Cerita Orang Bandung (3): Iis Jumasih dan Warung Loteknya
Tiga tahun lalu Iis Jumasih kehilangan sang suami. Warung lotek kaki lima yang dia buka di kawasan Dago jadi satu-satunya tumpuan harapan.
Penulis Bani Hakiki7 Juni 2021
BandungBergerak.id - Sejak tiga tahun lalu, di umurnya yang sudah lewat kepala lima, Iis Jumasih harus sendirian menghadapi dunia. Suaminya, seorang kuli bangunan yang merangkap tukang kebun panggilan, meninggal. Hilang sudah sumber pendapatan bagi keluarga.
Iis (55), yang menghabiskan berpuluh-puluh tahun hidupnya untuk sepenuhnya mengurus rumah tangga, terpaksa harus mencari kerja. Menjadi pedagang kaki lima, di tahun itu juga dia mulai berjualan lotek mentah di bilangan Dago, tepat di seberang Apotek Unpad.
Tidak ada modal melimpah dimiliki Iis. Dia mengandalkan keberuntungan pada resep yang dibuat sendiri. Satu porsi lotek dibandrol seharga Rp 12 ribu, sudah termasuk nasi putih yang bisa diambil sesuai keinginan pelanggan.
“Waktu itu (2018), saya harus cari uang untuk anak bungsu yang baru masuk SMA. Daripada diam di rumah, ya sudahlah, saya mau dagang weh,” tutur Iis kepada BandungBergerak.id, Senin (7/6/2021) siang.
Jarum jam hampir menyentuh angka 12 dan jalanan semakin ramai dipadati kendaraan. Langit Bandung sedang cerah-cerahnya, nyaris tak berawan. Di lapaknya yang mungil, Iis dengan lihai mengulek bumbu-bumbu.
Agar bisa berjualan di lapaknya sekarang ini, Iis harus membayar sewa kepada pemilik halaman rumah di belakangnya senilai Rp 20 ribu per hari. Dia juga menyerahkan uang Rp 2 ribu kepada oknum petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang sering datang ke warung, meski tak diketahuinya untuk apa uang itu digunakan. Yang Iis tahu, semua pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dago melakukan hal yang sama.
Begitulah setiap hari dalam tiga hari terakhir, Iis memulai kerjanya dengan pergi ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan makanan sejak sebelum matahari terbit. Warung dia buka selama 12 jam, dari pukul 9 pagi sampai pukul 9 malam. Dalam sepekan, dia mengambil satu hari libur di akhir pekan.
“Gempor atuh saya kalau (kerja) setiap hari pisan mah,” canda Iis.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (2): Kejujuran Agus demi Keluarga di Kampung Halaman
Cerita Orang Bandung (1): Kesaksian dari TPU Cikadut
Gara-gara KTP
Iis Jumasih, kelahiran Bandung, dikaruniai tiga orang anak dari pernikahannya. Dua anak yang paling besar sudah menikah dan hidup dengan keluarganya masing-masing. Anak sulungnya tinggal di Palembang dan sudah setahun lebih tidak pulang ke Bandung karen terhalang pandemi.
Iis dan anak bungsunya saat ini tinggal di kawasan RW 11 Dago Elos. Anak bungsunya itu, yang baru saja lulus sekolah menengah atas, bekerja sebagai sopir angkutan kota (angkot) jurusan Kalapa-Dago sejak duduk di bangku kelas 11.
Pada 2017 lalu, rumah Iis, bersama ratusan rumah warga lainnya, terancam digusur lewat sebuah sengketa lahan yang melibatkan sebuah perusahaan swasta. Beruntung, kasus yang dibawa ke meja pengadilan itu, tanpa campur tangan pemerintah sedikit pun, berakhir dengan kemenangan warga.
“Ah, Bandung sekarang mah riweuh (ribet). Ini dibangun, itu dibangun. Buat apa sih? Mending jualan lotek weh. Saya mah gak peduli mereka (pemerintah) mau ngapain,” katanya.
Patah harapannya Iis pada janji pemerintah punya riwayat panjang. Ketika program bantuan sosial (bansos) di masa pagebluk bergulir tahun lalu, dia luput menjadi penerima manfaat meski termasuk warga kelas ekonomi menengah ke bawah. Peliknya urusan administratif membuatnya kehilangan hak.
Lahir di Bandung, Iis menghabiskan masa remajanya di Cibodas, Kabupaten Bandung Barat. Itulah alamat domisili yang tercantum di Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya. Dan itulah yang jadi pangkal masalah.
“Karena KTP saya (tercatat) Cibodas, saya harus bolak-balik ngurusin surat (persyaratan). Tapi semua dibikin ribet. Gak pernah cair tuh (bansos) sampai sekarang juga,” ujar Iis sambil menyeduh susu jahe untuk seorang pelanggan.
Jarum jam baru saja melewati angka 12 dan jalanan di kawasan Dago semakin ramai oleh kendaraan. Langit Bandung sedang cerah-cerahnya, nyaris tak berawan. Di bawah lindungan rindang pohon di kawasan yang bising itu, di dalam warung loteknya yang mungil, Iis Jurasih sekuat tenaga bertahan menghadapi dunia.