Mural “Jokowi Tutup Mata” di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Mural bergambar Presiden Jokowi menutup mata di bawah Jalan Layang Pasupati, Bandung, dihapus aparat. Tanggapan berlebihan ini mengancam kekebasan berekspresi.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri26 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Aksi penghapusan mural oleh aparat di Indonesia masih terus terjadi. Rabu (25/8/2021) sore, sebuah mural bergambar sosok presiden Jokowi sedang menutup mata yang terpampang di dinding beton di bawah jalan layang Pasupati, Bandung, dihapus petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Kepala Satpol PP Kota Bandung Rasdian Setiadi mengaku memperoleh informasi tentang keberadaan mural yang disebut telah melanggar ketertiban dan ketenteraman umum itu, dari pengaduan masyarakat. Keputusan penghapusan merupakan hasil kesepakatan antara Satpol PP, pihak kewilayahan, kepolisian, Kesbangpol, dan DPKP3 (Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Permakaman (DPKP3) Kota Bandung.
Tak hanya melanggar ketertiban umum, menurut Rasdian, mural yang memuat gambar seorang pria berambut klimis rapi dengan mata dan hidung tertutup masker itu, sebagai bentuk penghinaan kepada presiden.
“Apalagi kan itu wajahnya Presiden Joko Widodo. Beliau kan simbol negara. Ini kan dari segi etika dan estika juga sudah melanggar ketertiban dan ketenteraman umum,” tutur Rasdian dalam percakapan dengan telepon dengan BandungBergerak.id, Kamis (26/8/21) siang.
Mural “Jokowi Tutup Mata” bukan satu-satunya mural di Bandung dihapus oleh aparat. Bekerja sama dengan Satuan Intel Polrestabes kota Bandung, para petugas Satpol PP akan menggelar patroli untuk menertibkan pelaku-pelaku mural yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan merusak estetika kota.
“Kalau mau berkarya juga kan mestinya yang membangun dan di tempat-tempat yang memang telah dipersilakan. Di sana (jalan layang Pasupati) kan bukan tempatnya,” kata Rasdian.
Kepala Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Ahmad Fauzan Sazli menyebut penghapusan mural oleh aparat yang akhir-akhir ini sering terjadi merupakan kebijakan yang aneh. Mural bukan fenomena baru di kalangan masyarakat, khususnya di kota Bandung. Tanggapan pemerintah yang berlebihan mengesankan adanya upaya memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi sehingga mengancam kehidupan berdemokrasi.
“Tindakan ini berlebihan, sekaligus ancaman bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ujar Fauzan.
Baca Juga: Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam
PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Anti Amplop
Mewakili Kondisi Masyarakat
Ahmad Fauzan Sazli berpendapat, mural merupakan bagian dari kebebasan bereskpresi warga. Pandemi berkepanjangan membuat ruang-ruang ekspresi menjadi terbatas karena kerumunan dilarang. Dinding-dinding di ruang publik lalu menjadi wadah alternatif penyampaian yang aman tanpa mengancam keselamatan orang.
Menurut Fauzan, mural mewakili fenomena yang terjadi di masyarakat. Mural di bawah jalan layang Pasupati itu bisa dibaca sebagai protes rakyat atas kinerja buruk pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah yang paling banyak harus menanggung imbas buruknya.
“Salah satu contohnya, saat ini masyarakat sedang bingung berebut vaksin, sementara para pejabat sudah mendapatkan vaksin dosis ketiga. Ini telah menyalahi aturan dan kesepakatan karena mestinya hanya nakes yang berhak menerima vaksin dosis ketiga. Ini menggambarkan Jokowi terkesan menutup mata,” katanya.
Tentang tuduhan menghina simbol negara, Fauzan juga menilainya tidak tepat. Merujuk pasal 36A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang disepakati sebagai simbol negara adalah burung garuda pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sebelumnya, Heri Pramono dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, menyebut tanggapan aparat negara terhadap kemunculan mural dan grafiti berisi kritik terlalu berlebihan. Yang sebaiknya dilakukan justru adalah mendengarkan dan menindaklanjuti isi kritik tersebut. Bukannya melakukan persekusi.
Aktivis Herry Sutresna, yang akrab disapa Ucok, menilai fenomena penghapusan mural menunjukkan sudah tidak ada lagi ruang demokrasi yang tesedia di negara ini.
“Sudah jelas bagi publik. Ini bukan lagi lampu kuning, melainkan lampu merah,” katanya.