• Buku
  • RESENSI BUKU: Mempersoalkan Produk Domestik Bruto sebagai Ukuran Kesejahteraan

RESENSI BUKU: Mempersoalkan Produk Domestik Bruto sebagai Ukuran Kesejahteraan

Ketika pemerintah berupaya mengerek PDB agar naik tinggi, maka proses kerusakan lingkungan dan rendahnya taraf hidup rakyat akan semakin meningkat pula.

Buku Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi. Penulis: Lorenzo Fioramonti, Penerbit Marjin Kiri (2017). (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha12 Juni 2022


BandungBergerak.id"Produk Domestik Bruto, lo itu problematik!", begitu kira-kira perwujudan ekspresi Lorenzo Fioramonti sesaat setelah merampungkan kajiannya menyoal Produk Domestik Bruto, yang terbit pertama kali di Inggris pada tahun 2013 silam.

Kita tahu, dalam masyarakat kiwari, Produk Domestik Bruto (selanjutnya disingkat PDB) digunakan untuk mengukur kekayaan dan kemajuan suatu bangsa. Berbeda halnya dengan ilmu ekonomi klasik yang menyatakan hal ini dalam paragraf-paragraf panjang nan membosankan. Melalui PDB, satu angka tunggal di setiap tiga bulan menjadi patokan seberapa cepat atau lambat perekonomian di satu negara tumbuh.

PDB mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, biasanya setiap tiga bulan. Angka ini mengukur hasil produksi dari sudut pandang harga pasar dan bisa dilihat melalui rumus berikut ini: PDB = konsumsi + investasi + belanja pemerintah + ekspor - impor. Namun, di balik tampilan luarnya yang tampak netral, PDB adalah representasi dari sebuah model masyarakat tertentu, dan karenanya mempengaruhi bukan hanya proses ekonomi, melainkan juga proses politik dan budaya. PDB mengendalikan kebijakan makroekonomi pemerintah dan menentukan prioritas di bidang sosial.

Sebagai contoh, seturut temuan Fioramonti yang merujuk Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan Uni Eropa, jumlah dana yang dapat dicurahkan pemerintah untuk keperluan masyarakat seperti pendidikan dan dana kesehatan umumnya "terikat" pada pertumbuhan PDB. Hasilnya, begitu mengerikan: semakin kecil PDB, semakin kecil anggaran yang dikeluarkan di bidang sosial. Prinsip-prinsip moral seperti kesetaraan, keadilan sosial, dan pemerataan tunduk di bawah perhitungan PDB dan hanya diajukan oleh pembuat kebijakan apabila cocok dengan langgam pembangunan yang diarahkan berdasarkan PDB [Halaman 12].

PDB telah menjelma sebagai mantra yang mendominasi pemberitaan di media massa dan perdebatan publik ketika berbicara tentang cara mencapai kemakmuran. Kekuatan dan “kuasa” negara-negara di dunia bahkan diurutkan berdasarkan jumlah PDB yang dimiliki. Meminjam istilah Fioramonti, "tata kelola dunia" juga berupaya dikendalikan dengan dibentuknya kelompok G8 dan G20, yang merupakan gabungan negara dengan PDB 8 besar dan 20 besar dunia.

Di Amerika Serikat, misalnya. Biro Analisis Ekonomi yang bernaung di bawah Kementerian Perdagangan bertanggungjawab menghitung pendapatan nasional dan neraca produk. Sementara di hampir semua negara lainnya, estimasi pendapatan nasional biasanya dilansir oleh biro statistik masing-masing.

Perekonomian Indonesia sendiri, berdasarkan data yang dirilis BPS Mei 2022 (diakses 8 Juni 2022), besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2022 mencapai 4.513,0 triliun rupiah. Untuk mencapai visi Indonesia Emas di tahun 2045, pemerintah bahkan menargetkan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Dan untuk menggapai hal tersebut, PDB kemungkinan besar masih digunakan sebagai tolok ukur. Pemerintahan Jokowi berupaya menggenjot PDB Indonesia agar naik 10 kali lipat di tahun 2045.

Yang menarik, adalah asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi sama artinya dengan kemajuan dan naiknya PDB bakal menjadikan kehidupan lebih baik, masih saja menjadi jampi-jampi yang diimani oleh para birokrat, politisi, akademisi, ekonom, hingga masyarakat dominan. Padahal, realita kehidupan harian yang dijalani kadang tidak sesederhana itu. Pertumbuhan PDB yang melejit tinggi acap kali tidak berjalan beriringan dengan meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Sialnya, PDB —sebagaimana temuan Fioramonti— justru acap kali menjadi “angka yang maha kuasa” yang mengarahkan publik luas untuk menyembahnya dan menjalankan segala apa yang diinginkannya, walaupun hasilnya jauh panggang dari api. PDB menyederhanakan kompleksitas kehidupan sosial menjadi sekadar angka-angka, dan menekankan pada ekonomi pasar sembari mengabaikan kepentingan manusia, sosial, dan ekologi. PDB mengantarkan kita ke sebuah era melimpahnya kekayaan sembari menumbuhkan ketimpangan, pengurasan sumber daya alam, dan naiknya keresahan sosial (halaman. 15).

Buku “Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi” yang ditulis oleh Lorenzo Fioramonti, seorang profesor ekonomi-politik di University of Pretoria, ini berupaya melacak PDB hingga ke tulang sumsumnya.

Buku Produk Domestik Bruto ini berhasil membedah sejarah PDB, mengkaji bagaimana rumusnya dikembangkan, dan mengapa dia bisa menjadi begitu dominan. Lorenzo Fioramonti juga berupaya menunjukan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang eksploitatif di balik dukungan terhadap PDB, serta karakter masyarakat yang turut dihasilkannya.

Konon buku ini juga yang pertama memberi tinjauan komprehensif atas kritik-kritik terpenting terhadap PDB dan alternatif-alternatif yang dirumuskan para ahli, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil. Kritik yang menjadi katalis untuk memikirkan ulang masyarakat, serta mengurangi ketimpangan dan ketidakadilan yang telah dianggap normal sebagian orang.

Genealogi Produk Domestik Bruto

Penggunaan PDB sebagai alat ukur dan pedoman statistik ekonomi suatu negara pada awalnya disebut sebagai produk nasional bruto (PNB), yang diciptakan pada awal abad ke-20 semasa krisis ekonomi menghantam.

Kala itu, tahun 1920an, krisis ekonomi yang dikenal dengan sebutan Depresi Besar menghantam dunia. Nyaris setiap hari ada saja buruh yang dirumahkan, pasar modal was-was, dan seluruh industri berada di tubir kehancuran. Meski demikian, pemerintah pusat berusaha menguasai keadaan dengan berbagai cara. Tapi ketiadaan data yang sistematis mengenai keadaan perekonomian saat itu mengancam efektivitas kebijakan ekonomi.

Dalam konteks itulah, PNB menjadi alat ukur kinerja ekonomi yang paling populer, meski penggunaannya baru terbatas pada negara-negara maju dan sekutunya. Dan dunia, seturut perkataan Fioramonti, selebihnya masih merupakan kawasan yang perlu ditaklukkan oleh para ahli statistik dan ekonom [Halaman. 21-22].

Adalah seorang Ekonom asal Amerika-Rusia Simon Kuznets orang yang pertama, dan terutama, yang bertanggungjawab menyusun neraca nasional pertama AS. Dalam laporan yang dipaparkannya di hadapan Kongres pada 1934, Kuznets memberi definisi umum pertama dari PDB. Saya salin secara utuh di sini:

"Tahun demi tahun rakyat negeri ini, dengan topangan stok barang yang mereka miliki, membuat adanya banyak macam jasa layanan guna memuaskan kebutuhan mereka. Tiap-tiap jasa layanan tersebut melibatkan upaya dari pihak perorangan dan pembelanjaan dari beberapa porsi stok barang negeri ini. Sebagian layanan ini berwujud akhir sebagai komoditas, seperti batu bara, baja, pakaian, perabot, mobil; yang lain mengambil bentuk layanan langsung dan personal, seperti yang diberikan oleh dokter, pengacara, pegawai negeri, pembantu rumah tangga, dan sejenisnya. Jika seluruh komoditas yang dihasilkan serta seluruh layanan langsung yang diberikan sepanjang tahun yang bersangkutan dijumlahkan berdasarkan nilai pasar mereka, dan dari jumlah total itu kita kurangkan nilai dari sebagian stok barang negeri ini yang dihabiskan (baik berupa bahan mentah maupun barang modal) untuk menghasilkan jumlah ini, maka sisanya merupakan produk bersih perekonomian nasional selama tahun yang bersangkutan. Angka itu disebut pendapatan nasional yang dihasilkan, dan secara ringkas bisa didefinisikan sebagai bagian dari produk akhir perekonomian yang dihasilkan dari jerih payah perseorangan membentuk sebuah bangsa" [Halaman. 7-8].

Simon Kuznets sendiri bahkan sempat membantu pemerintahan Cina di bawah Chiang Kai-shek untuk membangun sebuah sistem neraca nasional berdasarkan pengalaman AS. Hal ini dimaksudkan menyelaraskan kebijakan ekonomi Cina dengan negara-negara kapitalis barat, dan menekan penyebaran komunisme di Asia Timur.

Yang menarik, di dalam buku ini dipaparkan penjelasan sederhana bahwa ketika hampir seluruh negara berkembang tidak memiliki kapasitas untuk mengukur aktivitas perekonomian pada skala nasional, negara-negara di blok sosialis menggunakan metrik yang berbeda. Sistem kalkulasi mereka saat itu didasarkan pada dua indikator utama: produk sosial bruto, yang mengukur total keluaran industri bruto, dan produk material neto, yakni produk sosial bruto dikurangi konsumsi material oleh industri selama proses produksi.

Merujuk Great Soviet Encyclopedia, masyarakat sosialis saat itu mampu memproduksi dan mendistribusikan produk sosial bruto sesuai dengan volume dan struktur kebutuhan sosial berdasarkan suatu kesatuan rencana ekonomi nasional, sementara di bawah kondisi-kondisi masyarakat kapitalis, PNB memiliki karakter kelas yang antagonistik, karena ia merupakan perwujudan fisik dari hubungan-hubungan produksi kapitalis.

Akan tetapi, hal tersebut nantinya melahirkan banyak kritikan. Dengan demikian, Uni Soviet memutuskan untuk meninggalkan metodologi yang mereka terapkan sebelumnya itu, dan mulai mengumpulkan statistik PNB resmi pada 1988. Namun tujuan yang dicanangkan dari langkah tersebut masih untuk melengkapi produk sosial bruto dan penghitungan pendapatan nasional berbasis Marxis-Leninis dengan sebuah ukuran baru yang akan memperluas dan memperdalam analisis reproduksi sosial, serta memfasilitasi perbandingan internasional.

Pada saat yang sama, bukan kebetulan bila pengadopsian PNB mengandung janji angka-angka keluaran ekonomi yang bisa dibantu untuk "didorong ke atas" karena sektor jasa meningkat pesat pada akhir 1980an. Selama masa transisi ini, Goskomstat (badan statistik yang dibentuk 1987) mengajak para spesialis Amerika, termasuk Badan Sensus dan Biro Analisis Ekonomi, untuk turut merombak operasi statistik mereka dan mempercanggih metode pengumpulan data. Mengingat kepakarannya di bidang ini, CIA berperan penting dalam memfasilitasi transfer pengetahuan tersebut, dan pada Mei 1989 Kantor Analisis Soviet CIA menggelar seminar yang berfokus pada persiapan transisi Uni Soviet menuju penghitungan PNB secara penuh.

Setelah beberapa bulan, pada 10 November, ribuan rakyat Jerman berkumpul di pintu penjagaan utama yang memisahkan Berlin Timur dan Barat. Selang beberapa jam, "dinding" antara kapitalisme dan komunisme runtuh. Dua tahun kemudian, Uni Soviet bubar dan penguasa baru dengan bersemangat menyambut perekonomian pasar.

Pada 1991, PNB digantikan oleh PDB, yang masih menjadi singkatan paling populer bagi penyebutan pendapatan nasional secara umum. Dari "nasional", produk bruto itu menjadi "domestik". Meskipun hal ini terlihat seperti sesuatu yang hanya menjadi urusan kaum spesialis, pergantian tersebut —menurut Fioramonti— sesungguhnya menandakan suatu perubahan politik yang penting.

Temuan Lorenzo Fioramonti menyebutkan bahwa dengan pengenalan produk "domestik" bruto, penghitungan ini betul-betul berubah. Evolusi konseptual ini (tentu saja mengubah statistik yang ada) pada umumnya punya andil dalam lonjakan ekonomi di banyak negara berkembang. Namun, adalah fakta bahwa keuntungan yang didapat lebih semu ketimbang kenyataannya. Keuntungan tersebut bisa dituangkan ke dalam angka-angka, dan mungkin juga dalam retorika para pemimpin politik, tetapi sulit dalam pengalaman sehari-hari warga kebanyakan.

Sebetulnya pada 1962, di puncak popularitas PDB, Simon Kuznet juga menyadari betapa seringnya indikator yang ia ciptakan ini disalahartikan dan dimanipulasi demi tujuan-tujuan politik. Dia menyatakan bahwa "kesejahteraan sebuah bangsa hampir tidak dapat disimpulkan dari sebuah ukuran pendapatan nasional" dan menekankan fakta bahwa pembuat kebijakan harus membedakan antara "kuantitas" pertumbuhan ekonomi dengan "kualitas" aktualnya untuk mengklarifikasi tipe pertumbuhan macam apa yang ingin mereka capai dan "untuk apa".

Sejak perumusan awal pendapatan nasional, Simon Kuznets sudah menegaskan bahwa produk nasional bruto yang ia ciptakan hanyalah sebuah pengukuran transaksi pasar dan bukan penilaian yang komprehensif atas produksi keseluruhan dari sebuah sistem ekonomi. "Apabila pasar dipahami secara luas sebagai tempat bertemunya pembeli dan penjual," begitu Fioramonti menyebutkan berdasar tulisan Kuznets pada akhir 1930an, maka produk bruto "tidak menyertakan hasil dari aktivitas lain yang mungkin menyediakan utilitas tetapi di luar mekanisme pasar".

Yang membuat dahi mengernyit, adalah temuan Fioramonti ini menyebutkan bahwa PDB sebetulnya menyembunyikan sebuah fakta mendasar. Fioramonti menggunakan istilah, "negara-negara utara sedang mencuri kekayaan sumber daya milik selatan, dan menyebutnya sebuah keuntungan bagi selatan."

Saya pikir, menarik untuk menyematkan pandangan Robert Kennedy di sini, yang merupakan salah satu politisi yang skeptis terhadap PDB, yang pada 1968 maju mencalonkan diri sebagai presiden dengan mengusung platform keadilan ekonomi, kesetaraan ras, solidaritas, dan demiliterisasi ekonomi (ia juga merupakan aktivis garang penentang perang Vietnam):

"Terlalu banyak, dan untuk waktu yang terlalu lama, kita sepertinya telah menyerahkan kecakapan pribadi dan nilai-nilai masyarakat kepada akumulasi material belaka... Produk Nasional Bruto menambahkan dalam hitungannya polusi udara dan iklan rokok, serta ambulans untuk membersihkan jalan raya dari sisa penyembelihan besar-besaran. PNB menambahkan dalam hitungannya gembok-gembok khusus untuk pintu-pintu kita dan penjara bagi orang-orang yang menjebolnya. PNB menambahkan dalam hitungannya hancurnya hutan kayu merah dan hilangnya keajaiban alam kita akibat penyebaran wilayah urban yang membabi buta. PNB menambahkan dalam hitungannya bom napalm dan rudal-rudal nuklir serta mobil lapis baja untuk polisi memerangi kerusuhan di kota-kota kita... Namun produk nasional bruto tidak menghitung kesehatan anak-anak kita, kualitas pendidikan mereka, atau suka rianya permainan mereka. PNB tidak mengikutsertakan keindahan puisi kita atau kekuatan rumah tangga kita, kecerdasan kita dalam debat publik atau integritas pejabat kita. PNB tidak mengukur akal kita atau keberanian kita, juga kearifan kita atau pengetahuan kita, juga rasa cinta kita atau pengabdian kita terhadap tanah air. Singkat kata, PNB menghitung semuanya, kecuali hal-hal yang membuat hidup kita [manusia] bernilai."

Baca Juga: Ajakan tidak Nyampah dari Rancaekek
Derita Tenaga Honorer Pemkot Bandung, Kerja Berat seperti ASN, Diupah Murah, Terancam Dihapus
AGENDA BANDUNG: Gebyar Monolog Teater Lakon, Ngibing Kalangenan, hingga Terbitnya Novel Mateo, 17 Juni 2022

Upaya Menggulingkan Produk Domestik Bruto

Sudah banyak ekonom yang mempertanyakan keabsahan PDB. Dalam temuan yang didapat Lorenzo Fioramonti, sebagian disebut fokus pada inkonsistensi internalnya, yang lain berupaya menunjukkan kelemahan sebagai ukuran kesejahteraan, sementara lainnya —yang lebih radikal— menolak gagasan tentang pertumbuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak sejalan dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas.

Upaya merevisi PDB sendiri pertama kali dilakukan oleh William Nordhaus dan James Tobin pada 1971. Kala itu mereka mengembangkan indeks yang disebut Measure of Economic Welfare (MEW). Dalam perhitungan mereka (keduanya merupakan ekonom dari Yale) mengklasifikasi pengeluaran sebagai konsumsi, investasi, atau di antaranya guna mencapai pembedaan yang lebih presisi antara barang jadi dan barang belum jadi.

Lebih lanjut, mereka memperhitungkan pandangan-pandangan yang menginginkan ukuran kesejahteraan seharusnya juga mengikutsertakan kontribusi waktu luang dan pekerjaan rumah tangga. Lebih jauh lagi, dengan mengakui bahwa "keburukan" yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi bisa jadi berdampak pada kesejahteraan, mereka memperkenalkan sejumlah parameter korektif "untuk beberapa cacat-cacat akibat urbanisasi".

Yang sangat penting, mereka tidak ragu untuk menghapus semua belanja pertahanan. Mereka melihat tidak ada dampak langsung belanja pertahanan terhadap kesejahteraan ekonomi. Menurut mereka, tidak ada negara (atau rumah tangga) waras yang mau membayar pertahanan nasional "untuk pertahanan itu sendiri". Apabila tidak ada perang atau ancaman perang, maka belanja pertahanan tidak perlu dan tidak ada seorang pun yang akan menjadi lebih buruk tanpa itu.

Kemudian, ada pula usaha terpadu pertama untuk mengintegrasikan data ekonomi makro, sosial, dan lingkungan ke dalam sebuah ukuran kesejahteraan manusia yang komprehensif dilakukan oleh pakar ekonomi ekologi Herman Daly dan teolog John Cobb pada akhir 1980an. Day dan Cobb menyebut pengganti PDB rancangan mereka ini sebagai Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW).

Indikator ini awalnya mencakup periode 1950-1986. Pada pertengahan 1990an, sebutannya diganti menjadi Genuine Progress Index (GPI), dengan berbagai pemutakhiran perhitungan hingga 2006. Di sini, dengan mengakui utang intelektual mereka pada Nordhaus dan Tobin, Daly dan Cobb menyatakan bahwa GPI merupakan aliran terkini dari layanan-layanan yang dinikmati manusia dari seluruh sumber yang relevan terhadap kesejahteraan ekonomi, bukan cuma keluaran dari komoditas-komoditas yang bisa dijual.

Selain GPI, sejumlah indikator lainnya juga pernah diajukan oleh berbagai wadah pemikiran, dana-dana investasi, LSM, dan yayasan-yayasan. Beberapa upaya untuk mengukur tidak hanya tingkat pendapatan melainkan juga distribusi dan pemanfaatannya telah dilakukan sepanjang akhir 1970an dan 1980an. Indikator-indikator sosial awal dalam hal ini termasuk Physical Quality of Life Index (PQLI) dan Human Suffering Index (HSI).

Diterbitkan untuk Overseas Development Council pada pertengahan 1970an, PQLI memadukan tiga indikator dasar kesejahteraan: angka kematian bayi, angka harapan hidup bayi usia satu tahun, dan tingkat melek huruf. Sementara upaya yang lebih ambisius untuk mengukur kesejahteraan namun kurang mendapat dukungan adalah Human Suffering Index. Sejak diterbitkan oleh Population Crisis Committee pada 1987, HSI menggunakan sepuluh indikator yang agak terpencar-pencar untuk mengukur kesejahteraan sosial, termasuk suplai kalori per kapita, akses air minum, telepon per kapita, kebebasan politik, dan hak-hak sipil, inflasi, dan PDB.

Ada pula upaya yang dilakukan secara khusus oleh koalisi masyarakat sipil Social Watch, yang menerbitkan Basic Capabilities Index (BCI) sejak 2000 mencakup lebih dari 170 negara. Pendekatan Sosial Watch menolak PDB sebagai ukuran pembangunan sosial, dan alih-alih mengukur pendapatan, pendekatan ini melihat "berbagai aspek yang berbeda dari kondisi aktual masyarakat dan lebih besar atau lebih sedikitnya peluang mereka untuk tercukupi hak-hak asasinya.

Sebuah usaha menarik untuk memadukan ukuran kesejahteraan dengan dampak lingkungan muncul dari Happy Planet Index yang dikembangkan oleh New Economic Foundation dari Inggris pada 2006 dan direvisi pada 2009 dengan cakupan 143 negara. Yang fenomenal, adalah upaya Kerajaan Bhutan yang memperkenalkan konsep "kebahagiaan nasional bruto" (KNB) pada 1972.

Namun usaha paling tersohor untuk menolak hegemoni PDB dalam neraca nasional adalah yang dilakukan oleh Program Pembangunan PBB (UNDP). Sejak 1990, memperkenalkan Human Development Index atau Index Pembangunan Manusia (IPM). Pemikiran yang mendasari IPM adalah bahwa rakyat "merupakan kekayaan yang sebenar-benarnya dari sebuah negara" dan bahwa tujuan dasar pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menikmati hidup panjang, sehat, dan berdaya cipta.

Dari keseluruhan, ada satu hal yang layak digarisbawahi dari aneka macam upaya untuk menggantikan PDB sebagai indikator utama masyarakat tersebut. Adalah Fioramonti sendiri yang nampak pesimistis dengan temuannya, sebagaimana terekam dalam kalimatnya berikut ini: "bahwa memikirkan, merekomendasikan, dan mengimplementasikan indikator-indikator baru itu satu hal; dan adalah hal yang sama sekali berbeda untuk mengatasi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang tidak rela PDB diganti."

Hal ini diafirmasi Fioramonti berikutnya. Dalam satu tarikan nafas, dirinya menyebut bahwa daya tarik pertumbuhan PDB dan iming-imingnya mungkin terlalu kuat bagi kebanyakan orang untuk bisa berhenti sejenak dan merenung. Bagi media, khususnya, PDB melayani impian mereka untuk memadukan unsur kepastian empiris dan kewenangan ahli dengan alur cerita yang siap sedia. Apalagi, PDB mendukung agenda perindustrian yang subur berkembang di atas aneka kebijakan yang makin dikuatkannya [Halaman101].

Untuk menanggapi kecenderungan pesimistis yang menghinggapi Fioramonti, saya pikir menarik mengutip pidato pembukaan Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, dalam sebuah konferensi bertajuk "Happines and Well-being: Defining a New Economic Paradigm", yang diadakan perwakilan Bhutan di markas besar PBB di New York pada April 2012:

"Produk Domestik Bruto (PDB) telah lama menjadi galah yang dengannya perekonomian dan (kapabilitas) para politisi diukur. Namun PDB gagal memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan dari apa yang disebut kemajuan... Kita butuh paradigma ekonomi baru yang menyadari keseimbangan tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan merupakan tiga hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Ketiganya secara bersama-sama memberi makan pada kebahagiaan domestik bruto" (Halaman 60).

Degrowth Bukan Tawaran Alternatif

Berkali-kali Lorenzo Fioramonti menyebut bahwa PDB membuat negara Dunia Selatan kehilangan sumber daya karena dicuri oleh negara Dunia Utara. Perspektif utara-selatan, maju-berkembang, dan pusat-pinggiran begitu mendominasi karya dari Lorenzo Fioramonti.

Buku ini agak kurang menjelaskan posisi antara kelas sosial yang saling berhadapan. Selain itu, penjelasan mengenai hubungan antara struktur dan agensi agaknya nampak kurang —atau memang tidak berminat— dielaborasi. Dalam hal ini, misalnya. Pertumbuhan PDB yang melonjak tinggi di berbagai negara-negara maju justru cenderung melahirkan gelombang politik populisme kanan dan fasis baru. Sebuah kondisi yang justru memberi ilusi rakyat kebanyakan. Sementara di balik fenomena tersebut, ada satu kategori kelas sosial yang meraup keuntungan, dan akan mempertahankan kenyamanan posisinya tersebut.

Selain itu, adalah fakta yang bisa dibilang sederhana bahwa gema tentang cara hidup konsumtif dalam lingkaran pasar bebas masih terus-terusan dikumandangkan agar roda ekonomi terus berputar dan hantu-hantu resesi untuk sementara dapat dipinggirkan. Artinya, pengulangan terkait ini masih terjadi, seperti temuan Fioramonti yang menukil reaksi pertama George W. Bush pascaserangan 11 September 2011, yang mendorong rakyatnya untuk "naik pesawat... Jalankan bisnis Amerika..!" atau juga Tony Blair yang mendorong bangsanya "untuk bepergian dan berbelanja" agar perekonomian kembali seperti sediakala.

Implikasi dari proses itu, tentu saja ancaman dan kerusakan terhadap ekosistem penopang kehidupan serta meningkatnya kesengsaraan kelas pekerja. Artinya ketika pemerintah berupaya mengerek PDB agar naik tinggi, maka proses kerusakan lingkungan dan rendahnya taraf hidup rakyat akan semakin meningkat pula.

Namun terdapat secercah harapan di bagian terakhir buku Lorenzo Fioramonti. Dia menjelaskan tentang upaya perubahan yang di dorong dari bawah (trickle up) seperti dengan penciptaan mata uang lokal di Argentina, khususnya ketika gerakan cacerolazo merebut perhatian publik untuk memangkas PDB dan memicu lahirnya gagasan tentang degrowth. Gagasan degrowth ini menolak PDB secara keseluruhan, dan menawarkan proses ekonomi dengan menurunkan skala produksi dan konsumsi demi meningkatnya kesejahteraan manusia dan kondisi ekosistem yang semakin membaik (halaman. 169).

Yang menjadi soal lanjutan, tawaran alternatif yang sementara dijelaskan Lorenzo Fioramonti ini tampak masih berkutat dalam kerangka moral —yang umumnya dilakukan oleh seorang motivator atau pengkhotbah, dan masih belum keluar dari cengkeraman relasi upahan. Kiranya itu yang menjadi tantangan ke depan, selain mencari alternatif terhadap PDB, adalah tidak kalah penting menemukan bentuk formasi sosial yang bisa menyelamatkan umat manusia dari krisis yang memporak-porandakan dunia.

Informasi Buku

Judul: Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi

Penulis: Lorenzo Fioramonti

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: Cetakan Pertama, November 2017

Tebal: i-xii + 220 halaman

ISBN: 978-979-1260-73-2

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//