Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Penghapusan mural berisi kritik dan persekusi penciptanya mencederai kebebasan berpendapat. Mestinya, ide dibalas ide, opini dibalas opini, gambar dibalas gambar.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri20 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Beberapa hari terakhir jagat maya dihebohkan dengan fenomena kemunculan mural dan grafiti yang menghiasi dinding-dinding kota di sejumlah daerah di Indonesia. Yang tak kalah heboh adalah aksi aparat dalam menanggapinya. Mural-mural berisi kritik dihapus, pembuatnya diburu.
Salah satu mural yang paling mencuri perhatian adalah gambar menyerupai wajah presiden Joko Widodo, terpampang di salah satu dinding beton di Tangerang dengan mata tertutup blok merah bertuliskan “404: Not Found”. Karya ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara.
Terorski, bukan nama sebenarnya, salah satu seniman visual di Kota Bandung, menyebut tanggapan aparat negara terhadap kemunculan mural dan grafiti berisi kritik terlalu berlebihan dan terbilang lucu. Mural dan grafiti tak lebih dari sekadar bentuk komunikasi elemen masyarakat pada umumnya.
“Terlalu banyak yang harus ditanggapi. Salah satunya, bodor (lucu). Ini menunjukkan ruang demokrasi di negara ini semakin sempit dan terus terkikis. Negara ini mengalami fase antikritik,” kata Terorski, dalam perbincangan dengan BandungBergerak.id, Kamis (19/8/21) petang.
Menurut Terorski, tindak represif aparat pemerintah menunjukkan kegagalan mereka menangkap substansi di balik mural dan grafiti. Setiap karya seniman di tembok-tembok kota tersebut niscaya mencerminkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Substansi kritik inilah yang mestinya menjadi fokus perhatian pemerintah.
Terorski mencontohkan mural “Tuhan, Aku Lapar” di Tangerang. Sangat mungkin karya ini lahir karena negara tidak memberlakukan UU Karantina di tengah pandemi Covid-19 berkepanjangan, sementara masyarakat seolah dibiarkan kesusahan mengais rezeki.
“Apa yang salah dari sebatas menyampaikan pesan atau kritik? Kalau dia diminta minta maaf di hadapan publik, kesannya seperti pelaku kriminal yang di-plonco,” ucapnya.
Mural dan grafiti, bentuk komunikasi dan ekspresi seni yang disampaikan melalui medium tembok atau kayu yang relatif besar itu, sering disalahartikan, dicap sebagai perusak fasilitas publik atau pencemar estetika kota. Tidak jarang bahkan karya-karya ini dianggap sebagai ancaman.
Terorski menolak tudingan yang melekatkan seni mural dan grafiti dengan aksi vandalisme. Dinding-dinding di ruang publik, seperti jalan raya, dijadikan tempat seniman berkarya semata karena mayoritas kegiatan masyarakat dihabiskan di sana. Dengan demikian, pesan bakal tersampaikan secara efektif.
“Vandalisme teh seperti apa? Perusakan? Sepengetahuan saya, penggusuran lahan dan penggundulan hutan itu perusakan. Kalau vandalisme hanya karena keberadaannya (mural) di ruang publik, apa bedanya dengan baliho kampanye partai atau iklan-iklan korporasi yang menjejali mata kita di setiap sudut kota?” ujar Terorski.
Lampu Merah
Herry Sutresna, salah seorang aktivis ‘98, menanggapi santai fenomena mural dan grafiti yang ramai diperbincangkan orang belakangan ini. Menurut Ucok, panggilan akrabnya, sudah sejak lama persoalan mural erat dikaitkan dengan polemik legal-ilegal.
“Umumnya mereka ditindak karena melanggar ketertiban umum. Misal, karena menggambar di tembok rumah orang atau menggambar alat kelamin manusia. Itu juga biasanya dilaporin warga,” katanya kepada BandungBergerak.id, Jumat (20/8/21) pagi.
Ucok mengaku dirinya cenderung pesimistis dengan jargon-jargon kebebasan berpendapat. Tindakan represif aparat terhadap produk-produk komunikasi bukan hanya mengancam kebebasan berpendapat para muralis atau seniman visual. Dalam konteks yang lebih luas, potensi kriminalisasi yang sama besarnya juga bisa menimpa seluruh masyarakat.
Maraknya tindak represif aparat untuk setiap karya dan kritik, menurut Ucok, memberi gambaran tentang kegagalan negara dalam mewadahi kebebasan berpendapat warga meski telah diatur dalam konstitusi. Tindakan berlebihan yang jatuh menjadi persekusi mengesankan ada sesuatu yang sedang negara tutupi, seperti kegagalannya menangani pandemi.
“Sudah jelas, bagi publik, ini bukan lagi lampu kuning bagi kebebasan berpendapat, melainkan lampu merah. Dalam kehidupan berdemokrasi, mestinya ide dibalas ide, opini dibalas opini, gambar dibalas gambar,” tutur Ucok yang hingga hari ini masih aktif di lingkaran aktivisme Kota Bandung.
Baca Juga: PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi
PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Anti Amplop
Dalam Kacamata Hukum
Heri Pramono, anggota badan riset dan kampanye Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, menyebut pemburuan pembuat mural dan grafiti sebagai semacam tindak persekusi yang mestinya tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aksi menebar ketakutan seperti ini mencederai hak dasar warga atas kemerdekaan menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi.
“Kalau pemerintah ingin bertindak dengan sikap yang lebih demokratis, mestinya mereka mendengarkan dan menindaklanjuti kritik tersebut,” tuturnya.
Menurut Heri, mural dan grafiti yang menghiasi sudut-sudut kota sebaiknya dilihat sebagai salah satu bentuk komunikasi rakyat. Jalanan sebagai ruang publik dipilih karena ia merupakan media paling inklusif yang memungkinkan sebanyak mungkin warga mengaksesnya.
Tidak dimungkiri Heri, para pegiat seni jalanan mural dan grafiti rentan dikategorikan sebagai pelaku vandalisme. Dalam kacamata hukum, sangkaan tindakan vandalisme merupakan pelanggaran ketertiban umum (tibum). Bukan tindak kriminal.
Booming di Tahun 2005-2007
Di Bandung, mural dan grafiti merupakan bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan kota. Ada yang muncul sebagai bentuk ekspresi kegelisahan sosial-politik di tembok-tembok di jalanan, tapi ada juga yang dikomodifikasi sebagai program yang disokong pemerintah kota.
Salah satu potret tentang dinamika mural dan grafiti termuat dalam laporan mendalam jurnalis Pikiran Rakyat, Zaky Yamani, berjudul “Dinding Kota Kanvas Kami” yang terbit pada 22 Januari 2012. Reportase ini kemudian diterbitkan ulang dalam buku Komedi Sepahit Kopi: Kumpulan Reportase Satu Dekade (2013).
Diceritakan bagaimana para seniman visual harus bermain kucing-kucingan dalam setiap aksinya di malam hari. Bukan hanya dengan aparat, tapi juga masyarakat dan gerombolan bermotor. Juga disinggung sekilas tentang perkembangan seni mural dan grafiti di Bandung, pengaruh tren dari luar, dan beberapa komunitasnya.
“Yang saya rasakan, di Bandung sempat terjadi semacam booming kegiatan grafiti antara tahun 2005 sampai 2007. Sekarang sudah agak menurun, tetapi masih banyak yang melakukannya,” kata Shake, salah satu seniman grafiti, dikutip dari laporan jurnalistik yang diganjar Anugerah Adiwarta 2012 itu.
Tisna Sanjaya, perupa dan pengajar di ITB, turut memberikan pendapatnya dalam laporan ini. Menurut dia, persoalan utama perihal penerimaan karya seni grafiti di ruang publik adalah kesadaran pengelola tata kota. Para seniman berhak atas ruang merdeka untuk penciptaan karya.