• Opini
  • UU ITE Menyuburkan Labeling dan Penuhnya Penjara

UU ITE Menyuburkan Labeling dan Penuhnya Penjara

Rekonstruksi UU pencemaran nama adalah cara terbaik untuk mengaktualisasi prinsip ultimum remedium, yaitu menempatkan hukum pidana sebagai jalan terakhir.

Odilia Dita Suhardi

Mahasiswi Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Petugas melakukan perekaman data seorang remaja penghuni penjara anak dan remaja di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis (15/4/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

25 Juni 2022


BandungBergerak.idPrinsip ultimum remedium dianut oleh hukum pidana di Indonesia. Ultimum remedium merupakan prinsip yang menghendaki agar hukuman dalam hukum pidana Indonesia sebaiknya digunakan sebagai upaya terakhir dalam hal menegakkan hukum. Prinsip ini diterapkan mengingat hukuman pidana yang dijatuhkan dinilai berat dan terkadang membawa dampak pada sang pelaku.

Undang-undang pencemaran nama baik yang dikandung dalam UU ITE—juga ada di dalam KUHP—dinilai tidak sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Undang-undang pencemaran nama baik dinilai bertentangan dengan prinsip ultimum remedium karena menjadikan pendekatan pidana sebagai jalan utama, bukan jalan terakhir.

Restorative Justice

Berbagai alasan dapat dilontarkan terhadap ketidaksinambungan prinsip ultimum remedium dengan UU pencemaran nama baik. Prinsip ultimum remedium menurut Modderman, Menteri Kehakiman Belanda, adalah usaha menjadikan hukuman sebagai upaya terakhir [Mas Putra Zenno Januarsyah, “Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi”, Desember 2017]. 

Seperti yang disampaikan Modderman, maka untuk kasus-kasus hukum pidana, terutama dalam tindak pidana pencemaran nama baik, restorative justice dapat dilakukan sebagai langkah awal dalam menyelesaikan sebuah kasus.

Restorative justice yang juga dikenal sebagai prinsip ultimum remedium, dalam realita sering tidak ditemui dalam proses penyelesaian suatu kasus. Prinsip ultimum remedium dapat dijalankan dengan cara menjadikan sanksi sebagai langkah akhir dan membawa perdamaian antarpihak sebagai upaya yang pertama kali dimunculkan.

Namun sayangnya dalam realita, prinsip ultimum remedium dalam kasus pencemaran nama baik yang semakin marak terjadi bukanlah yang pertama kali dimunculkan. Ego dari pihak yang dirugikan sering kali membuat penerapan prinsip ultimum remedium ditunda untuk digunakan, karena mereka lebih memilih untuk langsung menggunakan KUHP atau UU ITE sebagai jalan pertama.

Banyak warga negara Indonesia yang terjerat kasus pidana pencemaran nama baik ini [Hidayat, Rofiq, “Melihat Tren ‘Korban’ Jeratan UU ITE”, Hukum Online, Februari 2021]. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa UU ITE dapat dijadikan sebagai senjata yang begitu mudah digunakan untuk menjatuhkan lawan.

Baca Juga: Jerat UU ITE bagi Jurnalis dan Jalan Memutar Penyelesaian Sengketa Pers
Draft Revisi UU ITE Memiliki Banyak Kelemahan, Pasal Karet masih Dipertahankan
Koalisi Mahasiswa Desak Jokowi Beri Amnesti untuk Dosen Unsyiah Korban UU ITE

Pencemaran Nama Baik Menghasilkan Labelling dan Penuhnya Penjara

Akibat UU pencemaran nama baik yang digunakan secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan prinsip ultimum remedium sangat bervariasi. Akibat yang terpampang secara jelas adalah bahwa para terdakwa akan mendapatkan labelling yang ke depannya akan sangat menyusahkan orang tersebut untuk merehabilitasi nama baiknya.

Labelling dalam hukum pidana adalah proses pemberian label pada seseorang yang sudah melakukan tindak pidana tertentu. Akibat yang diberikan dari proses labelling ini adalah bahwa masyarakat akan susah sekali untuk menerimanya kembali dalam lingkungan.

Tidak diterimanya seorang mantan narapidana pada lingkungan masyarakat dapat membuat orang yang terkena labelling ini mengulang tindakan yang ia sudah lakukan atau bahkan melakukan suatu perbuatan lain yang dapat membahayakan masyarakat umum.

Akibat lainnya yang dapat timbul adalah overcriminalization. Overcriminalization adalah suatu kondisi di mana jumlah narapidana yang ditahan dalam suatu penjara membludak lebih dari kapasitas seharusnya. Membludaknya jumlah narapidana yang ditahan dalam suatu penjara dapat mengurangi hak-haknya sebagai manusia.

Rekonstruksi UU Pencemaran Nama Baik

Undang-undang pencemaran nama baik yang dikandung dalam UU ITE perlu direkonstruksi. Konstruksi UU pencemaran nama baik dapat menjadi jawaban agar terselesaikannya masalah labelling dan juga overcriminalization yang kerap terjadi.

Konstruksi UU tentang pencemaran nama baik dapat membantu menghindari labelling yang dapat terjadi kapan saja. Overcriminalization yang menjadi dampak dari ditundanya pemakaian prinsip ultimum remedium dalam menyelesaikan kasus, dapat diselesaikan dengan merekonstruksi UU tentang pencemaran nama baik yang kerap kali menjerat korban yang tak sepenuhnya salah.

Dan yang paling utama, dengan merekonstruksi UU mengenai pencemaran nama baik, prinsip ultimum remedium dapat senantiasa ditegakkan. Dengan ditegakkan dan diterapkannya prinsip ultimum remedium dalam UU tentang pencemaran nama baik, prinsip ini dapat menjadi jalan tengah yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Prinsip ultimum remedium yang dianut hukum pidana Indonesia merupakan prinsip yang teguh dan senantiasa akan dianut. Prinsip ultimum remedium seharusnya menjadi titik-tolak dan penengah dalam penyelesaian kasus, agar dapat tercapainya perdamaian antarpihak. Namun dengan berlakunya UU tentang pencemaran nama baik di Indonesia, yang menyeret banyak korban, prinsip ini diragukan kehadirannya.

UU tentang pencemaran nama baik harus direkonstruksi dengan alasan agar kepastian hukum dan keadilan hukum dapat dipenuhi dan juga terjamin untuk setiap warga negara. Dengan konstruksinya UU tentang pencemaran nama baik, diharapkan prinsip yang sudah lama dianut oleh hukum pidana Indonesia, prinsip ultimum remedium, dapat diterapkan kembali sehingga dapat membantu menghindari labelling yang berdampak buruk bagi calon narapidana.

Diharapkan pula dengan merekonstruksi UU tentang pencemaran nama baik, dapat memberikan peran dan kontribusi yang kuat dalam mencegah terjadinya overcriminalization di Indonesia.

Sebagai warga dari negara yang menganut sistem demokrasi, semua masyarakat dibebaskan untuk memberikan aspirasi dan ekspresinya. Aspirasi dapat digunakan oleh masyarakat sebagai jembatan dalam mengungkapkan betapa pentingnya merekonstruksi prinsip ultimum remedium agar prinsip ini tetap dapat dianut dan ditegakkan dalam hukum pidana Indonesia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//