Pembangunan Kota Bandung tanpa Melibatkan Warga Hanya Menghasilkan Penggusuran
Bandung Design Biennale membahas masifnya pembangunan yang diikuti penggusuran di Kota Bandung. Lain ceritanya jika warga dilibatkan.
Penulis Bani Hakiki22 November 2021
BandungBergerak.id - Kota Bandung merupakan salah satu destinasi wisata terbesar di Indonesia, kondisi alamnya yang dikelilingi gunung membuat hawa kota ini dikenal sejuk. Sedangkan posisinya sebagai Ibu Kota Jawa Barat mengundang banyak pendatang mencari nafkah dan mempertaruhkan hidupnya.
Demi mempertahankan citra di mata wisatawan, hampir setiap tahun Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sibuk melakukan berbagai pembangunan infratruktur. Di balik segala usaha mempercantik estetika kota itu, justru tersimpan kisah-kisah pilu yang dialami warga Kota Bandung. Terutama bagi mereka yang rumahnya digusur karena pembangunan yang begitu masif, khususnya selama satu dekade terakhir.
Belum lama ini, Kota Bandung dihebohkan dengan penggusuran yang menimpa warga Jalan Anyer Dalam. Sedikitnya 100 orang warga korban penggusuran mendadak kehilangan rumah tinggal mereka, banyak anak-anak yang sekolahnya terganggu, tidak sedikit ibu-ibu yang kehilangan mata pencaharian.
Pada Sabtu (20/11/2021), Bandung Design Biennale mengadakan sebuah diskusi bertajuk “Kampung Kota, Desain, dan Partisipasi Warga” di Balai RW 02 Dago Elos. Ada pula sebuah pameran foto bertemakan penggusuran di Kota Bandung yang dikumpulkan dari sejumlah fotografer dan warga yang sempat mendokumentasikannya.
Eva Eryani, perwakilan warga RW 11 Tamansari yang menjadi salah satu narasumber diskusi, menceritakan pengalamannya selama menghadapi penggusuran proyek Rumah Deret. Sampai saat ini, ia masih bertahan di rumahnya bahkan setelah penggusuran menghabiskan lingkungan sekitarnya.
“Ketika dihadapkan dengan pemerintah tidak ada jalan lain, bertahan adalah kemenangan yang hakiki sampai hari ini. Banyak yang telah kita lakukan melalui gugatan-gugatan (hukum) selalu dikalahkan,” tuturnya Eva.
Diskusi terbuka tersebut juga turut mengundang Ignatius Sandyawan dari Ciliwung Merdeka dan Amalia Nur dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Mereka membahas bagaimana tata letak kota berperan besar terhadap indeks kesejahteraan masyarakatnya. Bukan cuma dari segi estetika, tapi juga interaksi antarwarganya.
Mereka juga menentang cara-cara penggusuran sepihak yang dijadikan alat pembangunan sebuah kota, seperti yang terjadi di sejumlah titik di Kota Bandung. Hak warga sebagai sipil seharusnya punya nilai yang setara di hadapan pemerintah, setidaknya untuk melakukan perundingan.
Namun kenyataannya, hampir tidak pernah ada solusi konkret yang ditawarkan kepada warga yang tergusur. Mereka kerap disudutkan dengan narasi administrasi pertanahan dan permukiman kumuh. Satu-satunya solusi yang berikan biasanya cuma berupa rumah susun (rusun) yang tentunya mengubah pola kehidupa warga secara geografis dan sosiografis.
Padahal ketentuan pembangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa pihak pemerintah seharusnya melakukan musyawarah dengan warga terkait segala hal yang berkaitan dengan penetapan ganti rugi.
“Dari awal yang kita mau sebenarnya gampang, kalau memang Pemkot punya, tolong tunjukkan suratnya kepada kita. Kita sebagai warga negara punya hak memimpikan rumah yang kita mau di tanah kita sendiri,” Eva Eryani menambahkan.
Baca Juga: LBH Bandung: Penggusuran di Jalan Anyer Dalam Mencederai Hukum
Setelah Puluhan Tahun Tinggal, Warga Anyer Dalam Terancam Digusur PT KAI
PT. KAI Bongkar 25 Rumah di Jalan Anyer Dalam, Warga Mengungsi ke Masjid dan Kantor Kelurahan
Warga adalah elemen paling dalam mendukung kemajuan dan keasrian sebuah lingkungan. Karena warga berinteraksi langsung dalam kehidupannya sehari-hari sehingga lebih mengenal apa yang mereka cari dan butuhkan.
Kampung yang maju merupakan sebuah daerah dengan basis ekonomi yang kuat sehingga bisa menunjang berbagai kebutuhan alam serta manusia yang hidup dan tinggal di dalamnya. Maka dari itu, warga sendiri perlu dibekali beragam ilmu yang nantinya bisa diterapkan di lingkungan hidupnya masing-masing dan menjaga tradisinya untuk generasi selanjutnya.
Menurut Sandyawan atau akrab disapa Romo Sandy, wacana itu dapat direalisasikan jika warganya mengenal dan memahami betul hak-hak yang mereka miliki. Cara terbaik untuk merevitalisasi sebuah kawasan kumuh adalah menyadarkan kembali seberapa pentingnya warga bisa membangun wilayahnya.
“Untuk membangun kampung kota, warganya sendiri harus diikutsertakan. Harus banyak pendekatan yang dilakukan agar warga paham hak-haknya. Kita harus membantu warga untuk menjadi arsitek di kampungnya sendiri,” ujar Sandyawan.
Demi merealisasikan hal tersebut, ada beberapa poin utama yang perlu diperhatikan. Setiap warga perlu menyiapkan peta ekonomi dan ekologi agar bisa melihat potensi apa yang mampu dan relatif mudah digarap secara mandiri. Apalagi jika solusi yang ditawarkan pemerintah seringkali tidak berpihak kepada masyarakat.
Selain itu, warga juga perlu didorong untuk mengenal lebih jauh budaya atau antropologi masyarakat yang ada di lingkungannya. Setelahnya, masyarakat diharapkan bisa memetakan potensinya dari segi demografi yang dimiliki sesuai peta geografis yang diketahui. Langkah terakhir, mengenal peta hukum mengenai hak kepemilikan yang barang tentu wajib dipahami agar terhindar dari narasi penggusuran yang selama ini selalu jadi andalan pemerintah di seluruh Indonesia.
Amalia Nur yang berpengalaman di bidang arsitektur membedah berbagai celah dari pemerintah yang ditemukan dalam setiap proyek pembangunan sebuah kawasan. Hal yang paling krusial adalah bagaimana pihak penyelenggara pembangunan seringkali tidak memperhatikan segi demografi masyarakat dalam perancangan tata letaknya.
“Kita selalu melihat perencanaan dan perencanaan yang tidak melihat potensi warganya, cuma melihat kondisi lingkungannya. Padahal potensi warga juga seharusnya diperhatikan dalam sebuah pembangunan, perancangannya gak (pernah) tuntas,” ungkapnya.
Menghindari Konflik Horizontal
Penggusuran selalu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat umum, bahkan di antara warga yang menjadi korbannya. Konflik horizontal seperti ini sangat penting untuk dihindari dan diselesaikan sebelum warga bisa mempertahankan tanahnya di tengah ancaman penggusuran.
Salah satu cara yang dinilai paling realistis adalah membentuk sebuah komunitas solidaritas yang dapat mengakomodasi kebutuhan atau setidaknya menjadi wadah aspirasi dan keresahan warga. Praktik seperti ini telah diusung oleh warga Tamansari yang menelan kekalahan di persidangan dan warga Dago Elos yang berhasil memetik kemenangan secara administrasi.
“Penggusuran itu bersifat menular, solidaritas masyarakat sangat penting. Tapi, yang terpenting adalah dari warga (korban) dulu supaya mau satu suara bertahan,” tegas Eva di penghujung diskusi.
Pembentukan solidaritas perlu dilakukan secara bertahap agar bisa memahami betul kondisi yang mereka hadapi di lingkungannya. Pemahaman inilah yang menjadi bekal utama untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman penggusuran. Setelahnya, masyarakat bisa menyuarakan isunya lebih luas ke muka umum untuk menarik kesadaran warga lainnya.
Namun, cara ini memerlukan waktu yang cukup panjang untuk direalisasikan. Maka dari itu, warga perlu menyadari seberapa jauh potensi ancaman penggusuran di wilayahnya, terutama bagi mereka yang tinggal kampung-kampung yang tersebar di tengah kota metropolitan. Tujuannya supaya warga bisa lebih dulu mengetahui legalitas lahan yang mereka tinggali
“Kalau mendebatkan masalah penggusuran dengan pemerintah itu ribet. Tapi, kita bisa antisipasi dari jauh-jauh hari dengan menggarap lahan kita sendiri supaya jadi lingkungan yang layak huni. Prosesnya mungkin akan lama tapi dampaknya besar,” imbuh Romo Sandy.