• Literasi
  • Wanggi Hoed, Melawan lewat Pantomim

Wanggi Hoed, Melawan lewat Pantomim

Bagi Wanggi Hoed, pantomim tidak pernah berhenti menjadi sekadar hiburan. Pantomim menjadi laku menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Seniman pantomim Wanggi Hoed dalam salah satu aksi yang ditayangkan dalam diskusi The Statement of Body and Imagination, Sabtu (24/3/2021) siang. (Sumber: akun Youtube Wanggi Hoed Docs)

Penulis Tri Joko Her Riadi24 April 2021


BandungBergerak.idBagi Wanggi Hoed, pantomim tidak pernah berhenti menjadi sekadar hiburan. Pantomim menjadi laku menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan yang masih tumbuh subur di tengah masyarakat. Aksi yang dilakukan dalam diam, tanpa teriakan.

Benturan pertama Wanggi dengan seni pantomim yang memikul juga tanggung jawab sosial-budaya itu terjadi ketika ia menonton berulang-ulang film bisu Charlie Chaplin, terutama “The Kid” (1921) dan “The Great Comedy” (1940). Hatinya tergetar, perasaannya terkoyak-koyak.

“Saya lalu membaca semakin banyak literasi tentang pantomim dan menemukan bagaimana seni ini dalam sejarahnya telah menjadi wadah perlawanan, pemberontakan,” kata Wanggi dalam diskusi “The Statement of Body and Imagination” yang diselenggarakan oleh program Integrated Arts Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung, Sabtu (24/4/2021) siang.

Wanggi merupakan salah satu seniman Bandung yang aktif menyuarakan isu-isu sosial, budaya, dan hak asasi manusia (HAM). Ia terlibat dalam banyak aksi, entah sendiri atau bersama-sama, di lapangan. Mulai dari unjuk rasa memprotes pencemaran lingkungan hingga Kamisan yang menuntut penuntasan kasus-kasus kejahatan HAM berat.

Menurut Wanggi, penting agar pengetahuan ini sampai ke semakin banyak pelaku seni dan juga masyarakat pada umumnya. Pantomim, sejak awal kelahirannya, menjadi wadah alternatif menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan. Sayangnya, di Indonesia, literasi sejarah masih jauh dari memadai.

Baca Juga: Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi

Dalam diskusi yang berlangsung lebih dari dua jam itu, Wanggi memaparkan banyak topik. Dari riwayat panjang pantomim hingga relevansinya ke anak-anak zaman sekarang. Ia misalnya menjawab pertanyaan yang paling sering diajukan orang yang untuk pertama kalinya melihat aksi pantomim: kenapa wajah seniman harus dicat putih.

Menurut Wanggi, berdasarkan literatur sejarah yang ia dalami, ada tiga versi jawaban untuk pertanyaan itu. Yang pertama, wajah putih seniman memungkinkan penonton di kejauhan masih bisa melihat mimiknya. Kedua, wajah putih menjadi simbol warga yang jadi korban kekejaman tentara NAZI selama Perang Dunia ke-2. Yang terakhir, wajah putih, dan juga tangan berbalut sarung tangan putih, menjadi simbol pada kesucian, pada sesuatu yang sakral.

Integrated Arts, penyelenggara diskusi ini, merupakan program baru di Fakultas Filsafat Unpar Bandung. Program ini mendekati tiap bidang seni (pertunjukan, musik, rupa, tulis, dan manajemen) secara utuh sekaligus senantiasa beririsan satu dengan lainnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//