CERITA DARI BANDUNG BARAT #1: Para Pemuda Perawat Tradisi di Kampung Pojok
Kampung Pojok terkenal sebagai tempat para perajin cobek batu. Mereka mendapatkan batu dari Cihalimun dan dari kaki Gunung Bendera.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah12 Juni 2022
BandungBergerak.id - Langit sore begitu cerah setelah gemercik hujan membasahi tanah dan dedaunan, sawah hijau terhampar di depan gunung-gunung tegak memukau. Di sebuah rumah tempat para perajin cobek terlihat dua pemuda sedang memilah dan memahat batu, orang Sunda mengenal hasil kerajinan mereka sebagai coet dan mutu.
Kampung Pojok, Gantungan, Desa Jayamekar, Kabupaten Bandung Barat memang terkenal sebagai kampung para perajin cobek. Dua pemuda yang serius memilah batu dan memahatnya menjadi lingkaran coet, bernama Asep (23) dan Solihin (27).
Sambil bekerja, mereka mendengarkan cerita berbahasa Sunda dari Youtube yang tersambung ke speaker lewat Bluetooth. Mendengarkan cerita berbahasa Sunda mengandung makna filosofis tersendiri bagi mereka.
Menurut Asep dan Solihin, cerita Sunda membuat kita tahu jati diri sendiri dan bangga menjadi orang Sunda, ketimbang mendengarkan lagu yang justru membosankan dan bikin mengantuk.
Melanjutkan Tradisi Orang Tua
Di Kampung Pojok, tutur Asep memang terkenal sebagai tempat para perajin cobek dari dulu. Mereka mendapatkan batu bahan cobek dan ulekan dari dua tempat, yakni dari Cihalimun dan dari kaki Gunung Bendera yang tak jauh dari Kampung Pojok.
Untuk ukuran kampung di daera pegunungan Kabupaten Bandung Barat, menurut Asep, Pojok cukup strategis. Cukup dekat ke mana-mana.
“Didieu mah sagala deukeut, bade ka desa tinggal kadinya, kecamatan oge deukeut, kantor DPRD ge deukeut,” ujar Asep, saat dijumpai Rabu (8/6/2022).
Lelaki muda yang baru saja berumah tangga ini mengaku lebih tertarik melanjutkan tradisi yang diwarisi oleh orang tuanya ketimbang bekerja di pabrik. Ia menyayangkan pada rekan sejawatnya yang lebih tertarik bekerja di pabrik.
“Padahal kan heula arurang ge, dibesarkan oleh orang tua yang dulu bekerja sebagai perajin seperti ini,” tuturnya.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Mempersoalkan Produk Domestik Bruto sebagai Ukuran Kesejahteraan
Ajakan tidak Nyampah dari Rancaekek
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #30: Gunung Putri Cililin, Sekali Mendaki, Dua Tiga Puncak Terlewati
Berbeda dengan Asep, Solihin belum berumah tangga. Solihin mulai belajar memahat dan memilah-milah batu untuk dijadikan cobek sejak lulus dari kelas enam sekolah dasar. Sepengamatan Solihin, alat-alat memahat cobek telah mengalami perubahan dan berganti-ganti.
Asep menimpali, memang ada beberapa perajin yang sudah meninggalkan cara konvensional. Tetapi di Kampung Pojok, cara yang dipakai tetap memakai cara tradisi. Contohnya, dulu membuat coet dan mutu tidak memakai ukuran. Sekarang memakai ukuran.
“Kapungkur mah teu ngangge ukuran buleud jiga kieu, nanging ayeunamah tos aya ukuran na. Tapi da kapungkur mah henteu,” kata Asep sembari menunjukkan benda bulat yang terbentuk dari seng.
Solihin termasuk seorang pemuda yang update terhadap zaman. Ia mengaku bersama beberapa rekannya sudah membuat channel Yotube, namun karena sibuk bekerja dan bingung cara mempopulerkannya, sampai akhirnya channel Youtubenya tidak ia lanjutkan lagi.
Dua pemuda ini khawatir tradisi yang diwariskan oleh orang tua mereka sejak zaman baheula cepat punah karena sebagian terobsesi bekerja di pabrik. “Padahal kan ieu di zaman buhun arurangnya,” katanya, sembari fokus memahat.
Kehadiran teknologi dan informasi membuat suasana di Kampung Pojok berubah. Dulu sewaktu mereka kecil, sering disuruh oleh orang tua untuk belajar memahat dan memilah batu. Tujuan orang tua tidak lain membekali anaknya keahlian sebagai bekal menjalani kehidupan.
“Tah ieu teh bekel di kolot, karaos na dugi ka ayeuna,” sahut Asep.
“Ayeuna mah, barudak teh raresep maen game, da ka pungkur mah arurang diajarkeun ku kolot kana nu kieu (memahat cobek),” ujar Solihin, yang merasa miris dengan keadaan sekarang di mana banyak anak-anak yang kecanduan pada game.
Mereka juga menjelaskan bagaimana pembagian tugas antara para perajin dan para pedagang. “Beda, ada perajin eta aya bagean na, ada juga penjual eta oge aya bagean na,” terang mereka.
Sore itu, hujan gemercik sudah agak reda, Asep dan Solihin masih bekerja. Asep mengatakan, jika tidak musim hujan ia dan perajin lainnya bisa bekerja di Gunung Bendera. Mereka mulai bekerja di atas gunung biasa sejak pagi-pagi.
“Kedah na kadieu mah enjing-enjing atuh,” sahut Asep, “benten perajin anu di bumi jiga kieu, sareng anu di luhur di Gunung Bendera. Abi mah nuju didieu kumargi ayeuna nuju usum hujan, tapi biasana abi diluhur,” sambung Asep.
Setelah azan asar berkumandang, saya mengakhiri percakapan dengan bertukar nomor handphone. Solihin yang pertama kali memintanya. Lalu kami berpisah dan berpamitan.
Langit masih biru, udara sejuk, orang-orang sedang di depan rumah mereka sembari mengobrol dan tertawa, saat saya tersenyum mereka menyapa ramah. Suasana asri di pedesaan di tengah disrupsi zaman yang mengerikan, para pemuda masih tetap bertahan menjaga budaya dan tradisi mereka.