• Opini
  • Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hukum dan HAM

Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hukum dan HAM

BPS merilis sepanjang tahun 2021 terdapat 88,9 persen anak Indonesia mulai mengakses internet untuk bermain media sosial.

Qynthara Nayla Azizah

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Penonton menyaksikan konser dengan gawai di Bandung, Selasa (5/10/2021). Gawai maupun media sosial menjadi kebutuhan bagi masyarakat. (Ahmad Abdul Mugits Burhanudin/BandungBergerak.id)

19 Juni 2022


BandungBergerak.idKebebasan berpendapat yang merupakan hak setiap individu nyatanya dapat menghasilkan dampak yang sangat luas bagi kehidupan sosial. Sebagai contoh hal ini dapat ditinjau dari perkembangan kebebasan berpendapat pada zaman dahulu hingga sekarang yang memiliki banyak perubahan.

Pada zaman Orde Baru, Indonesia terkenal dengan negara yang otoriter karena pemerintah secara terang-terangan membatasi masyarakat dan media massa dalam penyampaian opini. Keterbatasan dalam hal ini nyatanya membuat permasalahan sosial antarwarga negara jarang terjadi karena pemerintahan otoriter yang dibangun oleh Suharto mengundang rasa takut dan kekhawatiran masyarakat akan terjadi hal buruk pada diri mereka apabila melakukan pelanggaran. 

Setelah mengalami masa-masa sulit dalam era Orde Baru, terbitlah era reformasi yang berasal dari kegigihan warga negara untuk merebut kembali hak-haknya dalam menjunjung tinggi HAM yang di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat. Namun nyatanya banyak terjadi peristiwa di mana para individu melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh Hukum dan HAM yang berlaku di Indonesia.

Hal itu terlihat dari masalah sosial yang terus bertambah dikarenakan kehidupan masyarakat yang semakin canggih dan praktis dari adanya peran media sosial. Akibatnya, masyarakat saling berselisih, warga negara dengan pemerintah, muncul paham-paham baru yang jauh dari budaya Indonesia, dan permasalahan sosial lainnya yang serupa. 

Negara Indonesia adalah negara berkembang yang masyarakatnya antusias akan pertumbuhan teknologi di era digital. Hal tersebut memiliki ruang lingkup yang luas sehingga menimbulkan dampak yang beragam pula. Salah satu penyebab dari dampak teknologi di era digital adalah masalah sosial yang ditimbulkan akibat kebebasan berpendapat. Hal ini juga didukung karena kemudahan akses masyarakat untuk memperoleh maupun memberikan informasi.

Media sosial dapat diakses oleh siapa pun termasuk anak-anak. Badan Pusat Statistik membagikan hasil persentase sepanjang tahun 2021 di mana 88,9 persen anak Indonesia mulai mengakses internet untuk bermain media sosial pada saat mereka berusia 5 tahun.

Hasil riset menunjukkan bahwa usia anak tersebut terbilang sangat muda. Anak-anak belum mengerti secara utuh mengenai peran media sosial karena edukasi yang belum merata. Emosi maupun pemahaman anak-anak belum stabil. Mereka belum mengetahui riset, cara beretika, memilih mana yang baik dan buruk untuk dikonsumsi dari media sosial. Itulah beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa kebebasan berpendapat dapat menjadi bumerang bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sosial.

Bukti dari semua penyebab tersebut terdapat pada contoh-contoh masalah yang terjadi karena adanya kebebasan berpendapat yang berlebihan. Hal ini dimulai dengan hoaks atau berita palsu yang sering disebarkan tanpa bukti yang valid. Menurut Kemenkominfo diketahui ada 800.000 situs di Indonesia yang menunjukkan tanda-tanda telah menjadi penyebar berita hoaks, jumlah tersebut tidaklah main-main dan sangat mengkhawatirkan.

Tidak hanya itu, bertebaran jurnalis dan konten kreator yang tidak menuliskan judul berita dan video sesuai dengan isinya, kemudian masyarakat yang mengunggah kembali suatu berita dengan mengubah dan melebih-lebihkan maksud di dalamnya, contohnya memotong bagian-bagian video tertentu dan memberikan musik yang dramatis kemudian diunggah di platform media sosial Tiktok.

Dari situlah terlihat bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya mencari kebenaran di balik informasi masih rendah dan tidak memiliki rasa toleransi satu dengan yang lain sehingga bukanlah hal yang aneh apabila sering terjadi adu domba yang menimbulkan banyak kasus pencemaran nama baik.

Kasus dari pencemaran nama baik semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini diungkapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia bahwa pada Januari 2021 mereka menangani 118 kasus pencemaran nama baik yang apabila disandingkan pada awal tahun 2022 terdapat kenaikan sejumlah kurang lebih 37 persen. Belum lagi kebebasan berpendapat di media sosial ini dipengaruhi oleh paham-paham baru yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia secara merata karena adanya dampak dari globalisasi, paham baru ini nyatanya dapat memecah belah rakyat Indonesia dengan sudut pandang yang semakin luas sehingga menimbulkan masalah sosial lainnya.

Baca Juga: Potensi Konflik di Balik Rencana Pemindahan IKN
Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden sebagai Pembangkangan Konstitusi
Legalitas Onlyfans di Mata Hukum Indonesia

Hak dan Kebebasan

Kebebasan individu dan HAM diatur dengan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang jelas menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pada dasarnya setiap individu memiliki hak tersebut dan tidak dapat dilanggar karena hak merupakan kodrat yang harus diperoleh dan telah dimiliki setiap manusia sejak mereka lahir ke dunia.

Pasal tersebut menjadi tolok ukur untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan batasan akan hak menangani permasalahan sosial pada bagiannya masing-masing. Apa yang diberlakukan menjadi hukum bukanlah hal main-main dan memiliki sanksi yang harus dipenuhi bagi para pelaku yang melakukan pelanggaran. Contoh pada Pasal 45A Ayat (1) UU ITE ditegaskan bahwa pasal tersebut diperuntukan dalam penanganan kasus berita hoaks yang karenanya dapat memperkeruh suasana maupun merugikan pihak-pihak yang bersangkutan dan dapat menjerat siapa pun yang menyebarkan berita hoaks dengan pidana paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

Kemudian untuk berita hoaks yang dapat mengakibatkan kasus pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 Ayat (2) KUHP mengenai penistaan dengan surat atau gambar yang disiarkan maupun ditunjukkan sesuai dengan peran media sosial. Pasal ini merupakan delik aduan di mana hanya orang bersangkutan yang merasa dirugikan dan dapat dibuktikan kerugiannya yang bisa melakukan atau mencabut pengaduan dengan batas waktu tertentu kepada pengadilan sehingga tidak perlu khawatir mengenai hak orang lain dalam melakukan kebebasan berpendapat yang menjadi taruhan pada kasus ini. Itulah pengatasan masalah sosial yang terjadi karena kebebasan berpendapat dengan keterkaitannya pada hukum dan HAM yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas, kedudukan HAM menjadi nilai esensial bagi setiap manusia. Namun penting juga untuk mengetahui batasan dalam penggunaan HAM tersebut agar tidak bertabrakan dengan milik orang lain. Berkaitan dengan masalah yang terjadi karena adanya HAM merupakan hal yang wajar karena setiap individu memiliki pemikiran yang berbeda dengan latar belakang yang beragam. Maksud dari wajar tersebut adalah hal yang lumrah terjadi, namun tidak dapat dijadikan kebiasaan terus menerus karena akan menimbulkan perpecahan di dalam NKRI.

Peran media sosial yang mempermudah dunia digital membuat penggunanya harus mengetahui pentingnya menumbuhkan rasa toleransi maupun memperluas pengetahuan untuk mengikuti perkembangan zaman dan dapat meminimalkan perselisihan. Setidaknya dengan media sosial, penggunanya dapat memberikan argumen dengan dasar yang mengacu pada ilmu sehingga tidak terjadi berita palsu yang merugikan pihak mana pun.

Maka dari itu, pemerintah mengundangkan UU ITE dan peraturan terkait sebagai peran hukum yang ditegakkan untuk menciptakan ketertiban masyarakat sehingga dapat hidup dengan perbedaan yang memiliki rasa keadilan di dalamnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//