• HAM
  • Penyebab Turunnya Persepsi Publik Terhadap Penanganan Korupsi di Indonesia

Penyebab Turunnya Persepsi Publik Terhadap Penanganan Korupsi di Indonesia

Revisi UU KPK, kasus Jaksa Pinangki, dan 57 pegawai KPK tidak lolos TWK menjadi kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Suasana penayangan film dokumenter The Endgame besutan WatchdoC di RW 11 Tamansari, Bandung, Sabtu (5/6/2021). (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 Agustus 2021


BandungBergerak.idLembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu merilis hasil survei nasional tentang persepsi publik terkait pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam di Indonesia. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat selama dua tahun terakhir.

Transparency International juga melaporkan akhir Januari 2021 tentang adanya penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia yang anjlok ke posisi 102 dari 180 negara. Dua laporan dari LSI maupun Transparency International ini bukan kabar baik bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, mengatakan sejumlah faktor yang menyebabkan penurunan indeks persepsi korupsi di Indonesia dalam 2 tahun terakhir. Salah satunya terjadi sejak adanya revisi UU KPK yang menuai kontroversi.

Faktor lain, ada kecenderungan penegakan korupsi yang terus menurun. Muhammad Fatahillah Akbar mencontohkan pada kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara suap Djoko Tjandra. Dalam penegakan kasus ini, Jaksa Pinangki dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.

Sebelumnya, Jaksa Pinangki divonis 10 tahun penjara, tetapi pengadilan melakukan pemotongan masa hukuman. Hal tersebut menunjukkan putusan pengadilan belum menunjukkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan memberikan hukuman yang lebih berat.

“Jika dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan dimana Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara, tetapi pada kasus suap Djoko Tjandara justru Jaksa Pinangki hanya 4 tahun saja,” terangnya, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (12/8).

Akbar mengungkap terjadi penurunan dalam hal penindakan kasus korupsi di tanah air. Misalnya, pada kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menyeret Mantan Mensos Juliari Batubara di mana KPK hanya mengajukan tuntutan 11 tahun pidana penjara. Padahal tuntutan bisa dimaksimalkan hingga 20 tahun.

“Tidak seperti kasus Akil Mochtar dimana KPK mengajukan tuntutan yang dimaksimalkan yakni penjara seumur hidup. Kondisi saat ini menunjukkan adanya penurunan dalam pemberantasan korupsi,” urainya.

Selain itu, kata Akbar, peristiwa penonaktifan 57 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) turut berdampak kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut semestinya diselesaikan secara interal dan tidak sampai keluar ke hadapan publik karena bisa menyebabkan penurunan persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.

Meski demikian, terlepas dari penurunan indeks persepsi publik terhadap penanganan korupsi, Akbar menilai bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berjalan dengan baik dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mempermudah keleluasaan KPK dalam melakukan penyidikan.

Ia juga merekomendasikan KPK untuk bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya, dan memperbaiki integritas pemberantasan korupsi. Ia memandang diperlukan juga memperbarui UU Korupsi.

Tak kalah pentingnya, KPK harus melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam upaya meningkatkan pemberantasan korupsi di setiap lini. Masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengawasan layanan publik dan melakukan pelaporan jika melihat adanya tindak korupsi.

Baca Juga: Menyaksikan Film KPK EndGame di Tamansari, Bandung
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI
Video Dua Tipe Mama Muda dalam Kuliah Anti-Korupsi Ketua KPK
Kritik Korupsi dalam Komik “From Bandung With Laugh”

Kontroversi Penonaktifan 57 Pegawai KPK

KPK saat ini dinilai menjauh dari amanat reformasi. Bahwa lembaga ini lahir dari desakan publik untuk mengawal kepentingan publik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam mengemban amanat reformasi itu, KPK kini justru terlibat konflik internal berkepanjangan, salah satunya terkait penonaktifan 57 pegawainya yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Salah seorang dari 57 pegawai KPK, Hotman Tambunan, mengatakan saat ini KPK menjauh dari semangat reformasi. Untuk mengembalikan KPK ke trek amanat reformasi, yaitu mendengar dan memperjuangkan kepentingan publik, maka 57 pegawai KPK akan terus berjuang. Termasuk memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini sedang mereka usung.

“Sampai saat ini kami masih berjuang di dalam KPK untuk kembali ke treknya, (KPK) lebih mendengarkan kepentingan publik,” kata Hotman Tambunan, pada acara Malam Resepsi Virtual HUT AJI ke-27: Bersama Publik Mengawal Reformasi, Sabtu (7/8/2021). Dalam kesempatan tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan anugerah Tastif Award 2021 kepada 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

Ia menuturkan, 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK mengalami diskriminasi, dugaan perbuatan pelecehan seksual, dan pelanggaran kebabasan berekspresi.

“Bagaimana kita menjawab sesuai yang ada di pikiran kita bahkan itu menjadi hukuman buat kita, bahkan karena kita mengugnkapkan apa yang ada di pikiran kita talam tes wawasan kebangsaan justru itu yang membuat kami tidak lulus dalam TWK ini,” paparnya.

Pihaknya, lanjut Hotman, setiap kali berada di KPK selalu mengukur apakah yang dilakukan KPK telah sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan publik. Keyakinan ini kadang membuat mereka bertentangan dengan pimpinan KPK. Namun pertentangan tersebut dilakukan dengan cara-cara beradab, yakni berdiskusi dan mempertanyakan dasar hukum pimpinan KPKI.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//