• Berita
  • Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam

Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam

Para pegiat Kamisan Bandung mengajak masyarakat mengikuti aksi pembuatan mural. Karya-karya mural ini bakal ditampilkan pada peringatan September Hitam.

Para pegiat Kamisan Bandung menghelat aksi mural di Tamansari, Bandung, Rabu (25/8/2021). Mural-mural ini akan ditampilkan pada peringatan September Hitam. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki26 Agustus 2021


BandungBergerak.idSekumpulan pemuda Kota Bandung menghelat sebuah aksi mural yang diinisiasi oleh para pegiat Aksi Kamisan Bandung, Rabu (25/8/2021), di wilayah RW 11 Tamansari, tepat di samping masjid Al Islam yang juga disebut Lorong Kehidupan.

Kegiatan para aktivis yang didominasi anak muda itu berlangsung sejak sore hingga malam hari. Acara juga diikuti masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada seni atau sekadar ingin bersilaturahmi dan turut berekspresi. Tersedia juga beberapa lapak dagang yang menjajakan cinderamata dan barang sandang.

Media yang digunakan untuk seni mural pada kegiatan ini berupa kain dan payung hitam yang menjadi kekhasan Kamisan, plus beragam alat lukis dan cat. Semua kebutuhan itu dikumpulkan melalui patungan peserta aksi. Gambar dan tulisan yang mereka bikin bermacam-macam, tetapi temanya serupa:tuntutan kepada pemerintah.

Salah satu mural, misalnya, tentang wajah Munir, pejuang HAM yang tewas dibunuh dengan racun arsenik dalam penerbangan dengan pesawat milik BUMN Garuda, 7 September 2004. Hingga kini, kematian kasus Munir masih diselubungi misteri.

Pegiat Aksi Kamisan Bandung, Fayadh menuturkan bahwa aksi mural ini merupakan bentuk kampanye perjalanan 8 tahun Kamisan Bandung. Mural-mural tersebut direncakan bakal digunakan untuk mengisi acara peringatan Hak Asasi Manusia pada September mendatang yang disebut September Hitam.

“Kita ngajak temen-temen semua untuk ngegambar perangkat aksi, khususnya nanti (untuk) di bulan September. Biasanya kita nyebutnya September Hitam di mana banyak sekali rentetan pelanggaran Hak Asasi Manusia, mulai hari demokrasi dan juga hari tani,” jelasnya, kepada BandungBergerak.id, ditemui di lokasi kegiatan.

Kegiatan mural sengaja dipilih karena seni visual ini dinilai sebagai media alternatif yang memiliki daya tarik cukup tinggi di masyarakat. Isu yang diangkat seni mural umumnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari rakyat.

Mural dan gravity juga sebagai media komunikasi yang mudah dicerna oleh berbagai kalangan masyarakat. Apalagi belakangan ini penghapusan mural-mural berbau kritik terhadap pemerintah gencar dilakukan oleh pihak yang tak suka dikritik.

Aksi penghapusan mural-mural kritis itu memunculkan kesan bahwa ada bentuk “ketakutan” negara terhadap kritik. Di saat yang sama, negara memang belum mampu mensejahterakan dan memberikan kehidupan yang layak kepada seluruh rakyatnya.

Selain mural, sejumlah isu telah disiapkan dalam menyambut momen September Hitam di Bandung. Beberapa isu terbaru adalah penembakan pendeta Yermiah di Papua pada 2020, penembakan massa solidaritas Randi dan Yusuf di Kendari, serta tindak represi terhadap aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019. Isu-isu tersebut akan mendampingi isu rutin yang mereka kerap suarakan, yakni pelanggaran HAM di Indonesia di masa lalu yang belum terselesaikan sejak tragedi 1965.

Baca Juga: Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat

Para pegiat Kamisan Bandung menghelat aksi mural dan gravity di Tamansari, Bandung, Rabu (25/8/2021). Mural-mural ini akan ditampilkan pada peringatan September Hitam. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)
Para pegiat Kamisan Bandung menghelat aksi mural dan gravity di Tamansari, Bandung, Rabu (25/8/2021). Mural-mural ini akan ditampilkan pada peringatan September Hitam. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Mural sebagai Kritik dari Rakyat

Aksi mural di Tamansari itu dihadiri salah seorang seniman mural jalanan asal Bandung, Terorski yang juga ikut serta menyumbangkan karyanya. Baginya, mural maupun gravity adalah ekspresi dan gagasan yang maknanya bisa sangat luas atau terkadang berbanding lurus dengan isu yang mencuat di sekelilingnya.

“Kalau ngomongin gambar, itu satu media komunikasi. Tidak ada standarnya itu berpengaruh atau tidak. Tapi, kalau misalnya kondisi saat itu terjadi beberapa hal yang berkaitan dengan isu, maka gambarnya pun akan semakin berpengaruh. Mural mah bentuk kritik rakyat aja,” ungkapnya.

Aktivis Kamisan lainnya, Feru Jaya, mengutarakan bahwa acara membuat mural di Tamansari sebagai aksi desentralisasi solidaritas yang harus terus dirawat dan rutin dilakukan. Aksi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan ruang-ruang ekspresi yang dewasa ini semakin sempit.

Lewat mural, para seniman atau pembuat mural mengajak masyarakat untuk tidak menggantungkan nasibnya kepada pemerintah, khususnya selama pagebluk Covid-19 ini. Pagebluk yang telah berlangsung lebih dari setahun ini telah membuka kesadaran masyarakat tentang gagapnya penanganan bencana nasional.

Menurut Feru, sudah saatnya warga sadar akan pentingnya berinovasi secara mandiri karena pagebluk adalah sebuah bencana nyata yang penanggulanganya perlu diterapkan oleh seluruh kalangan. Feru mengkritik pemerintah yang banyak mengeluarkan anggaran untuk sektor-sektor non-krusial yang tidak terkait penanggulangan Covid-19.

“Sejauh ini, ada kesalahan berpikir dan kesalahan narasi (pemerintah) yang seolah-olah masyarakat tidak bisa menyelematkan hidupnya sendiri. Padahal segala anggaran bantuannya juga bersumber dari dana kita sendiri (pajak). Jika memang kita merasa solidaritas adalah senjata, maka kokanglah dengan erat,” tuturnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//