Cerita Orang Bandung (2): Kejujuran Agus demi Keluarga di Kampung Halaman
Sudah puluhan tahun Agus (62) menjadi pengepul barang bekas dan berangkal di Bandung. Pernah kecanduan judi togel, ia insaf oleh teguran sang anak bungsu.
Penulis Bani Hakiki5 Juni 2021
BandungBergerak.id - Kicau sekumpulan burung gereja yang bertengger di semrawut kabel menyapa dan mengiringi Agus (62) yang sedang mendorong gerobak roda tiganya, berkeliling mengepul berangkal dari rumah ke rumah di kawasan Sekeloa, Bandung. Sabtu (5/6/2021) pagi itu, ia mendapat panggilan dari salah satu langganan jasanya lewat telepon genggam poliponik yang ia miliki. Keberuntungan datang lebih awal dari biasanya.
Agus, begitulah nama yang tertera di KTP-nya, mengumpulkan barang bekas dan berangkal untuk kembali dijual ke pengepul utama di kawasan Pahlawan, setelah sebelumnya dipisahkan sesuai bahan dan jenisnya. Harga jual ditetapkan sesuai hasil timbangan. Penghasilan per hari Agus tidak menentu, dari sekitar Rp 20 ribu hingga paling besar di kisaran Rp 50 ribu.
“Harga mah gak nentu soalnya tergantung dapatnya barang kayak gimana. Terus gak bisa setiap hari yang diambil teh sama,” tutur Agus sambil tersenyum dan menggenggam botol minumnya. “Apalagi pas pandemi gini, wah, kadang saya bisa gak ada kerjaan seharian.”
Barang-barang bekas yang dibawa Agus merupakan benda-benda padat yang bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Koran bekas merupakan salah satu barang bekas paling mewah. Harga jualnya bisa menyentuh kisaran Rp 6 ribu per kilogram. Sementara itu, jenis berangkal yang ia angkut adalah bahan sisa pembangunan yang berbahan baku kayu dan plastik.
Bukan perkara mudah bagi Agus memperoleh keuntungan dari jasa yang ia tawarkan. Ia harus melakukan tawar-menawar langsung dengan pelanggan jasa angkutnya. Selain mengupayakan harga beli serendah mungkin, Agus juga mesti memastikan barang yang ia beli dari pelanggan nantinya bias dijual dengan harga lebih tinggi ke pengepul utama.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (1): Kesaksian dari TPU Cikadut
Keluarga di Kampung Halaman
Agus, pria kelahiran Majalengka pada tahun 1959 ini pertama kali menginjakkan langkahnya di Bandung pada 1977 lalu. Pekerjaan pertamanya di Kota Kembang adalah berdagang minyak tanah di bilangan Suci. Tak sampai satu dekade kemudian ia memiih menjadi pengepul barang bekas dan berangkal demi menyambung hidup.
Saat ini Agus tinggal seorang diri di rumah panggungnya di kawasan Bojong Tengah. Istri dan tiga orang anaknya berada di kampung halamannya di Majalengka. Anak pertamanya telah berkeluarga dan dikarunai tiga orang anak. Anak keduanya sempat bersekolah di sekolah menengah kejuruan, tapi hanya bertahan setahun akibat kekurangan biaya. Sementara itu si bungsu masih duduk di bangku madrasah tsanawiyah (MTs).
“Saya pulang kampung kalau lagi ada rezeki lebih aja. Mending di sini, cari nafkah untuk keluarga di sana (Majalengka),” ujar Agus.
Terakhir kali Agus pulang kampung pada hari keempat Ramadan. Kepulangan yang dipaksakan setelah ia mendengar berita tentang pelarangan mudik serempak di seluruh daerah di Indonesia per 6 Mei 2021 lalu. Di Majalengka, tak ada lagi tanah yang dimiliki Agus untuk digarap jadi kebun. Semua sudah dijual untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
Agus sepenuhnya mengandalkan pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengepul barang bekas dan berangkal bangunan di Bandung. Ia taruh harapan besar pada anak ketiganya yang masih bersekolah agar kelak harapan besar agar kelak bisa menjalani hidup yang jauh lebih layak. Untuk itulah Agus bekerja keras, tanpa pernah menjadikannya sebagai beban yang harus dikeluhkan sepanjang waktu. Ia percaya bahwa setiap orang punya rezekinya masing-masing.
“Saya mah punya mobil gak mau, punya rumah besar juga gak mau. Yang penting buat saya, cari uangnya jujur dan kalau harus meninggal, nanti gak ninggalin utang,” tuturnya.
Teguran Anak
Mengadu nasib di sebuah kota besar, Agus sempat terperosok ke dunia gelap judi. Setiap hari ia membeli nomor togel dengan harapan mendapatkan sejumlah uang segar secara cepat. Kebiasaan buruk ini terus berlangsung hingga suatu hari si bungsu mengetahuinya.
“Alhamdulillah, tiba-tiba anak saya itu nanya: ‘Pak suka beli nomor togel ya?’ Berhenti atuh!’. Semacam gitulah ngomongnya. Ya, saya langsung ngeh. Aduh, gak bener euy ini teh,” ucap Agus sambil sedikit tertawa.
Itulah momen yang meneguhkan niat Agus untuk memegang teguh jalan kejujuran dalam setiap usaha menafkahi anak-anak dan istrinya. Momen yang membuatnya kian sadar pada tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Momen yang memberinya kekuatan untuk menghadapi beragam kesulitan yang ia temui di jalan.
Sama seperti semua orang, Agus juga terdampak pandemi Covid-19 yang membekap dunia sejak setahun lalu. Hanya sekali ia menerima bantuan dari pemerintah. Sesudahnya, nihil. Toh Agus tidak kendur semangat. Yang terpenting baginya, ia tulus bekerja mencari nafkah meski kadang hasilnya tidak seberapa.
Sampai hari ini Agus belum berpikir untuk pulang selamanya ke Majalengka dan menikmati masa tua di kampung halaman. Ia memilih untuk bertahan di Bandung dalam keyakinan bahwa kejujuran yang ia praktikkan akan berbuah baik di kemudian hari.