Koalisi Mahasiswa Desak Jokowi Beri Amnesti untuk Dosen Unsyiah Korban UU ITE
Saiful Mahdi, dosen Statistika FMIPA Unsyiah Kuala Aceh, menjadi korban kesekian pasal karet UU ITE.
Penulis Delpedro Marhaen8 September 2021
BandungBergerak.id - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi kasus pelanggaran UU ITE Saiful Mahdi disayangkan oleh pelbagai pihak. Sejumlah organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Wujudkan Demokratisasi Kampus mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera memberikan amnesti pada dosen Statistika FMIPA Unsyiah Kuala Aceh itu.
Koalisi merupakan gabungan dari beberapa organisasi mahasiswa yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Perhimpunan Mahasiswa Informatika dan Komputer Nasional (PERMIKOMNAS), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), dan KBS Perguruan Tinggi Muhammadiyah Indonesia (PTMI).
Mereka menilai putusan MA yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang menetapkan terpidana kasus pelanggaran UU ITE Saiful Mahdi bersalah, dihukum tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta, menunjukkan bahwa sistem peradilan telah gagal memberikan keadilan dan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan akademik.
"Kami mengecam dan mengutuk keras segala bentuk pelanggaran kebebasan akademik. Kami mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi," kata perwakilan Koalisi Mahasiswa Wujudkan Demokratisasi Kampus, Franscollyn Gultom, Selasa, (7/9/2021).
Campaigner Amnesty International Indonesia, Zaky Yamani menyebut Saiful layak diberikan amnesti karena yang dilakukannya merupakan perwujudan kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik. Sebagai seorang intelektual, kata Zakt, Saiful melakukan kritik memperbaiki dan tidak membiarkan kesalahan terhadap persoalan dalam rekrutmen CPNS yang terjadi di kampusnya.
“Kritik Saiful Mahdi itu disampaikan di grup WhatsApp tertutup, yang sebetulnya ada etika-etika tertentu sehingga kritik tidak keluar dari grup WhatsApp, tapi ini kan pelapor bukan anggota grup WhatsApp. Merujuk pada SKB bahwa percakapan di grup WhatsApp tidak bisa dilaporkan dalam kerangka UU ITE,” kata Zaky, dalam konferensi pers, Selasa (7/9/2021).
SKB yang dimaksud Zaky adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Surat tersebut diteken Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Kapolri, dan Jaksa Agung, pada 23 Juni 2021.
Menurut Zaky, permohonan amnesti kasus Saiful Mahdi kepada Presiden Joko Widodo ini tidak dalam kerangka meminta ampun atas sebuah kesalahan. Sebab, lanjut Zaky, apa yang dilakukan Saiful bukan sebuah kesalahan, melainkan korban ketidakadilan akibat pasal karet UU ITE. Amnesti ini bertujuan untuk pemulihan nama baik Saiful dan penghapusan kejahatan yang tidak pernah dilakukan Saiful.
“Banyaknya kesalahan dalam putusan pengadilan [kasus Saiful Mahdi] karenanya meminta amnesti kepada presiden untuk menghapus hukuman yang dijatuhkan kepada Saiful Mahdi, jadi bukan meminta pengampunan,” ujar Zaky Yamani.
Tak hanya koalisi mahasiswa, sejumlah organisasi hak asasi manusia dan akademisi serta aktivis dan pegiat hukum juga mendesak Presiden Jokowi mengabulkan permohonan amnesti tersebut.
Baca Juga: SAFEnet: Kriminalisasi dan Serangan Digital Marak Selama Pandemi Covid-19
Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Menghapus Cerita Mural dan Grafiti dari Tembok ke Tembok
Mural “Jokowi Tutup Mata†di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Masalah Pasal Karet UU ITE
Saiful Mahdi divonis penjara 3 bulan dan denda denda Rp10 juta karena mengkritik kampus ihwal proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk dosen di Fakultas Teknik Unsyiah Kuala Aceh pada 2019 lalu. Saiful mendapati ada salah satu peserta yang dinyatakan lolos padahal salah mengunggah berkas. Kritik tersebut Saiful sampaikan dalam WhatsApp grup internal Unsyiah pada Maret 2019 lalu.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!!," tulis Syaiful di WhatsApp grup “UnsyiahKita”.
Tidak terima, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Kuala Aceh, Taufiq Saidi, lantas mengadukan Saiful ke kepolisian dengan UU ITE terkait tuduhan pencemaran nama baik berbekal tulisan di grup Whatsapp itu. Polisi pun menyelidiki dan mengangkat kasus tersebut sampai ke kejaksaan dan disidangkan. September 2019, Saiful ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Dalam perjalanan kasus, majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan. Saiful dinilai bersalah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 UU ITE.
Tak menerima putusan, Saiful kemudian mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi. Singkatnya, di Mahkamah Agung, kasasi Saiful ditolak dan dinyatakan bersalah. Dia menjalani eksekusi putusan vonis terhadap dirinya di Kejaksaan Negeri Banda Aceh, pada Kamis, 2 September 2021.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menyatakan kasus yang menimpa Saiful Mahdi adalah bentuk kekacauan penegakan hukum di Indonesia dan pelaksanaan UU ITE.
“Ada banyak masalah dalam UU ITE yang kalau tidak dihentikan maka kasus seperti Saiful Mahdi bukan hanya dirinya dan keluarga yang menjadi korban, melainkan kebebasan akademik dan kebebasan sebagai warga negara terlanggar,” kata Asifn.
UU ITE menjadi momok kebebasan berpendapan dan berekspresi yang sejatinya dijamin Konstitusi. Menurut SAFEnet dalam “Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2020: Represi Digital di Tengah Pandemi April 2021”, sepanjang tahun 2020 terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, 24 kasus.
UU ITE menjadi regulasi utama yang membatasi ekspresi warganet. Dari 84 kasus, 64 kasus menggunakan ‘pasal karet’ UU ITE. Tepatnya Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian (27 kasus), Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik (22 kasus), dan pasal 28 ayat 1 tentang kabar bohong konsumen (12 kasus).
Koalisi Serius Revisi UU ITE
Sejak UU ITE diundangkan, koalisi masyarakat sipil terus mendesak pemerintah agar merevisi pasal-pasar karet yang ada di undang-undang ini. Salah satunya, Koalisi Serius Revisi UU ITE yang menuntut pemerintah agar segera melakukan pengajuan revisi dan pembahasan dengan DPR RI. Koalisi juga mendorong Pemerintah untuk lebih terbuka dan partisipatif dalam proses penyusunan revisi UU ITE, dengan sungguh-sungguh melibatkan masyarakat terdampak regulasi (meaningful and inclusive participation).
"Perlu diingat bahwa proses regulasi Undang-Undang atau merevisi UU ITE juga dapat memakan waktu yang panjang. Maka dari itu, moratorium kasus UU ITE menjadi penting untuk pemerintah – dan dalam hal ini, untuk tidak memproses kasus-kasus yang berhubungan dengan pasal-pasal karet tersebut," demikian pernyataan Koalisi Serius Revisi UU ITE, dalam siaran pers 24 Juni 2021.
Pemerintah juga dapat mengentikan semua proses yang sedang berlangsung, apa lagi negara tahu dan mengerti bahwa adanya pasal-pasal karet UU ITE yang bermasalah dan dapat melanggar hak kebebasan berpendapat dan berkespresi. Selain itu, memulihkan korban yang sudah terbukti dijerat pasal-pasal karet UU ITE adalah sebuah bentuk hak asasi yang harus penuhi dan dilakukan oleh negara sekarang, sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri dari Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, ELSAM, Greenpeace Indonesia, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, LeIP, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI).