari rumah tinggal saya. Berakhir sudah empat tahun saya membuka toko buku di Mall Balubur Town Square (Baltos), yang sempat berpindah-pindah sewa tempat dari mulanya menyewa petak (counter) hingga kios besar yang memiliki rolling door. Bagaimana kisah LawangBuku membuka toko di mal eks pasar Balubur lama itu, akan coba saya kisahkan di tulisan ini.
Momentum besar yang menjadi penanda membuka toko buku di Baltos ada tiga: Pertama, Konferensi Internasional Bahasa Sunda (KIBS) pada 19-22 Desember 2011. Saat itu saya menjadi koordinator Pameran Buku dan Kriya yang diselenggarakan di Gedung YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan), sementara konferensi berlangsung di ruang utama di Gedung Merdeka. Para peserta konferensi maupun masyarakat umum dapat mengunjungi gedung YPK yang berisi gelaran pameran buku, bursa buku, pentas seni, aneka kerajinan, dan kuliner Sunda.
Kedua, Pertunjukan Musikal Lutung Kasarung di Sabuga pada 27 Desember 2011 hingga 1 Januari 2012. Saya dihampiri oleh Kang Satria selaku EO pertunjukan tersebut, ketika saya mengelola pameran acara KIBS di YPK. Ia mengundang LawangBuku bisa membuka stand khusus buku selama pagelaran berlangsung.
Ketiga, Pameran Buku Bandung yang berlangsung di Gedung Landmark Braga pada 29 Desember – 5 Desember 2011. LawangBuku seperti biasa membuka stand buku di area balkon gedung. Saat itu saya dihampiri oleh seorang perempuan yang kemudian saya tahu ia adalah manajer Baltos. Ia menyebarkan surat penawaran kerja sama agar saya membuka toko buku di Baltos.
Seusai pameran di Braga, saya obrolkan surat penawaran itu bersama istri. Dan selama perhelatan pameran buku di YPK dan pertunjukan Lutung Kasarung, saya obrolkan pula bersama Irvan Darmansyah, sahabat saya di perbukuan. Irvan turut serta membuka stan buku di YPK dan berkolaborasi saat pameran buku di Sabuga. Irvan sudah tidak bekerja di sebuah penerbitan besar. Saya pun baru merintis usaha lagi melalui medsos Facebook dan pameran buku, setelah mengalami kebangkrutan saat menjadi distributor buku. Ketiadaan tempat usaha bagi kami, menjadi alasan kuat untuk membuka toko buku di Baltos.
Lokasi counter yang ditawarkan manajemen Baltos kepada kami berbeda satu sama lain. Irvan ditawarkan di lantai dasar 2, sedangkan saya di lantai 1. Di bulan Desember 2011 itu, saya intens berkomunikasi dengan Irvan yang rupanya sudah mendapatkan tempat terlebih dulu di sana. Akhirnya saya diajak untuk turut melapak buku di lokasi yang sama di lantai dasar 2 Baltos. Saya lalu menghubungi manajemen Baltos dan mereka sangat terbuka memberi informasi area counter yang masih kosong. Dengan doa dan tekad bulat, akhirnya saya memutuskan membuka toko buku di counter lantai dasar 2.
Sekilas Sejarah Baltos
Mal Baltos terletak di Jalan Tamansari, kampung kota Balubur, dan berseberangan dengan gedung antik Rektorat ITB. Mal ini setahu saya memiliki total 8 lantai (Lantai Parkir P1 dan P2; Lantai Dasar D1 dan D2; Lantai 1-3; dan Lantai Atap). Separuh Lantai Dasar D1 diisi oleh pasar (basah) tradisional. Seingat saya mal ini berdiri tak lama setelah dibangunnya jalan layang Pasupati, bertepatan dengan tahun emas KAA 1955. Mal ini sedianya diisi oleh para pedagang eks Pasar Balubur lama yang sempat dipindahkan ke lokasi di dekat PDAM Badak Singa/ Gelap Nyawang.
Pasar Balubur terkenal dengan pasar homogen ATK dan pasar tradisional, terletak di permukiman yang rerata kos-kosan mahasiswa ITB. Jika turun hujan, lantai menjadi becek karena lantai pasar masih beralaskan tanah dan ubin yang sebagian sudah mengelupas. Atap pasar ditutup oleh seng dan asbes. Angkot berwarna biru jurusan Sadang Serang-Caringin, angkot berwarna kuning Panghegar-Dipati Ukur, dan becak menjadi angkutan publik yang berseliweran di Pasar Balubur.
Ketika saya bersekolah di SMUNSA Bandung tahun 1995-97, Balubur menjadi tempat favorit membeli alat tulis dan kaset. Selain murah, pilihan ATK-nya lebih banyak dibanding toko-toko kecil di sekitar sekolah. Toko Yosiko dan Sinar Abadi menjadi tempat saya berlangganan membeli ATK. Sedangkan toko kaset di Balubur meski tak selengkap di Aquarius Dago dan Palaguna, tapi terkadang menemukan stok kaset yang tak ada di kedua tempat tersebut.
Saat itu saya tinggal indekos di Kampung Sukasari, di sekitar area Monju (Monumen Perjuangan Rakyat Jabar) Dipati Ukur. Biasanya sepulang sekolah, saya cukup berjalan kaki menuju Balubur. Dari pintu belakang sekolah, saya melewati Jalan Gelap Nyawang lalu berbelok ke Jalan Tamansari dan Cikapayang. Saat itu belum ada jalan layang Pasupati. Alternatif jalan bisa juga melewati Jalan Ciung Wanara melewati lapangan bola SMAK Dago, lalu berbelok ke arah Jalan Badak Singa, dan Jalan Mundinglaya. Setelah berbelanja di Balubur, saya pulang memakai angkot berwarna kuning.
Dari obrolan bersama Alex (salah seorang pegiat komunitas Aleut), saat kami bertemu di ajang pameran buku Haus Buku, Balubur mengandung arti sebuah tempat. Balubur juga diidentikan dengan nama Balubur Hilir, tempat bersejarah yang disebut-sebut sebagai tempat singgahnya Bupati Bandung Wiranatakusumah II kala bermaksud mencari ibu kota baru bagi Kabupaten Bandung. Pasar Balubur diduga sebagai Balubur ‘hulu’, sedangkan Balubur Hilir ada di sekitar Merdeka Lio dan rumah dinas Pangdam Siliwangi.
Menurut Ensiklopedi Sunda (Ajip Rosidi, dkk; 2000), nama Balubur disematkan bagi nama satu daerah yang langsung berada di bawah kekuasaan bupati. Daerah tersebut biasanya digunakan sebagai permukiman para anggota keluarga bupati, karena letak daerahnya cukup baik untuk ukuran waktu itu. Di daerah itu tidak ada kerja wajib penanaman kopi, dan kerja wajib lainnya untuk kepentingan penguasa kolonial. Dengan kata lain, balubur adalah “daerah istimewa” zaman dahulu.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (7): Festival Buku Asia Afrika dan Komunitas Baca Asian African Reading Club
MEMORABILIA BUKU (8): Pertama Kali Ikut Pameran Buku, Ketemu Andrea Hirata dan Andy Rif
MEMORABILIA BUKU (9): Pameran Buku di Landmark Bandung sejak 2003 sampai Dihentikan Pandemi
MEMORABILIA BUKU (10): Keakraban Pasar Buku Sabuga 2006
MEMORABILIA BUKU (11): Kenangan Toko Buku Djawa
Memulai Usaha Baru
Tak lama setelah pagelaran Lutung Kasarung usai, saya mengecek tempat yang sudah dipastikan menjadi toko LawangBuku. Lokasinya terletak di Lantai Dasar 2, berada di barisan tengah gedung. Ukuran counter sekira 2 x 2 meter. Barisan counter yang semi permanen ini memanjang 1 baris ke belakang, diapit oleh-oleh kios-kios permanen yang memiliki rolling door.
Harga sewa counter saat itu masih sangatlah murah, bahkan manajemen menggratiskan biaya sewa selama 3 bulan pertama dan saya hanya dikenakan biaya listrik bulanan saja, fasilitas lainnya sudah tersedia toilet dengan sistem bayar seribu rupiah, dan mushola yang ada di lantai dasar 1 dan 2, dan di lantai 2. Sewa kios permanen lebih mahal yakni berharga sewa sekitar 1,5 juta/ bulan. Berbeda jauh dengan biaya counter saat promosi yang hanya 100 ribu/ bulan.
Lift pengunjung, lift barang, dan eskalator menjadi penghubung antarlantai. Saat itu Baltos masih terbilang sepi dan belum banyak ditempati para pedagang. Para pedagang rerata sudah menjadi para pemilik kios dengan cara membelinya dari manajemen dan mungkin saja sebagian lagi ada kesepakatan-kesepakatan mengikat antara manajemen dengan para pedagang Pasar Balubur lama yang pindah ke Baltos ini.
Di sebelah kanan counter saya, sudah ada pedagang mainan anak, sedangkan di belakang masih kosong. Irvan yang menamakan tokonya dengan Theraz Buku, terletak di seberang, bersebelahan dengan toko alat lukis. Di bawah eskalator sudah ada counter buku-buku import, bersebelahan dengan toko buku yang menjual buku-buku hukum. Beberapa blok ke belakang dari counter saya sudah tersewa hampir 10 counter oleh salah seorang pedagang buku di Pasar Buku Palasari. Namun hingga berbulan-bulan, pedagang buku dari Palasari itu tak pernah datang berdagang.
Mengenal Kultur Pasar
Kultur pasar sebetulnya sudah tak asing bagi saya, seperti yang pernah saya kisahkan di Memorabilia Buku (3), saya pernah setahun berdagang di pasar kaget Gasibu. Saya mengenal karakter pedagang dan pembeli sebagai sesuatu yang istimewa untuk mengenal berbagai karikatur manusia.
Dari persahabatan dengan para pedagang selain pedagang buku, misalnya saya mengenal lebih dekat Abah Surya. Abah Surya adalah pedagang kue kiloan, seorang Tionghoa paruh baya asal Bandung yang bertempat tinggal di sekitar Pelesiran. Saya memanggilnya Abah, karena layak untuk menjadi sesepuh bahkan bisa dibilang mentor saya selama berdagang di Baltos.
Saya melihat pemandangan yang unik di tokonya. Terpajang aneka barang-barang vintage seperti botol-botol kaleng bekas aneka merk yang disusun berjajar, aneka botol kaca dengan berbagai bentuk, lampu disko dan lampu kerlap-kerlip, dan berbagai nomor pElat mobil. Di bagian muka, Abah menata kaleng-kaleng kuenya yang berwarna kuning dan biru, serta kantong-kantong plastik berisi kue kiloan. Suasana toko tambah hidup dengan alunan musik yang sengaja ia setel dari dalam toko. Keantikan barang-barang dagangan saya dan barang yang Abah pajang membuat kami semakin ‘nyambung’ dalam hal citarasa ‘perjadulan’.
Seorang penulis bernama Sundea, pernah meliput Abah Surya setelah saya menceritakan sosok unik itu. Ada-ada saja petuah Abah yang sering saya camkan dalam kehidupan berdagang baik di counter maupun di pameran-pameran buku. Ia juga pernah memuji ketika melihat toko saya tak pernah sepi pembeli. “Hade euy Den, kamu mah geus ngabaju jualanna”, kurang lebih artinya: “Hebat Den, kamu jualan itu sudah punya ‘nama’ (maksudnya mungkin sudah bukan pemula)”.
Beberapa petuah Abah yang saya ingat di antaranya Abah menyarankan supaya rutin mengganti plastik-plastik yang membungkus buku. Abah mengibaratkan seperti orang yang berganti baju, jadi tampilan barang yang dijual harus bersih dan apik. Saya amati, betul adanya Abah memang rutin mengganti bungkus plastik kue kiloan hampir seminggu sekali.
Tak hanya barang dagangan, menurut Abah pedagang pun harus berseka dan ramah. Ia menyarankan saya membawa peralatan mandi. Apa maksudnya ya? Saya sempat terheran-heran. Abah lalu menjelaskan jika kita akan membuka toko sampai malam, sebaiknya pada sore hari kita mandi lagi, supaya badan kita lebih segar dan menambah semangat berdagang. Hal itu akan berpengaruh terhadap calon pembeli.
Petuah lainnya, saya dianjurkan menyimpan omzet penjualan malam hari untuk dijadikan omzet keesokan paginya. Jadi omzet harian hanya dihitung sampai sore hari saja. “Mengapa begitu, Bah?” tanya saya kepada Abah. “Di pagi hari penjualan di sini sepi. Jadi saat berjualan di malam hari, kita akan giat dan semangat demi ‘menabung’ omzet untuk keesokan paginya”, jawab Abah.
Kehadiran Abah Surya selalu mewarnai hari-hari saya berdagang di Baltos. Ia sempat memberikan kenang-kenangan lampu kayu antik dan plang kayu untuk memajang merk toko, saat saya hendak pindah counter ke bawah eskalator. Suatu saat ketika lebaran, saya sempat juga diberi bingkisan kue bolu.
Kebaikan Abah Surya akan selalu saya ingat, meski kemudian ujung kehidupannya berakhir tragis. Tahun 2014, Abah sempat sakit lama dan tidak buka toko. Tak lama kemudian Abah masuk berita di koran lokal Bandung, ia mengalami kecelakaan di daerah Ciumbuleuit. Ia terjatuh hingga bersimbah darah dan nyawanya tak tertolong. Ucapan belasungkawa mendalam saya sampaikan kepada anak almarhum saat saya melayat di rumah duka di RS Borromeus. Saya sempat menatap wajah Abah untuk terakhir kalinya.
Selain Abah, ada Uda Yopi dan istrinya yang berdarah Minang. Mereka memiliki toko ATK Prima Lestari. Ada juga Pak Yanto dan istri, pemilik toko alat lukis Rustic. Pak Yanto seorang alumnus seni rupa ITB dan asli penduduk Balubur. Engko dan istri yang menjual barang elektronik, Kang Syarif penjual pakaian, si Aa dan istrinya penjual baju-baju muslim, pedagang plastik sampul buku, pedagang aksesoris, pedagang sepatu, pedagang kerajinan, pedagang box, pedagang mainan, pedagang parfum, pedagang stempel, grosiran makanan-minuman, dan para pedagang ATK. Mereka berasal dari berbagai daerah.
Yang Tersisa Tinggal 2 Toko Buku
Di awal tahun 2012 awalnya ada 4 toko yang membuka usaha perdagangan buku: Toko Buku Import Books, toko buku hukum, Theraz Buku, dan LawangBuku. Menyusul kemudian Lumbung Buku, TB Bintoro Barokah (Palasari), dan satu counter pedagang buku-buku agama.
Toko buku yang menjual buku bekas dan lawasan hanyalah LawangBuku dan Toko Buku Import Books. Selebihnya para pedagang menjual buku-buku baru bersegel. Namun seiring waktu, mungkin ada imbas dari bagusnya penjualan buku bekas, toko-toko lain turut menjual pula buku-buku bekas/lawasan.
Keguyuban para pedagang buku yang ada di 1 lokasi mulai buyar ketika manajemen merobak posisi area pedagang buku. Tanpa sepengetahuan saya, counter yang saya tempati ternyata sudah dibeli oleh seorang pengusaha. Dengan jumawanya si pembeli counter dan pihak manajemen melihat-lihat counter saya ketika saya masih aktif berjualan.
Manajemen kemudian memberi tahu bahwa saya disarankan untuk pindah lokasi ke lantai atas yang masih sepi. Peristiwa ini membuat saya kesal dan sempat mengajukan protes kepada pimpinan manajemen yang dulunya menawarkan counter saat saya berpameran buku.
Rupanya pemindahan sepihak itu menimpa juga kepada Pak Yanto dan beberapa counter lain. Saya mendengar Pak Yanto akan membawa massa dari penduduk sekitar. Sedangkan saya akan mengajukan peristiwa ini ke surat pembaca di media massa.
Suasana yang tidak mengenakkan ini rupanya dimanfaatkan oleh salah seorang pedagang buku yang counter asalnya berada di belakang saya. Diam-diam ia mendapat lokasi paling depan eks toko buku Books yang dipindahkan ke lantai 3. Kemudian hari ia membeli counter tersebut, tanpa ada obrolan layaknya kami awalnya membangun komunitas lapakan ini secara bersama-sama di awal usaha buku di Baltos. Pedagang buku lainnya tetap menyewa counter.
Buah dari kompromi manajemen dengan saya adalah saya dipindahkan ke counter paling depan di bawah eskalator dan mendapatkan tambahan biaya gratis sewa selama 1 bulan. Manajemen memohon maaf atas kejadian tersebut. Saya akhirnya menyepakati keputusan tersebut dan menempati counter eks toko buku hukum yang pindah ke area di paling belakang mal.
Semenjak kejadian tersebut, saya menjadi faham betul bahwa dalam dunia perdagangan pun ternyata tidak ada kepentingan bersama yang kekal. Suasana yang kesan awalnya guyub, berubah menjadi individualistik.
Tahun 2014 Titik Kritis
Kisah pemindahan counter ini terjadi lagi di tahun 2014. Saya mendengar, bahwa counter Theraz Buku yang sedari awal tak diutak-atik, kabarnya juga akan dipindahkan. Sebagai kawan dekat, saya sangat berempati karena pernah mengalami hal serupa. Saya jadi teringat ucapan almarhum Abah Surya: “Maneh mah didieu siga jangkrik, Den. Dibutuhkeun keur ngaramekeun hungkul”. Artinya kurang lebih bahwa kehadiran saya di sini tak ubahnya seperti jangkrik, dibutuhkan untuk meramaikan saja. Alias kalau sudah ramai, siap-siap saya untuk dipindahkan ke lantai yang sepi.
Di tahun itu juga, penjualan buku dan umumnya perdagangan tengah melesu. Daya beli masyarakat menurun. Para pelanggan yang biasanya mampir setelah beli ATK, saat itu langsung melengos pulang. Fenomena ini saya sampaikan juga kepada Irvan. Saya butuh penyegaran baru dengan memutuskan pindah lokasi ke kios di sayap kanan mal, sedangkan counter di bawah eskalator supaya dilanjutkan oleh Irvan.
Kenangan berdagang buku di bawah eskalator ini yang membekas hingga sekarang. Di sanalah saya banyak berjumpa dengan para pembeli dari berbagai daerah bahkan ada yang dari Afrika dan Korea. Saya berjumpa dengan para penulis, budayawan, dan wartawan. Terkadang ruang agak lebar tepat di bawah mesin eskalator sering dijadikan tempat berkumpul kawan-kawan komunitas. Kami bisa bercanda tawa sambil melahap penganan atau makan nasi bungkus bersama-sama.
Yang tak saya lupakan juga yaitu peran para juru laden yang pernah terlibat menjadi asisten penjualan di LawangBuku. Saya sering mendelegasikan penjualan kepada mereka yang rerata mahasiswi yang memiliki minat terhadap literasi. Ketika saya berburu buku ke luar kota atau sedang berpameran, counter dapat dikelola dengan baik oleh mereka. Keberadaan juru laden ini ditambah perputaran stok yang lancar, membuat saya sempat membuat pameran bertajuk Piknik Buku di area plasa Baltos.
Tutup Toko Buku
Di tahun 2015, saya menempati kios yang memakai rolling door. Kios ini berada di sayap paling kanan mal. Konsep interior di dalam kios berbeda dibandingkan ketika masih di counter. Di counter saya harus membuka dan menutup lapakan dengan kain besar yang dijepit memakai penjepit besi. Setiap hari harus membersihkan buku dari debu-debu. Berbeda dengan di dalam kios, buka-tutup toko tinggal menarik pintu besi berputar dan menguncinya dari luar. Namun selama berjualan di counter saya ‘diajarkan’ kesabaran dan kebertahanan terhadap rutinitas kecil.
Selama berjualan di kios tersebut, saya sempat mengadakan beberapa acara perbukuan yang diselenggarakan di lantai 3 yaitu diskusi perihal buku lawasan bekerja sama dengan komunitas Ulin Bandoeng, pameran koran tua dan kartu pos, serta workshop penyuntingan tulisan.
Kelesuan omzet di tahun pertama berjualan di kios baru, menjadi alasan utama yang membuat saya akhirnya memutuskan tutup toko. Andalan utama omzet saat itu hanyalah dari pameran besar yang diselenggarakan oleh Ikapi Jabar yang berlangsung 2-3 kali dalam setahun. Di ujung bulan September, saya mengumumkan tutup toko. Sebagian besar buku dikorting setengah harga dan 1 rak besar dilelang. Babak baru penjualan buku secara daring menjelang.
Salambuku!