• HAM
  • Peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa di Bandung Diwarnai Pasar Gratis

Peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa di Bandung Diwarnai Pasar Gratis

Peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa perlu diketahui masyarakat luas. Masyarakatlah sebagai pengawal pelanggaran-pelanggaran HAM.

Pegiat Aksi Kamisan Bandung berorasi tentang rentetan kasus penghilangan paksa di Indonesia pada helatan peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa Sedunia di Monumen Perjuangan, Bandung, Senin (30/8/2021). (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki31 Agustus 2021


BandungBergerak.idHari Korban Penghilangan Paksa Sedunia yang jatuh setiap 30 Agustus diperingati warga Bandung, Senin (30/8/2021) sore. Peringatan dilakukan di Monumen Perjuangan, Jalan Dipatiukur, dengan orasi dan pembacaan puisi.

Aksi yang berlangsung di tengah pagebluk Covid-19 yang tak kunjung usai itu digerakkan para anak muda pegiat Aksi Kamisan Bandung. Mereka mengusung payung-payung hitam khas Kamisan yang bertuliskan sejumlah kasus kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia.

Kasus-kasus tersebut mulai dari tragedi 1965, Semanggi, kematian Munir hingga yang terbaru penambakan pendeta Yeremia di Papua pada 2020 lalu. Kegiatan ini terbuka untuk masyarakat umum yang punya perhatian yang sama, khususnya para pemuda Kota Bandung.

Kegiatan para aktivis Kamisan Bandung biasanya berlangsung di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro. Namun kali ini mereka memilih Monumen Perjuangan yang dianggap sebagai ruang publik yang diharapkan bisa mendapat perhatian lebih luas lagi dari masyarakat Bandung.

“(Kami) sengaja ngadain di sini (Monumen Perjuangan) supaya atensinya lebih luas, ini juga sengaja mendadak. Sekalian persiapan melihat kondisi nanti untuk rangkaian September Hitam, yang pertama (pembuka) nanti tanggal 2,” ujar salah seorang pegiat kamisan, Feru Jaya, ketika ditemui di lokasi.

Selain orasi dan pembacaan puisi, para peserta kegiatan juga mengusung sejumlah baliho bertuliskan berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Mereka menunjukkan perangkat aksi kepada para pengendara yang melintas.

Tidak hanya itu, ada pula kegiatan ekstra berupa lapakan dari komunitas kolektif Pasar Gratis yang menyediakan berbagai barang sandang dan sayuran untuk masyarakat umum atau warga terdampak pagebluk. Di sana mereka juga membuka pula lapak kreasi menggambar untuk orang tua dan anak-anak yang ramai disambangi oleh warga sekitar.

Lewat kegiatan ekstra itu kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM diharapkan menjadi isu populer di tengah masyarakat.

Para pegiat kamisan kini sedang menyiapkan agenda terkait HAM lainnya pada Semptember Hitam mendatang. Kali ini lokasi yang mereka pilih depan Gedung Sate.

“Rencananya nanti mau diadain di sana (halaman Gedung Sate), cuma perlu lihat kondisi dulu soalnya kadang (ruas) jalannya suka ditutup. Rangkaiannya sepanjang September,” tutur pegiat Kamisan Bandung lainnya, Fayadh.

Penghilangan paksa merupakan teror yang ditebarkan sejak rezim militeristik Order Baru. Sederet kasus penghilangan paksa membentang dan tak terselesaikan hingga kini, mulai penumpasan bromocorah tanpa pengadilan yang marak tahun 1980-an dengan korban puluhan orang tak ditemukan; peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, dan masih banyak peristiwa lainnya.

Kasus penghilangan paksa juga masih terjadi pada era reformasi. Salah satunya peristiwa penghilangan paksa di Wasior, Papua, pada 2001, yang mencatatkan 5 orang korban hilang. Para pegiat Kamisan terus mendorong pihak pemerintah agar segera menyelesaikan berbagai kasus tersebut.

Menurut kontras.org yang diakses Selasa (31/8/2021), peristiwa Wasior bermula dari terbunuhnya 5 anggota Brimob dan 1 orang sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001. Sejumlah besar pasukan polisi diturunkan untuk mencari pelaku. Namun pengejaran pelaku oleh aparat ini disertai tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah.

Aktivis Amnesty Internasional, Zaky Yamani, menilai bahwa Hari Korban Penghilangan Paksa Sedunia sangat penting untuk diperingati. Tijuannya untuk menjaga asa kemanusiaan masyarakat dan sebagai momentum untuk menegur pemerintah agar lebih serius dalam menangani sederet kasus HAM yang tak kunjung usai.

“Kita semua tahu memang masalah-masalah (HAM) ini gak pernah selesai. Hubungannya dengan gimana kondisi kebebasan berpendapat kita hari ini,” ungkap Zaky Yamani, pada diskusi virtual di akun instagram Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Senin (30/8/2021).

Baca Juga: Transpuan, Penyandang Disabilitas, dan Persma Berbicara: Jurnalis Mendengarkan
Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
Bintang Jasa Utama untuk Eurico Guterres Melukai Penegakan HAM di Indonesia

Aksi peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa Sedunia menyerukan penuntasan kasus penghilangan paksa dalam negeri di sekitar lampu merah  Jalan Dipenogoro menuju Jembatan Layang Pasupati, Bandung, Senin (30/8/2021). (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)
Aksi peringatan Hari Korban Penghilangan Paksa Sedunia menyerukan penuntasan kasus penghilangan paksa dalam negeri di sekitar lampu merah Jalan Dipenogoro menuju Jembatan Layang Pasupati, Bandung, Senin (30/8/2021). (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Sejarah Hari Korban Penghilangan Paksa Sedunia

Pada tahun 2010, Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan keprihatinannya terhadap isu-isu penghilangan paksa, baik penculikan, pembunuhan, maupun berbagai konspirasi di baliknya. Tak hanya itu, PBB juga menyatakan kekhawatirannya terhadap isu kekerasan seksual di dunia yang meningkat setiap tahunnya.

Dalam resolusi 64/209, PBB merumuskan konvensi internasional tentang perlindungan semua orang, khususnya para keluarga korban penghilangan paksa. Konvensi ini diketahui bernama International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance atau Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Salah satu peristwa yang mendorong lahirnya konvensi tersebut adalah eksekusi dan menghilangkan paksa sejumlah aktivis pemerintah Iran pada 1988. Mereka dianggap sebagai pembangkang politik. Selama sekitar satu dekade, tragedi itu telah menjadi krisis terabaikan oleh masyarakat dunia. Kasus lainnya, peristwa Kosovo pada 1999 yang mencatatkan sebanyak 6.000 orang menghilang dan sebagian besar tak lagi ditemukan.

Dua peristiwa memilukan itu menjadi fragmen kejahatan HAM yang sangat disoroti Amnesty Internasional. Hal itu kemudian mendorong PBB untuk menetapkan tanggal 30 Agustus sebagai Hari Korban Penghilangan Paksa Sedunia sejak tahun 2011 lalu melalui resolusi 65/209 dan konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//