Ajakan tidak Nyampah dari Rancaekek
Beragam sampah tak berharga disulap menjadi aneka kerajinan dengan nilai jual tinggi. Awalnya, tidak mudah melakoninya di tengah cibiran warga.
Beragam sampah tak berharga disulap menjadi aneka kerajinan dengan nilai jual tinggi. Awalnya, tidak mudah melakoninya di tengah cibiran warga.
BandungBergerak.id - Pandi Mulyana (38 tahun), tanpa ragu mencuci popok bayi bekas sebagai bahan membuat beragam produk bernilai jual di galeri dan bengkel kerjanya di Kampung Babakan Asta, Desa Rancaekek Wetan, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/6/2022) lalu. Di tangan Pandi, popok sekali pakai yang berakhir di tempat sampah, menjadi aneka kerajinan nyeni.
Ia membersihkan satu per satu popok bekas yang dipungutnya dari beberapa tempat sampah di sekitar kampungnya. Di aliran kali kecil belakang rumahnya, ia nyaris setiap hari berkubang dengan popok-popok bayi bekas penuh kotoran. Selain popok bayi, ia juga membuat produk kerajinan dari pakaian bekas dan masker bekas.
Pandi lalu menunjukan cara pembuatan produk-produk dekoratif macam pot bunga, akuarium, dan semacam partisi berukuran 100 cm x 150 cm dengan dua atau 3 pot bunga di sisinya. Pertama ia membentuk lembaran popok yang telah dilumuri semen pada cetakan hingga kering dan mengeras.
Tekstur popok membuat detail produk buatannya jadi artistik. Terakhir ia mewarnai pot tersebut. Untuk menambah daya tarik, beberapa pot disatukan dalam satu partisi yang juga telah diwarnai dan dilukis. Dinding-dinding partisi ini juga terbuat dari lembaran-lembaran popok bekas dan masker.
Lingkungan sekitar di Kampung Babakan Asta kini berhias ornamen-ornamen artistik karya Pandi. Di beberapa sudut kampung berhias lukisan dari limbah popok, masker, dan pakaian. Pot-pot bunga berbahan limbah juga menambah asri perkampungan. Bahkan gardu serba guna di mulut kampung dindingnya dilapisi ornamen dari popok bekas.
Sampai saat ini Pandi telah mendaur ulang sekitar 1 ton sampah popok bayi bekas di desanya sejak pertama kali mulai di awal tahun 2019. Pria berjuluk diapers man ini mengolah sampah popok bayi jadi vas bunga, lukisan, replika bonsai, dan akuarium ikan dengan rentang harga antara 150.000-750.000 rupiah per buah.
Buah kerja keras Pandi bermula dari keprihatinannya saat jalan desa menuju kampungnya, yaitu Jalan Walini yang membelah sawah dan permukiman dipenuhi sampah-sampah yang dibuang begitu saja oleh warga di tahun 2018. Pihak pemerintahan setempat tak punya solusi dan memilih angkat tangan dengan dalih tak ada anggaran. Jalan Walini pun jadi TPS liar.
Pandi bersama kerabat dan ayahnya, Eman (60 tahun), akhirnya turun tangan. Hanya bertiga saja mereka memindahkan sampah-sampah yang menumpuk di pinggir ke tengah jalan. Tujuannya agar sampah terlindas kendaraan sampai kering, lalu mereka akan mengumpulkannya untuk dibakar.
Upaya ini menuai cibiran warga dan pemerintahan desa setempat. Sempat dianggap kurang waras. Pandi bergeming, ia lanjutkan terus upayanya agar sampah tak terlalu menumpuk di jalanan. Ide membuat kerajinan tercetus saat melihat begitu banyak sampah popok bayi yang tak bisa didaur ulang.
Setahun kemudian Pandi memulai upayanya untuk mendaur ulang sampah popok bayi dan masker, bahkan ia mendaur ulang kasur, karpet, dan pakaian yang semuanya dipungut dari pembuangan sampah, menjadi produk artistik yang memiliki nilai ekonomis.
“Saya tidak menjual produk-produk ini, karena kalau orientasi awalnya dagang, begitu dagangan kita sepi pasti kita berhenti dan stop produksi. Makanya saya tujuan awalnya untuk membangkitkan kesadaran warga terhadap lingkungannya,” kata Pandi.
Produk-produk kreatif ini dibagikan saja, siapa yang mau silakan ambil. Ada beberapa yang mau menukarnya dengan uang, tapi sekali lagi bukan itu tujuannya. Nah baru di tahun 2022 ini saja produk-produk seninya yang disimpan di Galeri Sampah mulai dibanderol harga.
“Saya masih punya mimpi, kampung kami punya galeri sampah dan sanggar seni, mungkin suatu saat nanti kampung ini bisa seperti Saung Angklung Udjo. Sekolah-sekolah atau siapa saja bisa datang untuk belajar terkait pelestarian lingkungan yang dibalut kesenian,” tutur Pandi.
Eksistensi pria “gila” Rancaekek bersama para koleganya dari sanggar seni di Babakan Asta berbuah pameran yang digelar di pinggir jalan desa bekas TPS-TPS liar yang dulu mengotori kampung. Tak jauh dari perlintasan kereta api sebidang dekat Stasiun Haur Pugur.
Sekitar 100-an karya seni menghiasi pinggiran jalan desa, membingkai pemandangan sawah dan perkampungan padat di belakangnya. Warga kampung dan para aktivis lingkungan hidup berdatangan untuk memberi dukungan dan apresisasi, anak-anak antusias mengikuti workshop pembuatan pot berbahan popok bayi bekas. Seperti kata Pandi, nilai komersial ada di urutan berikutnya, yang paling utama adalah membuka kesadaran masyarakat akan lingkungan sekitar mereka.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS