Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
Wanggi Hoed dan rekan-rekannya memperingati Hari Tubuh 2016 dari Kilometer Nol Bandung. Tiba di Jalan Sukarno, aksi mereka dipaksa berhenti oleh polisi lalu lintas.
Penulis Iman Herdiana27 Maret 2021
BandungBergerak.id - Seniman pantomim Wanggi Hoediyatno alias Wanggi Hoed datang di Kilometer Nol, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung sekitar pukul delapan malam. Bersamanya, beberapa kawan seniman yang tergabung dalam Awak Inisiatif Art Movement. Di lokasi bersejarah yang menandai kelahiran Kota Bandung itu, mereka mulai memperingati Hari Tubuh lewat pantomim dan tari.
Wanggi dan para kawan seniman bergerak menuju lahan bekas Plaza Palaguna yang jaraknya sekitar 300 meter ke arat barat. Tiba di Jalan Sukarno di samping Gedung Merdeka, aksi itu sudah memancing perhatian warga dan awak media. Bahkan komunitas berkostum hantu yang biasa menjajakan jasa swafoto di kawasan Asia Afrika, tidak ketinggalan menonton peringatan Hari Tubuh itu.
Namun tiba-tiba seorang anggota kepolisian lalu lintas menghampiri Wanggi dan kawan-kawannya dan meminta mereka membubarkan diri. Dalihnya, aksi mereka telah mengganggu ketertiban umum.
Salah seorang kawan seniman Wanggi dimintai KTP. Wanggi juga mendengar kata-kata kasar dan umpatan. Jumlah massa yang semakin banyak. Beberapa orang di kerumunan, yang diduga kuat anggota ormas (organisasi massa), juga ikut mengata-ngatai aksi itu.
“Akhirnya saya menjawab terima kasih telah dihentikan dan dibubarkan. Terima kasih kepada warga yang sudah memadati tempat pembubaran. Saya berusaha tidak mengeluarkan kata-kata kasar karena ini adalah ruang publik. Kalau bicara kasar, nantinya malah kontak fisik,” tutur Wanggi, saat dihubungi BandungBergerak.id, Sabtu (27/3/2021) sore.
Sekitar pukul sembilan malam itu, 27 Maret 2016, atau hari ini tepat enam tahun lalu, aksi memperingati Hari Tubuh dipaksa bubar.
Diinterogasi Polisi
Setelah aksi dibubarkan, Wanggi bersama dua atau tiga orang jurnalis yang meliput aksi peringatan tersebut berjalan kaki menuju daerah Sumur Bandung untuk mengambil sepeda motor. Namun ketika mereka tiba di perempatan Jalan Braga-Tamblong, sebuah mobil jenis minibus warna hitam berhenti. Petugas kepolisian yang ada di dalam mobil meminta Wanggi masuk.
Wanggi mengaku sempat dibawa berputar-putar dengan mobil sebelum akhirnya tiba di Polsek Sumur Bandung. Di sana ia harus menjawab semacam berita acara yang berisi sejumlah pertanyaan yang menurutnya tidak ada kaitan dengan peringatan Hari Tubuh.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut contohnya: dapat modal dari mana, punya jaringan apa, siapa yang menunggangi, dan berapa orang jumlahnya. Ada juga pertanyaan spesifik tentang apa kaitan Wanggi dan kawan-kawan seniman dengan teater monolog Tan Malaka dan gerakan kiri di Bandung.
Wanggi jadi paham, pada tahun 2016 itu isu gerakan kiri atau komunis sedang memanas. Ada pihak yang sengaja mengembuskan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi Hari Tubuh pun tidak luput dari tudingan dekat dengan gerakan kiri.
Satu pekan sebelumnya, tepatnya 23 Maret 2016, Bandung dikejutkan dengan pembatalan paksa teater monolog “Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah” di Institut Francaise d’Indonesie (IFI), Jalan Purnawarman, Bandung. Teater ini dipaksa berhenti di bawah ancaman sekelompk orang yang merupakan anggota ormas.
Wanggi sudah berusaha menjelaskan bahwa Hari Tubuh sama sekali tidak ada kaitannya dengan teater monolog Tan Malaka, apalagi dengan ajaran Tan Malaka dan paham kiri. Wanggi meminta agar polisi menelusuri rekam jejaknya terkait gerakan kiri.
Wanggi mengaku, selama di kantor polisi ia diperlakukan baik. Ia yang sejak sore belum makan, dibelikan nasi goreng. Tepat pukul 12 malam, Wanggi keluar dari kantor polisi. Saat itu Bandung diguyur hujan.
Pembungkaman Kebebasan Berekspresi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung mengecam pembubaran paksa aksi Perayaan Tubuh 2016 yang menimpa Wanggi Hoed dan kawan-kawan seniman. Tindakan ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam siaran persnya, Divisi Advokasi AJI Bandung Ari Syahril Ramadhan menyatakan setiap warga negara berhak berekspresi, menyampaikan pendapat dan berkesenian serta berkebudayaan di ruang-ruang publik. Hak ini juga diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28.
Sementara pasal 1 dan 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan Kepolisian bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Ari menegaskan Undang-Undang tentang Kepolisian tersebut mengamanatkan bahwa warga negara dapat berekspresi dan berpendapat dengan tenang dengan jaminan kemanan dari kepolisian.
"Tidak ada satu pun pasal-pasal hukum yang dapat dituduhkan kepada Wanggi dan seniman yang terlibat dalam aksi Perayaan Tubuh 2016. Apalagi di Bandung, kota yang sudah mendeklarasikan diri sebagai Kota HAM," ujar Ari.
Perayaan Hari Tubuh yang diperingati secara internasional tiap 27 Maret merupakan bentuk penghormatan sekaligus ekspresi pada tubuh di ruang publik. Bentuknya berupa pentas kesenian seperti pantomim, tari, performance art, dan lain-lain. Lewat aksi ini, publik yang berada di ruang publik diajak untuk menghormati seni dan keberagaman tubuh.
Namun yang dialami Wanggi Hoed dan kawan-kawannya dalam perayaan Hari Tubuh 2016 di Bandung justru sebaliknya. Mereka danggap sebagai seniman tidak jelas, seniman jalanan, sehingga pantas untuk diumpat-umpat. Permintaan paksa KTP dan penginterogasian tanpa dasar merupakan pukulan terhadap hak-hak tubuh.
“Ketika tubuh kita diusik, rumah kita diganggu, jiwa kita digedor, apa salah kita? Apakah saya dan teman-teman yang melakukan gerak tubuh telah mengusik orang-orang ini?” kata Wanggi, seniman pantomim yang telah melangsungkan aksi dan pentas hingga tingkat internasional.
Apalagi aksi seni tubuh dikaitkan dengan gerakan yang sama sekali tidak berkaitan. Misalnya dengan ajaran Tan Malaka atau ajaran kiri. “Ada persoalan di tubuh institusi itu atau anak-anak buahnya,” katanya.
Pernyataan Bandung
Pada 17 Mei 2016, koalisi masyarakat sipil berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung. Lebih dari 100 individu, pegiat literasi, seniman, dan aktivis budaya sepakat melahirkan “Pernyataan Bandung”. Isinya, penolakan terhadap pemberangusan terhadap literasi dan kebebasan berekspresi yang terjadi selama paruh 2016.
Waktu itu isu kebangkitan PKI mencuat dan ditanggapi aparat dengan maraknya razia terhadap buku-buku kiri. Pernyataan Bandung memandang razia buku sebagai praktik antikebudayaan dan melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
Keputusan MK tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan. Mengingat keputusan MK ini, siapa pun tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku, termasuk aparat kepolisian, militer, terlebih organisani massa.
Selain itu, Pernyataan Bandung mencatat terjadinya pemberangusan terhadap kebebasan bereskpresi yang selalu memakai dasar Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme. Padahal Tap MPRS ini sudah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Th. 2003 melalui Pasal 2 angka 1 yang mengamanatkan tetap adanya “Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak azasi manusia.”
Penangkapan seniman pantomim Wanggi Hoed juga menjadi sorotan Pernyataan Bandung. Begitu juga pembatalan paksa pementasan Monolog Tan Malaka di IFI Bandung serta penyerbuan ormas ke dalam lingkungan kampus Insititut Seni Budaya Indonesia (ISBI).
Karena itu Pernyataan Bandung menyerukan agar pemberangusan literasi dan kebebasan berekspresi segera dihentikan. Koalisi ini mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan UUD, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat, termasuk melindungi hak-hak warga negara dalam kebebasan berekspresi.