SAFEnet: Kriminalisasi dan Serangan Digital Marak Selama Pandemi Covid-19
Internet menjadi sarana masyarakat sipil untuk mendorong perubahan yang lebih baik. Akan tetapi internet juga bisa menjadi alat represi.
Penulis Iman Herdiana23 April 2021
BandungBergerak.id - Akses internet sejatinya solusi di masa pandemi Covid-19. Solusi untuk belajar jarak jauh, kerja di ruang pribadi, beribadah virtual, sehingga mengurangi potensi penyebaran Covid-19 lewat pertemuan langsung atau tatap muka. Namun dalam laporan terbaru Southeast Asia Freedom of Expressi on Network (SAFEnet) menyebutkan pandemi COVID-19 justru meningkatkan represi melalui atau di media-media digital. Banyak hak-hak digital yang terlanggar.
Laporan yang disusun Tim SAFEnet itu berjudul “Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2020: Represi Digital di Tengah Pandemi April 2021”. Hak untuk berekspresi yang sebenarnya dijamin undang-undang, menjadi salah satu isu pokok yang mencuat selama setahun pandemi.
Sepanjang tahun 2020, Tim SAFEnet mencatat setidaknya terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, 24 kasus.
UU ITE menjadi regulasi utama yang membatasi ekspresi warganet. Dari 84 kasus, 64 kasus menggunakan ‘pasal karet’ UU ITE. Tepatnya Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian (27 kasus), Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik (22 kasus), dan pasal 28 ayat 1 tentang kabar bohong konsumen (12 kasus).
Regulasi lain yang dipakai untuk membatasi ekspresi di ranah digital ialah Pasal 14-5 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang keonaran, yakni 21 kasus, serta beberapa pasal penghinaan dalam KUHP seperti Pasal 270 dan 310.
Dari latar belakang korban, mereka yang banyak di laporkan adalah warga (50 orang), aktivis (15 orang), buruh (4 orang), mahasiswa (4 orang), karyawan swasta (3 orang), pelajar (2 orang), dan jurnalis (1 orang). Jumlah warga dan aktivis yang di laporkan pada 2020 jauh lebih tinggi dibandingkan 2019, yakni pada jurnalis 8 kasus, aktivis 5 kasus, dan warga 4 kasus.
SAFEnet mencatat sejumlah dalih yang dipakai untuk melakukan kriminalisasi terhadap pengguna internet selama pandemi Covid-19 di Indonesia, yaitu alasan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), labelisasi hoaks terhadap informasi yang tidak sesuai dengan informasi pemerintah dalam penanganan Covid-19, serta pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Penyadapan sampai Peretasan
Kekerasan berbasis gender secara onlne sepanjang 2020 juga semakin marak. Maraknya serangan terkait dengan banyaknya kritik terhadap pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ataupun pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020.
Berdasarkan pemantauan SAFEnet selama 2020, terdapat 147 insiden serangan digital atau rata-rata 12 kali tiap bulan. Puncak serangan digital terjadi pada Oktober 2020 dengan jumlah insiden sebanyak 41 kali. Naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan rata-rata per bulan. Adapun insiden terendah terjadi pada Maret 2020 dengan 3 insiden.
Dari sisi korban, serangan digital paling banyak terjadi pada lembaga pemerintah dengan 38 insiden (25, 85%), serangan digital pada warga umum sebanyak 30 insiden (20, 41 %), jurnalis 26 insiden (17, 01 %), aktivis 25 insiden (17, 01 %), mahasiswa 19 insiden (12, 93%), dan organisasi masyarakat sipil 15 insiden (10, 20%).
Data tersebut menunjukkan bahwa serangan digital tetap paling banyak menyasar kelompok kritis, yaitu jurnalis, aktivis (mahasiswa), dan organisasi masyarakat sipil yang jika digabungkan jumlahnya mencapai 66 insiden (44, 90%).
Temuan itu diperkuat fakta bahwa serangan-serangan semakin meningkat ketika ada isu politik nasional. Puncak serangan pada Oktober 2020 terjadi karena banyaknya penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.
Begitu pula dengan masifnya serangan pada Juni 2020 karena munculnya gerakan menolak diskriminasi rasial terhadap orang Papua dan serangan pada Agustus 2020 terhadap pengkritik penanganan pandemi Covid-19.
Jenis serangan digital yang diidentifikasi Tim SAFEnet dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni serangan secara kasar seperti peretasan, penyadapan, dan serangan DDoS (Distrubed denial of service). Serangan ini memerlukan teknologi dan kemampuan tertentu.
Lalu, serangan secara halus yang lebih bertujuan intimidasi psikologi korban atau menjatuhkan kredibilitas korban di mata publik. Serangan dilakukan secara terbuka di media sosial pelaku, baik profil anonim maupun nyata. Contoh serangan ini adalah penyebaran identitas pribadi tanpa persetujuan (doxing), peniruan akun, penyerbuan (trolling) melalui komentar atau unggahan. Biasanya serangan halus ini dilakukan tim yang terkoordinir.
Pemantauan selama 2020 itu menegaskan temuan-temuan SAFEnet pada tahun-tahun sebelumnya bahwa dunia digital memang tetap menjadi salah satu alat penting untuk mendorong perubahan oleh masyarakat sipil. "Namun, di sisi lain, media digital juga menjadi alat represi terhadap masyarakat sipil ini, termasuk melalui serangan-serangan digital,” demikian laporan Tim SAFEnet dengan penanggung jawab Damar Juniarto, dikutip Jumat (23/4/2021).