• Nusantara
  • Artidjo Alkostar dan para Nakes Masuk dalam Daftar Penerima Tanda Jasa dan Kehormatan dari Presiden Jokowi

Artidjo Alkostar dan para Nakes Masuk dalam Daftar Penerima Tanda Jasa dan Kehormatan dari Presiden Jokowi

Artidjo Alkostar mungkin satu dari sedikit orang Indonesia yang terbilang langka. Ia dikenal sebagai pendekar hukum yang tak kenal kompromi pada korupsi.

Artidjo Alkostar, menjadi hakim agung sejak 2000. Ia telah memutus 19.708 berkas perkara. (Dok. Mahkamah Agung RI/BandungBergerak.id)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri12 Agustus 2021


BandungBergerak.idPresiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan tanda jasa dan kehormatan kepada 335 tokoh publik dari berbagai latar belakang, terangkum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 76,77,78/Tk Tahun 2021 tentang penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera, Bintang Budaya Parama Dharma dan Bintang Jasa.

Prosesi penganugerahan tanda jasa dan kehormatan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (12/8/2021). Acara ini turut serta dihadiri Wakil Presiden, Ma’ruf Amin serta beberapa menteri terkait Kabinet Indonesia Maju.

Pembacaan keputusan presiden dilaksanakan oleh sekretaris militer presiden, Marsda TNI M. Tonny Harjono selaku sekretaris Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan.

“Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia, menimbang, mengingat, memutuskan, dan menetapkan kesatu; menganugerahkan tanda kehormatan bintang mahaputra, bintang budaya paramadarma, dan bintang jasa kepada meraka yang nama dan profesinya tersebut dalam lampiran dalam keputusan ini, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya sesuai ketentuan syarat khusus dalam rangka memperoleh tanda penghormatan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang,” ujar Marsda TNi Tonny Harjono.

Sejumlah nama penerima anugerah tanda kehormatan itu di antaranya Almarhum Artidjo Alkostar, selaku ketua kamar pidana Mahkamah Agung periode tahun 2009 - 2018, dan I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata periode tahun 2000 - 2004. Masing-masing dianugerahi tanda kehormatan bintang Mahaputera Adipradana.

Bintang Mahaputera Adipradana adalah tanda kehormatan Bintang Mahaputera kelas II yang diberikan kepada mereka yang telah menjaga keutuhan, kelangsungan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artidjo Alkotsar sendiri adalah bekas hakim agung dan anggota Dewan Pengawas Pemberatasan Korupsi. Ia dikenal tegas dan tak pandang bulu dalam mengawal mega kasus nasional utamanya tindak pidana korupsi.

Anugerah tanda kehormatan juga diberikan kepada 322 nama yang terdiri dari tenaga medis dan kesehatan yang gugur dalam menangani Covid-19 di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi 256 penerima Bintang Jasa Pratama yang diwakili almarhum Adnan Ibrahim dan Alhmarhum Ngadiah, sisanya sebanyak 66 nama penerima Bintang Jasa Nararya yang diwakili oleh alamarhum Soehendro.

Berikut nama penerima tanda kehormatan:

Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana

1. Alm. Artidjo Alkostar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI periode 2009-2018.

2. Alm. I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata periode 2000-2004.

Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama

3. Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman Nasional Indonesia periode 2000-2011.

Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Nararya

4. Maradaman Harahap, Anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia periode 2015-2020.

5. Ing Jacobus Busono, pendiri Pura Group.

Tanda Kehormatan Budaya Parama Dharma

6. Alm. RT Kusumokesowo, seniman dan pemelihara warisan budaya Jawa.

Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama

7. Alm. Rusdi Sufi, akademisi dan pemelihara warisan sejarah dan budaya Aceh;

8. Prof. Dr. Dr.h.c. mult. Goldammer, Johann Georg, Andreas, direktur Global Fire Monitoring Center (GFMC), Kimiawan Institute Max Planck, professor ekologi dan management api Universitas Freiburg, Jerman;

9. Ishadi Sutopo Kartosaputro, Komisaris Transmedia.

10. Eurico Guterres, Ketua Umum Uni Timor Aswa’in dan Forum Komunikasi Pejuan Timor Timur.

Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama

11. Alm. Adnan Ibrahim.

12. Alm. Ngadiah.

Tanda Kehormatan Bintang Jasa Nararya

13. Alm. Soehendro.

Baca Juga: Kritik Korupsi dalam Komik “From Bandung With Laugh”
Penyebab Turunnya Persepsi Publik Terhadap Penanganan Korupsi di Indonesia

Artidjo Alkostar, Oase di Tengah Merajalelanya Korupsi

Artidjo Alkostar mungkin satu dari sedikit orang Indonesia yang terbilang langka. Ia dikenal sebagai pendekar hukum yang tak kenal kompromi pada korupsi. Menggambarkan ketegasan. Anjas Prasetyo menggambarkan ketegasan Artidjo Alkostar dalam resensinya yang berjudul “Oase Keadilan di Tengah Kegersangan Hukum” di acch.kpk.go.id, yang disarikan sebagai berikut:

Mantan Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung dan kemudian menjadi Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI (2009-2018) itu dikenal memiliki ketegasan luar biasa. Suatu hari, Angelina Sondakh, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, mengajukan kasasi atas putusan pengadilan. Bukannya mendapat keringanan, politikus muda ini malah diganjar hukuman lebih berat. Dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara.

Itulah salah satu bentuk ketegasan Artidjo Alkostar. Anjas Prasetyo menuturkan, Artidjo menghabiskan masa kecilnya di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, yang dikenal sebagai penghasil tebu sejak zaman kolonial. Namun, tak semua penduduk di sana bertanam tebu. Lebih banyak yang menggantungkan hidup dengan menggarap sawah. Termasuk Pak Dulah, ayah Artidjo.

Sebagai anak petani, Artidjo kecil akrab dengan pertanian. Selepas sekolah, ia menggembala kambing seperti teman-teman sebaya di kampung halamannya. Di masa kecil, ia sempat bercita-cita menjadi joki sapi profesional karena saking cintanya pada hewan. Sampai-sampai ia mengikuti perlombaan karapan sapi di daerahnya. Hasilnya, kalah.

Ia pernah bergabung dalam ekstrakulikuler pertanian ketika SMA, dan memutuskan untuk menjadi insinyur pertanian. Kakak kelas Artidjo bersedia menolongnya melamar kuliah di Fakultas Pertanian, UGM.

Berkas lamaran kuliah disiapkan kemudian dikirimkan ke kakak kelasnya yang sudah berdomisili di Yogyakarta. Lama menanti akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Tetapi hasilnya di luar dugaan. Berkas lamarannya telat sampai di Yogyakarta. Sehingga pendaftaran mahasiswa baru keburu ditutup.

Artidjo menerima tawaran seorang kawan untuk berkuliah di Jurusan Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII). Awalnya kuliah itu hanya diniatkan Artidjo untuk menunggu seleksi penerimaan mahasiswa baru di UGM tahun depan.

Ia sempat tak serius menekuni kuliah di UII. Bahkan di semester pertama, ia sangat kepayahan dengan tuntutan menghafal pasal-pasal hukum. Pada semester kedua, muncul keyakinan bahwa bidang hukum adalah panggilan jiwanya.

Ia melihat hukum belum menjawab rasa keadilan yang semestinya dinikmati oleh rakyat kecil. Waktu berjalan, hingga ia resmi menyandang gelar dosen di Fakultas Hukum UII.

Mapan secara pekerjaan tak membuatnya berhenti memperjuangkan keadilan bagi wong cilik. Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, ia terjun mengadvokasi rakyat kecil, kaum pinggiran, korban PHK, serta orang-orang miskin yang tersangkut perkara hukum. Tak semua kasus yang ia tangani berakhir dalam kemenangan karena komitmennya untuk tetap bersih.

Namun dari semua capaian itu, adalah upaya advokasi para petani tebu dan petani garam di Madura yang membuatnya diangkat sebagai Direktur LBH Yogyakarta pada pertengahan 1983.

Di Yogyakarta, ia menghadapi fenomena pembunuhan puluhan preman di luar proses pengadilan yang jelas. Suatu tim yang tergabung dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) melakukan aksinya di malam hari.

Hampir setiap pagi masyarakat Yogyakarta menemukan mayat tanpa identitas di pinggir kali, pinggir jalan, dan di tempat-tempat umum. Rata-rata mayat yang ditemukan itu tertembak di bagian kepala atau mati terjerat. Karena tidak diketahui persis siapa pelaku pembunuhan itu, masyarakat sering menyebutnya ‘petrus’ atau penembak misterius.

Kebanyakan masyarakat Yogyakarta merasa senang karena para penjahat tumbang. Tetapi dari kaca mata Artidjo, hukuman jalanan ini jauh dari rasa keadilan. Kepastian hukum pun juga semakin kabur. Para bromocorah -sebutan bagi preman yang menjadi target operasi- memang bersalah, namun seharusnya mereka diadili sesuai hukum yang berlaku.

Pada tahun 1989, Artidjo berkesempatan mengikuti pelatihan lawyer mengenai hak azasi manusia selama enam bulan di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Selepas pendidikan itu, ia sempat bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun. Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman itu, ia mendirikan firma hukumnya Artidjo Alkostar and Associates.

Dengan kantor hukum ini, fokusnya tak bergeser. Ia ingin memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil dan korban penindasan hak azasi manusia. Insiden berdarah Santa Cruz menjadi pembuktian komitmen Artidjo untuk berdiri di depan menjunjung rasa kemanusian. Kebijakan rezim yang tengah berkuasa kala itu, ia lawan dengan segala risiko.

Komitmen tak terhingga Artidjo dalam menegakkan keadilan hukum berujung pada tawaran menjadi Hakim Agung di MA. Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, menghubunginya langsung untuk mengikuti seleksi calon hakim jalur nonkarir.

Dibutuhkan waktu lama bagi Artidjo untuk menerima tawaran itu. Termasuk harus berkonsultasi dengan para kyai di Pulau Madura. Akhirnya ia mengikuti saran para kyai untuk mengambil kesempatan itu. Setelah mengikuti fit and proper test di hadapan anggota DPR, ia lolos dengan meyakinkan. Pada 2 September 2000, ia dilantik sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//