• Opini
  • Legalitas Onlyfans di Mata Hukum Indonesia

Legalitas Onlyfans di Mata Hukum Indonesia

Onlyfans pertama kali diluncurkan 2016 dengan pusatnya di kota London, Britania Raya. Para pengguna bisa membayar kepada kreator konten untuk berlangganan.

Rizky Prihandoko

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Ilustrasi penggunaan gawai, Senin (13/12/2021). Perkembangan teknologi digital memunculkan profesi kreator konten. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Juni 2022


BandungBergerak.idKeberadaan internet mempermudah para kreator konten untuk mengunggah dan membagikan karyanya, baik berupa seni lukis, musik, foto cosplay, dan lain sebagainya di platform yang telah tersedia. Agar kreator konten semakin bersemangat untuk berkarya, penggemar memberikan apresiasi dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk uang melalui donasi hingga membeli merchandise yang disediakan para kreator konten.

Adanya konsep dukungan tersebut melahirkan sebuah konsep baru di dunia internet dengan nama digital patronage, yaitu sebuah pertukaran yang menimbulkan suatu hubungan timbal-balik yang sama-sama menguntungkan antara kreator konten dengan penggemarnya, dimana kreator konten akan mendapatkan dan menghasilkan uang sebagai bentuk apresiasi dari para penggemarnya, sedangkan para penggemar bisa menikmati karyanya.

Patreon, Karyakarsa, dan Trakteer merupakan beberapa contoh dari platform dengan konsep digital patronage, namun yang saat ini sedang naik daun dan tengah ramai diperbincangkan adalah Onlyfans. Hal ini dikarenakan banyak kreator konten dari Onlyfans yang menyediakan dan memproduksi konten bermuatan pornografi, sehingga menyebabkan legalitasnya di mata hukum Indonesia dipertanyakan. Tak hanya itu, hal tersebut juga dipicu oleh adanya seorang konten kreator Onlyfans bernama Dea yang ditangkap polisi akibat menyediakan dan memproduksi konten bermuatan pornografi.

Onlyfans pertama kali diluncurkan pada tahun 2016 dengan pusatnya di kota London, Britania Raya. Para pengguna bisa membayarkan sejumlah uang kepada kreator konten untuk berlangganan dan menikmati berbagai macam konten yang disediakan. Setiap kreator konten mematok harga yang berbeda untuk konten-konten yang disajikan. Untuk pembayarannya sendiri menggunakan kartu kredit atau paypal.

Dengan konsep tersebut memungkinkan kreator konten meraup penghasilan mulai dari jutaan hingga miliaran rupiah. Konsep ini sama dengan yang digunakan oleh Patreon, KaryaKarsa, dan Trakteer. Namun, selain kurang banyak diketahui orang, ketiga platform tersebut lebih banyak menampilkan berbagai macam karya berbentuk musik, seni lukis, gambar, cerita, komik, hingga foto cosplay. Hal ini berbeda dengan Onlyfans yang menampilkan lebih banyak konten bernuansa pornografi, baik berupa gambar maupun video.

Tubuh perempuan sering kali masih dikomersialisasi untuk dijadikan sebuah komoditas yang dapat diperdagangkan untuk mendapat keuntungan. Tak hanya itu, tubuh perempuan juga juga dijadikan sarana untuk strategi marketing. Pria merupakan target utama pasaran komoditas tersebut. Walaupun, tidak menutup kemungkinan wanita juga dapat menjadi penikmat komoditas tersebut. Adapun alasan untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai sebuah komoditas karena faktor keuangan dan menjalankan hobi. Menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas, bertentangan dengan adat ketimuran yang dianut di Indonesia. Hal ini dianggap melanggar norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, yaitu norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.

Baca Juga: Bioplastik, Pengganti Plastik atau Pencemar Baru?
PAYUNG HITAM #2: Bunga dan Tembok di Dago Elos
CERITA DARI BANDUNG BARAT #2 : Baju Pemberian Eril untuk Perintis Kebaikan di Batujajar

Pelajaran dari Kasus Onlyfans

Dari kasus Dea yang sedang ramai diperbincangkan, ada beberapa hal yang dapat dipelajari. Tubuh perempuan digunakan sebagai sebuah komoditas yang dikomersialisasikan agar dapat dinikmati pengguna Onlyfans. Kemudian, memperjualbelikan gambar dan video bernuansa pornografi sudah pasti melanggar norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, seperti norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Tak hanya itu, tindakannya telah melanggar Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Adapun pasal-pasal yang ia langgar meliputi Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak”.

Pasal 8 yang berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pronografi”. Pasal 10 yang berbunyi “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”.

Dari ketiga pasal tersebut dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh membuat konten pornografi yang secara eksplisit memuat hal-hal tersebut di atas, di mana ia menjadi model atas persetujuannya dan ditampilkan di muka umum. Yang dimaksud dengan “di muka umum” tersebut adalah di internet.

Adapun sanksi yang dapat dijatuhkan juga diatur di dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 29 menjelaskan bahwa apabila seseorang terbukti melanggar Pasal 4 ayat (1), maka ia dijatuhi pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau dijatuhi pidana denda paling sedikit 250.000.000,00 rupiah dan paling banyak 6.000.000.000,00 rupiah. Pasal 34 menjelaskan bahwa apabila seseorang terbukti melanggar Pasal 8, maka ia dijatuhi pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau dijatuhi pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 rupiah. Pasal 36 menjelaskan bahwa apabila seseorang terbukti melanggar Pasal 10, maka ia dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau dijatuhi pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 rupiah.

Banyak netizen yang masih membela Dea karena perbuatannya tersebut dilakukan disebuah platform yang “legal”. Memang, Onlyfans merupakan sebuah platform legal untuk memperjualbelikan konten pornografi karena syarat dan ketentuannya tidak mengatur mengenai hal tersebut. Legalnya konten pornografi di Onlyfans bukan berarti hal tersebut legal di mata hukum Indonesia. Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, seseorang tidak dapat serta merta memperjualbelikan atau memproduksi konten pornografi dengan bebas.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa Onlyfans tidak memiliki legalitas di mata hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya hukum yang mengatur secara khusus mengenai pornorafi, yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Seseorang tidak dapat memproduksi dan menyebarluaskan konten bernuansa pornografi. Sekalipun, konten tersebut diproduksi dan disebarluaskan di platform yang legal untuk memproduksi dan menyebarluaskan konten pornografi. Apabila dilanggar, maka akan dikenakan sanksi sesuai yang diatur di dalam undang-undang tersebut.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//