Bintang Jasa Utama untuk Eurico Guterres Melukai Penegakan HAM di Indonesia
Tanda kehormatan untuk eks milisi Timor Timur, Eurico Guterres, menuai penolakan dari Aliansi Masyarakat Sipil pegiat Hak Asasi Manusia.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri14 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Sesaat setelah Presiden Joko Widodo menganugerahkan Bintang Jasa Utama, nama Eurico Guterres mencuat ke permukaan. Tanda kehormatan untuk eks milisi Timor Timur itu menuai penolakan dari Aliansi Masyarakat Sipil pegiat Hak Asasi Manusia.
Aliansi Masyarakat Sipil bahkan mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut kembali keputusannya tersebut. Aliansi menganggap keputusan Presiden Joko Widodo menunjukkan dekadensi perwujudan penegakan HAM di Indonesia.
“Seperti meneteskan cuka di atas luka korban,” demikian pernyataan resmi Aliansi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan dari ELSAM, AJAR, IMPARSIAL, IKOHI, KontraS, Sekber ‘65, SKP-HAM, SPKP HAM Aceh, Pamflet Generasi, Acbit, HAK, JSMP, Fokupers, NVA, Kamis (12/8/21).
Seperti diberitakan, penganugerahan tanda kehormatan negara dituangkan dalam Keputusan Presiden Indonesia Nomor 76, 77 dan 78 TK tahun 2021 Tentang Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra, Bintang Budaya Paramadharma dan Bintang Jasa yang ditetapkan Presiden Joko Widodo, 4 Agustus 2021.
Aliansi menganggap pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres sebagai pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan moralitas, serta mengesampingkan keadilan bagi para korban.
Eurico Guterres adalah salah satu dari banyak aktor di balik pembantaian di Gereja Liquica yang terjadi di Timor Timur (sekarang Timor Leste) pada 1999. Ia bergabung sebagai pasukan pejuang pro-integrasi sebagai wakil panglima di masa Referendum Timor Timur.
“Malam hari 17 April 1999 saat Apel Akbar Peresmian PAM Swakarsa, pasukan Aitarak dan Pasukan Pejuang Integrasi yang dikomandoi Eurico Guterres hadir bersenjata lengkap. Sehabis pidato komandannya selesai, massa kelompok Aitarak dan Pasukan Pejuang Integrasi bubar dari apel dan langsung pergi menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang dihuni 136 pengungsi dan rumah Leandro Isac,” demikian pernyataan Aliansi.
Atas kejadian tersebut Eurico Guterres dinyatakan bersalah atas kejahatan kemanusiaan di Timor Timur dan divonis sepuluh tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM pada 2002. Vonis ini diperkuat di tingkat Mahkamah Agung pada 2006, meski akhirnya dibebaskan dalam Peninjauan Kembali (PK) pada 2008.
Beberapa kejanggalan turut hadir menyertai proses hukum Eurico Guterres. Hakim PK dianggap menjatuhkan delik pembiaran (by omission) padalah bukti-bukti dan fakta persidangan dan keterangan para saksi menunjukkan perbuatan langsung (by commission).
Selain itu, putusan PK yang membebaskan Eurico Guterres seolah membuktikan kritik David Cohen (2003) terhadap persidangan kasus Timor TImur sebagai pengadilan yang dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).
“Hakim penintajauan kembali menganggap penyerangan yang dilakukan setelah apel akbar sebagai huru-hara, sehingga dinilai terjadi tanpa ada perencanaan terlebih dahulu. Padahal aksi pidato dan berkumpulnya massa dengan senjata lengkap serta mobilisasi menuju rumah korban mestinya menggambarkan niat jahat actus reus (esensi kejahatan itu sendiri) dalam kejadian tersebut,” kata Aliansi.
Baca Juga: Penyebab Turunnya Persepsi Publik Terhadap Penanganan Korupsi di Indonesia
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI
Artidjo Alkostar dan para Nakes Masuk dalam Daftar Penerima Tanda Jasa dan Kehormatan dari Presiden Jokowi
Inkonsistensi Penegakan HAM
Penganugerahan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres sontak membuat publik bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam keputusan tersebut. Apalagi jika membandingkan sepak terjang Eurico Guterres dengan nama-nama penerima Bintang Jasa Utama sebelumnya, seperti Gus Dur dan BJ. Habibie.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2009 pasal 3 ayat 1 menyebutkan, tanda yang diberikan dengan tujuan menumbuhkembangkan semangat kepahlawanan, kepatriotan dan kejuangan setiap orang untuk kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara.
Eurico Guterres dinilai bukan figur yang patut diteladani. Wisnu Prima, anggota divisi riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, menyampaikan perasaan kecewanya terhadap keputusan tersebut. Menurutnya, keputusan tersebut menunjukkan terjadinya kemerosot nilai-nilai HAM di Indonesia.
“Sangat disayangkan, terutama terkait muatan asas kemanusiaan. Secara hukum Eurico Guterres telah diputuskan melakukan kejahatan kemanusiaan, meskipun berhasil bebas melalui Peninjauan Kembali, tapi tetap tidak bisa menutup fakta-fakta yang ada. Sementara korban masih menunggu hak atas reparasi oleh pemerintah RI dan hak atas kebenaran, termasuk bahwa Eurico Guterres merupakan salah seorang pelaku kejahatan kemanusiaan Timor Timur sebelum dan pasca-referendum,” ujar Wisnu Prima kepada Bandungbergerak.id, Jumat (13/8/21).
Menganugerahi tanda jasa kepada bekas terpidana pelanggaran HAM juga dinilai tidak etis dan dianggap menyalahi UU No. 20 tahun 2009 pasal 2 (B) tentang gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan diberikan berdasarkan asas kemanusiaan. Terlebih, hingga saat ini, catatan kelam tersebut belum juga bisa dikatakan selesai sepenuhnya.
Wisnu menambahkan, keputusan tersebut menunjukkan inkosistensi komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam menghargai, menghormati, memenuhi dan menjamin hak asasi manusia, terutama dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lampau.
Tak hanya itu, penghargaan untuk Eurico Guterres juga berpotensi menggoreskan luka baru bagi persahabatan Indonesia dan Timor Leste.
“Bagian dari politik yang tidak baik, terutama hal menunjukkan inkonsisten pemerintah Indonesia dalam upaya menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di masa lampau. Keputusan tersebut juga berpotensi mencederai Komisi Persahabatan Timor Leste dan Indonesia. Masa mau kasih figur teladan salah seorang pelaku kejahatan kemanusiaan,” tutup Wisnu.
Sepak Terjang Eurico Guterres
Informasi dari Aliansi dan sejumlah sumber mengungkap bahwa Eurico Barros Gomes Guterres alias Eurico Guterres lahir 4 Juli 1969 di Waitame, Timor Timur. Eurico Gutteres kecil adalah anak angkat dari seorang warga sipil Indonesia. Ia putus sekolah sejak SMA dan terlibat dalam kegiatan gangster.
Ia sempat ditanah intel militer Indonesia atas tuduhan keterlibatannya dalam komplotan yang akan membunuh Presiden Soeharto yang akan mengunjungi Dili pada Oktober 1988. Sejak itulah disinyalir Eurico Guterres memilih belot dengan berkerja sebagai informan untuk Kopassus hingga akhirnya dipecat pada 1990 sebelum akhirnya direkrut Prabowo yang kala itu bertugas sebagai komandan Grup 3/Sandi Yudha, menjadi bagian dari Gardapaksi, sebuah lembaga keuangan.
Gardapaksi adalah lembaga pinjaman dengan bunga rendah bagi pelaku usaha kecil. Selain lembaga keuangan, Gardapaksi juga berperan sebagai informan dalam satuan pro-militer. Kehadiran Gardapaksi sangat didukung oleh Abilio Soares, Gubernur Timor Timur saat itu, yang juga salah seorang terpidana kasus pelanggaran HAM besar di Timor TImur.
Ia juga dikenal sebagai Komandan Milisi Aitarak-DIli sebelum akhirnya menjadi Wakil Panglima Pejuang Pro Integrasi Timor Timur. Pada tahun 2010 ia menjabat sebagai Ketua Umum DPP Uni Trimor Aswain hingga tahun 2019, ia juga dikenal sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Pejuang Timor Timur.
Eurico Guterres juga meninggalkan jejak kakinya di dunia politik Indonesia, selain sempat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Timor TImur periode 1999-2004, ia juga tenar sebagai kutu loncat di banyak partai politik yang melantai di panggung politik Indonesia.