PAYUNG HITAM #2: Bunga dan Tembok di Dago Elos
Membicarakan apa yang terjadi di Dago Elos berarti membicarakan juga apa yang terjadi di Anyer Dalam, Tamansari, Padalarang, Kulonprogo, Kendeng, dan Wadas.
Aoelia M.
Penulis lepas dan aktivis perempuan, bergiat dalam gerakan literasi dan pemberdayaan perempuan
16 Juni 2022
BandungBergerak.id - “Lawan kita, teh, pemerintah atau nonpemerintah?”
Sebuah pertanyaan meletup dari seorang emak-emak di antara jejeran warga yang berkumpul di Gedung Serbaguna RW 002 Dago Elos. Jumat malam itu warga Dago Elos mendengarkan pembacaan putusan peninjauan kembali (untuk selanjutnya disebut PK) atas kasus sengketa tanah mereka dengan keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha. Tidak hanya warga Dago Elos, kawan-kawan dari berbagai komunitas dan organisasi pun datang untuk memberikan dukungan solidaritas.
Warga Dago Elos sudah menempuh perjalanan panjang sejak pertama kali menerima gugatan dari keluarga Muller pada tahun 2016 lalu. Kemenangan warga mulai dari tingkat banding hingga tingkat kasasi pada tahun 2019 diperoleh dari pertimbangan bahwa hukum barat atas Verponding yang menjadi dasar gugatan dinyatakan sudah tidak berlaku, dan bahwa warga Dago Elos sudah menduduki dan mengolah lahan tersebut dalam rentang waktu yang dipersyaratkan Undang-Undang Pokok Agraria.
Menurut kuasa hukum warga Dago Elos, warga juga sudah mengajukan sertifikat kepada BPN meskipun hingga kini yang berwenang belum memberi kejelasan mengenai kelanjutan prosesnya.
Warga kembali harus berjuang di pengadilan akibat PK yang diajukan pihak Muller. Sayangnya, dalam upaya final dari sengketa lahan ini, putusan Mahkamah Agung berbanding terbalik dengan putusan banding maupun putusan kasasi. Majelis Hakim menganggap pihak Muller sudah mengajukan sertifikat terlebih dahulu dan melanggengkan 6,9 hektare lahan Dago Elos kepada mereka.
“Ibu, yang menggugat kita, teh, Muller cs. Kita sebetulnya sudah menang sampai tingkat kasasi, tapi kemudian pemerintah memenangkan Muller cs lewat PK. Atuh, mah, kalo umpamanya si pemerintah ke Muller, tuh kayak, ‘Nih, kamu mau lahan? Sok! Kita kasi sekalian sama alat-alatnya,” jelas seorang warga yang tergabung dalam Timpokmas—tim bentukan warga yang bertugas untuk mengurus sengketa ini.
Si emak menyahut: “Ooh, jadi lawan kita, teh, dua-duanya, ya?”
Baca Juga: PAYUNG HITAM #1: Suara-suara Baru di Pekan Penghilangan Paksa
Bersama Warga Dago Elos Mempertahankan Ruang Hidup
Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan
Bunga yang dirontokkan di Bumi Kami Sendiri
Lahan Dago Elos yang terenggut bukan hanya terdiri dari rumah warga. Di dalamnya juga terdapat sekolah, rumah ibadah, terminal, kantor pos, dan beragam fasilitas lain yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup. Warga sudah menduduki lahan ini sejak kolonialisme Belanda lengser. Mereka telah mengelola lahan ini, beranak-pinak, dan membangun keluarga serta kehidupan mereka disini.
Bagaimana mungkin pendidikan dari anak-anak mereka, ruang-ruang yang selama ini mereka pergunakan untuk hidup bisa dikangkangi begitu saja oleh kepentingan pemodal?
Sudah termaktub di dalam undang-undang bahwa negara wajib memprioritaskan kepentingan warga yang telah mengelola dan menguasai secara fisik lahan yang disengketakan. Tercantum dalam undang-undang bahwa negara wajib untuk memenuhi hak-hak atas kehidupan warga.
Warga Dago Elos, bersama dengan kawan-kawan dari solidaritas aliansi manapun, menolak untuk meninggalkan atau memperjualbelikan tanah mereka. Warga Dago Elos, bersama dengan setiap kami, telah menata, mengurus, mengelola, dan mengikuti setiap aturan yang dikeluarkan pemerintah, dan kami menolak untuk dikhianati dengan cara-cara keji.
“Pokoknya, kami memperjuangkan hidup dan mati di atas tanah ini, SABUBUKNA!” pekik seorang warga di tengah pertemuan malam itu.
Putusan luar biasa atas 6,9 hektare lahan Dago Elos yang dinyatakan Majelis Hakim kini sudah resmi menjadi Verponding dengan luas lahan terbesar yang pernah divalidasi oleh pengadilan tinggi. Berlakunya keputusan tersebut tidak hanya mengancam kehidupan warga Dago Elos, melainkan juga seluruh warga Indonesia yang tanahnya sedang bersengketa.
Bagaimana nasib lahan-lahan yang luasnya lebih kecil daripada lahan Dago Elos, bila lahan Dago Elos yang sebesar itu saja berhasil dikuasai oleh pemodal?
Bila kita membicarakan apa yang terjadi di Dago Elos, kita juga membicarakan Anyer Dalam, kita juga membicarakan Padalarang, kita juga membicarakan lahan Kiara Artha Park, kita juga membicarakan satu rumah terakhir yang teguh berdiri menantang pembangunan apartemen Tamansari.
Tidak hanya itu, kita juga membicarakan Kulonprogo. Kita membicarakan Kendeng. Kita membicarakan tanah Wadas. Kita membicarakan Pulau Sangihe.
Namun benar belaka sajak Widji Thukul. Setiap tirani adalah tembok-tembok sekeras besi, dan setiap warga yang kalah dalam persengketaan adalah kami. Setiap kami adalah biji-biji, yang kemudian akan tumbuh menjadi bunga pada tembok itu, dan suatu saat nanti tembok itu akan hancur.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung