PAYUNG HITAM #1: Suara-suara Baru di Pekan Penghilangan Paksa
Saya berharap, akan terus muncul wajah-wajah baru yang ikut memperjuangkan keadilan bagi mereka yang haknya tercederai oleh negara.
Aoelia M.
Penulis lepas dan aktivis perempuan, bergiat dalam gerakan literasi dan pemberdayaan perempuan
9 Juni 2022
BandungBergerak.id - Gedung Sate pada Kamis sore di akhir bulan Mei 2022 lalu ramai dikunjungi para wisatawan. Tamannya dibuka, air mancurnya dibersihkan, banner gubernur dan wakil gubernur diposisikan di sisi-sisi taman agar orang-orang bisa berswafoto—memberi sebuah validasi bahwa mereka pernah menjejaki Kota Kembang. Para youtuber pemula pun giat membuat konten wisata di depan kantor gubernur Jawa Barat ini demi mengejar viewers.
Namun menjelang pukul lima, kerumunan wisatawan mulai bercampur-baur dengan sosok-sosok orang berbaju hitam yang membawa sejumlah payung hitam, poster-poster, spanduk, dan megafon. Mereka berbaris berjajar di depan taman dan memayungi satu sama lain dalam diam. Dalam diam, mereka menuntut keadilan.
Orang-orang berbaju hitam ini bukan orang-orang yang asing. Menurut hitungan kolektif, orang-orang ini sudah hadir di depan Gedung Sate setiap hari Kamis sore selama 381 kali. Dalam 381 aksi tersebut, tuntutan mereka selalu sama: penuntasan beragam kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat di masa lalu.
Tagar #MeiBerkabung menjadikan bulan Mei sebagai anotasi akan pelanggaran HAM berat bagi sejarah negara Indonesia. Yang diperingati sepanjang bulan Mei itu bukan hanya sejumlah tragedi yang terjadi pada masa Orde Baru, tapi juga pembantaian-pembantaian yang terjadi di tanah Aceh, pembunuhan Marsinah—seorang buruh perempuan yang melawan, dan pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998.
Pada hari-hari terakhir di bulan Mei, dunia internasional juga mengingat sejumlah orang yang dihilangkan secara paksa oleh negara. Jumlah korban penghilangan paksa di Indonesia, menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), lebih dari 53 ribu orang dari delapan kasus yang berbeda.
Saya ingat, di sore itu seorang teman yang merupakan masyarakat awam—yang tidak tahu-menahu perihal tragedi-tragedi berdarah yang menjadi tuntutan Aksi Kamisan—bertanya kepada saya: “Menurut kau, apakah aksi seperti ini sanggup mendorong pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat?”
Kemudian kami mereka-reka, apakah orasi-orasi dan aksi diam dari barikade manusia yang berjejer di depan Gedung Sate bisa mencapai manusia-manusia yang berada di dalam ruangan kantor pemerintah yang dingin dan enak untuk selonjoran tanpa terdistraksi bising suara megafon itu? Jawabannya tentu saja tidak.
Tuntutan, baik dari organisasi nasional maupun internasional, pun belum sanggup mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa (ICPAPED)—yang kabarnya masih mangkrak sejak 2013. Alasan-alasan terus digulirkan dan para pejabat yang memegang kepentingan ogah untuk menandatangani rancangan turunan dari ratifikasi tersebut. Tiga belas aktivis yang hilang pada 1997-1998 pun masih belum jelas mau dikemanakan nasibnya. (Ya, gimana mau jelas, pemerintah saja tidak kunjung mengadakan pengadilan ad hoc dan membentuk tim pencarian?)
Baca Juga: PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa di Bandung Diwarnai Pasar Gratis
Kasus Penghilangan Paksa Menggema dalam Fiksi
Orang-orang Baru
Setelah reka-rekaan menyebalkan itu, saya jadi diam. Orang-orang yang berorasi ini memiliki kedukaan yang besar. Sebagian dari mereka adalah para orangtua yang kehilangan anaknya, sebagian lagi adalah para eks aktivis yang kawannya kena tembak mati, dan sebagian lainnya adalah orang-orang yang haknya dicederai oleh negara.
Saya kembali memperhatikan mereka satu per satu hingga saya menyadari sesuatu yang lain. Ada beberapa orang baru. Saya ras,a saya tidak pernah melihat wajah-wajah itu sebelumnya. Wajah-wajah itu muda dan beragam. Saya yakin mereka belum pernah ikut aksi ini sebelumnya. Rasa penasaran mendorong saya untuk bertanya kepada mereka, dan kecurigaan saya terbukti.
Wajah-wajah ini berasal dari berbagai lapisan yang berbeda. Mereka kebanyakan berasal dari mahasiswa dari ragam universitas swasta yang baru saya dengar aktif dalam berkegiatan di luar kampus. Ada juga yang berasal dari komunitas-komunitas kecil, lembaga pers, aktivis-aktivis perempuan, dan aktivis-aktivis Papua.
Mungkin suara mereka tidak sanggup meraih orang-orang yang sedang selonjoran di dalam Gedung Sate. Namun bagi saya, hadirnya ragam baru dalam aksi ini adalah suatu dampak. Sebuah kesadaran. Seharusnya, memang sudah seharusnya, dalam penegakan HAM, opini-opini serta narasi yang dibangun bersifat heterogen. Namanya juga hak asasi manusia. Manusia ndak cuma white cishetmale saja, toh?
Saya berharap kesadaran ini akan terus menyebar dan orang-orang bisa menaruh simpati yang sama besarnya pada semua anak-anak yang hilang. Baik mereka yang hilang di Sungai Aare, maupun mereka yang dihilangkan negara. Saya berharap, akan terus muncul wajah-wajah baru yang ikut memperjuangkan keadilan bagi mereka yang haknya tercederai oleh negara.
Di sisi jalan yang lain, saya melihat kawan saya yang awam tadi akhirnya ikut berdiri memegang payung bersama kawan-kawan Aksi Kamisan.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung