PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Sudah berumur delapan tahun, Aksi Kamisan Bandung secara konsisten menyuarakan isu-isu HAM. Juga persoalan lokal, mulai dari penggusuran lahan hingga nasib buruh.
Penulis Bani Hakiki22 Juli 2021
BandungBergerak.id - Aksi Kamisan Bandung baru saja memperingati hari jadinya yang ke-8 pada Minggu (18/7/2021) lalu. Sudah lebih dari 350 aksi dilakukan. Sudah sekian banyak isu terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM), korupsi, atau juga pengekangan kebebasan berpendapat disuarakan dalam diam.
Gerakan berupa aksi damai ini biasa dilangsungkan setiap Kamis sore di halaman depan Gedung Sate, Bandung. Salah satu pelopornya adalah Wanggi Hoed, seniman pantomim kelahiran Palimanan, Cirebon yang berkuliah lalu berkarier di Kota Kembang.
Ide menggelar Aksi Kamisan di Bandung muncul setelah Wanggi menemukan informasi tentang Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta dari sebuah koran yang ia baca di rumah kedua orangtuanya di bulan Ramadan 2013 lalu. Ia merasakan adanya nilai kemanusiaan dan kepedulian yang patut diperjuangkan bersama.
“Setelah baca (berita) dan mempelajari apa itu Aksi Kamisan lewat teman-teman yang saya kenal di Jakarta, saya merasa terpanggil,” tuturya ketika dihubungi BandungBergerak.id melalui telepon pada Senin (19/7/2021).
Aksi Kamisan di Jakarta pertama kali digelar pada 18 Januari 2007 silam. Berdiri di depan Istana Negara, seringkali dengan pakaian dan payung hitam, para pegiat aksi hendak mengingatkan atau bahkan menuntut tanggung jawab negara dalam menuntaskan sederet pelanggaran HAM yang tak pernah terselesaikan. Mulai dari Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, Tragedi Trisakti, Peristiwa 13 Mei 1998, hingga Peristiwa 1965. Juga sejumlah kasus penghilangan paksa atau pembunuhan yang yang membungkam tokoh-tokoh bersuara kritis, seperti aktivis HAM Munir, penyair Widji Thukul, wartawan Udin, dan masih banyak nama yang lainnya.
Menurut Wanggi, gagasan dan semangat yang diusung Aksi Kamisan di Jakarta sangat cocok dengan iklim gerakan sosial di Kota Bandung yang ketika itu. Meski di awal kelahirannya Aksi Kamisan Bandung mengusung tema serupa aksi induknya di Jakarta, dalam perjalanan waktu mereka menyinggung juga isu-isu HAM di tingkat lokal. Apalagi ketika itu Bandung sedang bermasalah serius dalam konflik penggusuran lahan.
Stigma dan Ancaman
Di Bandung, Aksi Kamisan tumbuh secara organik, tersampaikan secara lisan dari mulut ke mulut warga. Tidak ada forum resmi yang secara khusus dibuat untuk menggelar aksi kemanusiaan tersebut. Mulanya, Wanggi Hoed melakukan aksi di depan Gedung Sate sendirian dan menamainya Pantomim Kamisan.
“Dulu teman-teman yang suka datang ikut bantu menyebarkan lewat medsos, instagram, facebook, dan lain-lain. Dikabarkan juga oleh rekan-rekan media sampai teman-teman dari Jakarta juga datang,” ucapnya.
Perlahan, inisiatif sederhana tanpa gemerlap promosi ini mulai menarik perhatian warga dan sejumlah komunitas kolektif lainnya di Kota Bandung. Nama Aksi Kamisan Bandung pun disepakati untuk digunakan sejak Kamis, 18 Juli 2013. Dengan belasan orang peserta, jenis kegiatan berkembang, mulai dari penampilan seni hingga orasi.
Perjalanan Aksi Kamisan Bandung tidak pernah mudah. Berbagai stigma terus berdatangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Kegiatan ini pernah dilabeli sebagai bagian dari kelompok anarkis atau bahkan komunis.
Tidak jarang para peserta Aksi Kamisan Bandung mendapat ancaman dari berbagai pihak, terutama aparat. Termasuk ancaman pembubaran kegiatan. Kucing-kucingan dengan intel pun sudah biasa dilakukan.
“Sitgma mah gak pernah terlalu kita pikirin. Kita tetap berjalan. Kita di sini terus melawan lupa. Malah seringnya yang terjadi, apa yang coba kita tuntut ke negara hasilnya berbanding terbalik,” kata Baldi, pegiat Aksi Kamisan Bandung yang mulai aktif sejak 2016, lewat sambungan telepon, Senin (19/7/2021).
Dijelaskan Baldi, ada tiga aspek utama yang jadi dasar gerakan Aksi Kamisan Bandung. Pertama, memperjuangkan hak korban pelanggaran HAM dan keluarga yang ditinggalkannya. Kedua, sebagai ruang belajar untuk mendiskusikan pentingnya suara masyarakat agar didengar para pemangku kebijakan. Ketiga, membuka ruang publik untuk berpendapat.
Baca Juga: Bandung Hari Ini: Setelah Deklarasi Kota HAM, lalu Apa?
Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
Wanggi Hoed, Melawan lewat Pantomim
Penggusuran, Buruh, dan Perempuan
Seiring berjalannya waktu, cakupan isu yang disuarakan Aksi Kamisan Bandung semakin meluas. Para pegiat menyajikan juga isu penggusuran lahan warga, ketimpangan kesejahteraan buruh, dan bahkan ketidakadilan gender.
Dalam beberap tahun terakhir, Kota Bandung digempur oleh berbagai isu sengketa tanah yang telah memaksa sebagian warga kehilangan tempat tinggalnya. Puncaknya terjadi pada 12 Desember 2019 lalu di lahan bakal rumah deret di RW 11 Tamansari. Tragedi yang dikenal dengan sebutan “12/12” ini pun kemudian jadi salah satu isu yang disuarakan di setiap Aksi Kamisan Bandung.
Belum lama ini Aksi Kamisan juga ikut menyuarakan kasus ancaman pidana terhadap Aan Aminah, seorang perempuan buruh, dan 10 kawannya. Para buruh yang gigih menuntut pemenuhan haknya itu diseret ke meja pengadilan atas tuduhan melakukan tindak kekerasan yang di kemudian hari tidak terbukti.
“Aksi Kamisan Bandung turut andil membahas isu-isu perempuan. Aksi Kamisan ada dan berpihak pada kesetaraan hak perempuan dan isu perempuan atau feminisme lainnya,” ucap Shella Karina yang bergiat di Aksi Kamisan sejak 2016 lalu.
Shella percaya bahwa kegiatan ini telah menjadi sebuah wadah yang ramah gender. Semua kalangan bisa terlibat di sana. Ia meyakini bahwa dampak Aksi Kamisan Bandung hanya akan terus membesar.
“Karena dilakukan secara rutin, aksi ini akan membuat masyarakat yang asalnya tidak tahu menjadi tahu. Dan yang sudah tahu, akan lebih teredukasi sehingga aksinya akan semakin besar dan beregenerasi. Tiidak haya berhenti kegiatan pada hari itu,” katanya.
Menjadi Ruang Terbuka
Sebagai komunitas berbasis kolektif yang cair, tidak ada struktur baku di Aksi Kamisan Bandung. Seluruh isu dihimpun dan diusung berdasarkan musyawarah. Artinya, aksi ini menjadi sebuah warisan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat.
Sejak tiga tahun lalu para pegiat Aksi Kamisan Bandung juga aktif berjualan cindera mata untuk menghidupi kegiatan. Hasil penjualan biasanya dialirkan sebagai bantuan sosial bagi warga yang membutuhkan.
Baldi berpendapat, Aksi Kamisan Bandung saat ini telah bertransformasi menjadi ruang terbuka bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin menyampaikan keresahannya. Gerakan ini membuka lebar pintu bagi warga Bandung dan sekitarnya untuk bersuara terkait isu kemanusiaan.
“Hal paling dasar adalah jaminan bagi masyarakat untuk hidup aman di Negeri ini. Kita tahu, setiap pergantian rezim selalu ada pelanggaran HAM. Kalau masalah yang dulu-dulu gak pernah selesai, bagaimana kita bisa hidup tenang?” katanya.
Memperingati sewindu umur aksi, para pegiat Aksi Kamisan Bandung mengusung tema "Mengeja Zaman, Membangun Semangat Zaman". Tema yang lahir dari kegelisahan di tengah situasi suram pandemi Covid-19 yang mencengkeram sejak tahun lalu. Meski semua menjadi serba sulit, Aksi Kamisan Bandung mengajak semua orang, terutama anak-anak muda, untuk tetap menjaga kewarasan dan terus menyuarakan hak-haknya.
Genap berumur satu windu, Aksi Kamisan Bandung telah terbukti mampu secara konsisten menyuarakan isu HAM, merawat ingatan atas tragedi-tragedi kemanusiaan yang belum terselesaikan. Di depan Gedung Sate, mereka diam berdiri, membaca puisi, berorasi, atau menampilkan unjuk kesenian. Turut digelar pula spanduk dan poster.
Genap berumur satu windu, warna hitam pada pakaian dan payung tidak pernah pudar. Hitam adalah simbol duka cita bagi para korban dan keluarga mereka. Gedung Sate menjadi simbol kekuasaan yang harus menuntaskan tanggung jawab mereka dalam setiap pelanggaran HAM.
“Aksi Kamisan Bandung telah menghimpun banyak gagasan dan ide perlawanan,” kata Wanggi Hoed, seniman yang jadi perintisnya. “Delapan tahun itu gak mudah.”