Transpuan, Penyandang Disabilitas, dan Persma Berbicara: Jurnalis Mendengarkan
Media berperan mengikis stigma negatif terhadap transgender maupun penyandang disabilitas.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri30 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Peran media dan jurnalis dinilai amat penting dalam memperjuangan hak-hak kelompok masyarakat minoritas di Indonesia, seperti transpuan dan penyandang disabilitas. Penilaian ini muncul dalam diskusi virtual “Warga Bertanya, Jurnalis Menjawab” hari ulang tahun ke-19 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Sabtu (28/8/2021).
Diskusi melalui siaran langsung Instagram resmi AJI Bandung itu menghadirkan Yuvhi Pamungkas, Ketua Srikandi Pasundan, organisasi berbasis komunitas yang fokus di bidang isu-isu transgender (transpuan) di Jawa Barat, dan Yuyun Yuningsih, aktivis Bandung Independent Living Center (Bilic).
Yuvhi Pamungkas mengatakan, tidak semua media menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam mengedukasi khalayaknya untuk membela hak-hak minoritas seperti transgender. Misalnya, mengikis cap (stigma) negatif yang selama ini dilekatkan pada kelompok transgender. Srikandi Pasundan sendiri telah berusaha berkolaborasi dengan media, walaupun hasilnya belum maksimal.
“Di sisi lain masih banyak media yang memunculkan sisi negatifnya temen-temen (transpuan),” ujar Yuvhi.
Ia mengungkap, masih banyak berita-berita tentang transgender yang tak berimbang. Bahkan beberapa media turut melanggengkan stigma negatif bagi transpuan. Pemberitaan negatif kepada transpuan dirasa lebih kuat berhembus daripada kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan transpuan baik sebagai individu maupun kelompok.
Di sisi lain, Yuvhi tak menampik masih terdapat beberapa transpuan yang enggan terbuka kepada awak media. Contohnya, ketika terjadi kekerasan yang dialami transpuan, sebagian dari mereka enggan bercerita dan cenderung menutup diri tertuma kepada jurnalis.
Menurut Yuvhi, mestinya kedua belah pihak (transpuan dan awak media) bisa bahu-membahu untuk saling membuka mata masyarakat.
“Sebenernya mestinya kita bareng-bareng. Karena ketika media berusaha melakukan mediasi dengan pemerintahan, polisi atau apa pun itu, mestinya dikasih jalan. Karena di sana akan tersisip informasi-informasi yang akan muncul, bukan informasi yang akan berbalik malah memunculkan kita,” kata Yuvhi.
Pegiat dari Bilic, Yuyun Yuningsih, yang bergerak di bidang penyandang disabilitas, juga menyatakan beberapa media terkesan memanfaatkan kondisi disabilitas sebagai kontennya. Penyandang disabilitas kerap kali diposisikan sebagai objek. Tak jarang suatu pemberitaan yang cenderung mengeksploitasi sisi heroik para penyandang disabilitas untuk menggugah rasa haru pembacanya.
“Kita teh ada satu prinsip, kalimatnya itu nothing about us. Tidak berbicara tentang kita kalau tidak melibatkan kami. Kami lebih senang bila diajak diskusi terlebih dahulu. Sehingga, para jurnalis tahu arah perjuangan kami untuk disabilitas,” ujar Yuyun.
Yuyun berharap prinsip-prinsip inklusif tertanam dalam diri setiap jurnalis sebelum meliput topik terkait disabilitas. Dengan begitu, para jurnalis dapat memahami arah perjuangan penyandang disabilitas.
Ia mengakui pentingnya keterlibatan para jurnalis dalam isu-isu disabilitas. Pemberitaan yang berimbang dan berkelanjutan oleh para jurnalis akan selaras dengan rangkaian dari upaya-upaya pembelaan hak-hak disabilitas.
Perjuangan penyandang disabilitas hingga kini menyisakan pekerjaan rumah yang tidak sedikit. Salah satunya, merubah pandangan atau stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Misalnya, penyandang disabilitas masih kerap diperlakukan tidak inklusif di masyarakat.
“Kaya gini aja, masyarakat masih menganggap penyandang disabilitas itu sebagai orang sakit. Bahkan orang pinter kaya pemilik maskapai juga menganggap kita ini orang sakit,” kata Yuyun menggambarkan pengalaman yang kerap menimpa penyandang disabiliitas.
Meski begitu, Yuyun percaya peran media dan awak persnya bisa membantu mempercepat perjuangan penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya. Sebagai contoh, kasus yang menimpa seorang penyandang disabilitas yang hendak menghadiri pertemuan bersama PBB menggunakan maskapai udara.
Penyandang disabilitas tersebut dijegal melalui selembar surat pernyataan sakit yang mesti mereka tandatangani, sebagai bentuk validasi atas kondisi kesehatan yang rentan. Dengan surat itu maskapai penerbangan tersebut mangkir dari kewajiban asuransi jika terjadi insiden kecelakaan.
Kasus tersebut berlanjut ke meja persidangan, sontak menjadi sebuah pemberitaan di berbagai media massa nasional. Hakim memutuskan pihak maskapai bersalah atas kejadian tersebut. Keputusan hakim berdampak pada perubahan peraturan di kalangan perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia.
“Nah, saat itu media berperan penting banget, untuk ngumpulin suara, dukungan dan menjadi media edukasi. Akhirnya berimbas ke maskapai lainnya, mereka (perusahaan maskapai penerbangan) memberikan formulir berbeda kepada penyandang disabilitas, walaupun sampai saat ini pihak maskapai taunya disabilitas hanya mereka yang terlahir dengan kondisi demikian saja,” kata Yuyun.
Baca Juga: Transgender di Bandung Diharap Sempatkan Diri Bikin KTP
Pencetakan Al Quran Braille Menyusut selama Pandemi Covid-19
Kelompok Marginal Bandung Rentan tidak Mendapat Vaksinasi Covid-19
PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Anti Amplop
Mural “Jokowi Tutup Mata†di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Bukan mau Diistimewakan
Tidak dapat dipungkiri, sejauh ini masih banyak media massa yang menyertakan stigma bagi masyarakat minoritas dalam pemberitaannya. Oleh karena itu, baik Yuvhi maupun Yuyun sepakat untuk merajut lebih erat hubungan media massa dalam perjuangan masyarakat minoritas dalam hal ini adalah masyarakat transgender dan penyandang disabilitas.
Yuvhi menuturkan, pandangan miring yang tumbuh di masyarakat terkait transgender selama ini adalah perkerja seks, pengamen, pembuat onar, meresahkan, dan mengganggu. Nyatanya, waria juga bisa menolong warga sekitar.
Maka peran media sebenarnya bisa menyajikan perspektif lain yang lebih adil tentang transgender. Sehingga diperlukan keberimbangan pemberitaan.
“Bagaimana kita bisa menceritakan tentang diri kita yang sebenarnya kalau media misalkan memberitakan yang tidak seimbang itu. Setidaknya masyarakat dan pemerintah bisa paham tentang keberadaan kita. Kita, transpuan ini tidak minta diistimewakan. Cuma, kita memiliki hak dan kewajiban yang sama,” terang Yuvhi.
Yuyun pun menyadari perjuangan penyandang disabilitas bukanlah sesuatu yang “ringan”. Tentu diperlukan dukungan dari banyak pihak dan elemen masyarakat tak terkecuali peran media massa.
Baginya, media mesti turut berperan dalam upaya advokasi dan pemberdayaan masyarakat minoritas melalui pemberitaan yang inklusif, sehingga tidak semata-mata mengobjektivikasi penyandang disabilitas apalagi melanggengkan perlakuan yang terkesan semata mengkasihani mereka.
“Ngebedain disabilitas dan sakit aja masih banyak keliru, apalagi melihat disabilitas dengan harapan merubah cara pandang yang awalnya kasihan menjadi cara pandang hak, ini juga kerjaan besar. Jadi peran media di situ bisa memberikan edukasi bagi masyarakat dan pemangku kebijakan,” tutup Yuyun.
Persma: Kejujuran Penting bagi Jurnalis
Rangkaian HUT AJI Bandung: Warga Bertanya, Jurnalis Menjawab tak hanya menghadirkan kelompok transpuan dan pegiat disabilitas. Pada Jumat malam, 27 Agustus 2021, sebelumnya, AJI Bandung menghadirkan dua narasumber dari pers mahasiswa, yaitu Agustina Wiguna, pimpinan umum LPM Jumpa, Unpas, dan Muhammad Faishal Nur Alim, pimpinan umum Pers 5 UPI.
Keduanya menyampaikan harapan dan saran kepada jurnalis, khususnya anggota-anggota AJI Bandung. Bagi kedua organisasi persma, AJI Bandung bukan sekadar wadah bagi jurnalis, melainkan komunitas yang menaungi pers-pers mahasiswa juga.
“Harapannya (AJI Bandung) terus bersinergi buat persma, menaungi persma di Bandung. Sejatinya perma selain bernaung di kampus kita juga berpegangan ke AJI. Terus menjunjung kebenaran itu sendiri, dan masyarakat bisa lebih lebih berpegangan kepada media yang menjunjung tinggi kejujuran,” ungkap Agustina Wiguna.