• Opini
  • Menghapus Cerita Mural dan Grafiti dari Tembok ke Tembok

Menghapus Cerita Mural dan Grafiti dari Tembok ke Tembok

Di masa revolusi maupun rezim Orde Baru, mural dan grafiti selalu menjadi media perlawanan. Seni visual ini pun setia hadir mengisi tembok-tembok pascareformasi.

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Grafiti sindiran Jadikan Koruptor Pahlawan terkait ringannya hukuman bagi para koruptor di dinding Viaduct, Bandung, sehari sebelum dihapus, Selasa (31/8//2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 September 2021


BandungBergerak.idKala itu malam temaram, para pemuda keluar rumah dan mencoret serta mengambar di tembok-tembok kota mengekspresikan tuntutan revolusioner dan aspirasi mereka untuk merdeka. Ini terjadi ketika 1949, di masa pendudukan Belanda di Yogyakarta, menurut Karen Strassler dalam buku Demanding Images: Democracy, Mediation, and the Image-Event in Indonesia (2020).

Para seniman muda tersebut keluar untuk mencoret dan mengambar di tembok-tembok. Mereka bikin mural dan grafiti—seni menulis di ruang publik—dengan bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Tersebarlah mural dan grafiti revolusioner, seperti “Lawan Penjajahan”, “Merdeka atau Mati”, dan sebagainya.

Sebelumnya, di tahun 1945 masih dalam suasana revolusi kemerdekaan Indonesia, seniman Affandi, Seodjojono, Dullah, dan penyair terkenal Chairil Anwar berkolaborasi menyeru semangat kemerdekaan dengan seni visual poster: Boeng Ajo, Boeng!.

Poster “Boeng Ajo, Boeng” hadir atas perintah Sukarno yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pusat Tenaga Rakyat (Putra) dan Ketua Badan Persiapan Kemerdekaan. Dalam Kajian Ikonologi Poster Perjuangan “Boeng Ajo, Boeng” Karya Affandi tahun 1945 yang ditulis Aburrazzaq disebutkan, poster tersebut memiliki konsep menampilkan seorang pemuda sedang berteriak sambil memutus rantai dan memegang bendera Merah Putih. Ide gambar dari Sudjojono, sedangkan teks “Boeng Ajo, Boeng” merupakan ide penyair Chairil Anwar, dan Dullah sebagai model poster, terakhir, Affandi, bertugas sebagai perancang visual yang mengabungkan konsep ilustrasi dan teks tersebut dalam wujud poster.

Poster itu diciptakan di Jakarta setelah peristiwa kemerdekaan Indonesia. Seni-seni visual yang melibatkan seniman tersebut oleh para pemimpin bangsa Indonesia menjadi alat untuk menyerukan semangat nasionalisme dan kemerdekaan.

Karen Strassler mencatat, era 1942-1945, Jepang memberikan pelatihan terhadap seniman-seniman di tanah air untuk membuat poster propaganda guna menanamkan  nasionalisme dan  anti-imprealisme. Maka lahirlah poster yang dibuat oleh Affandi berserta seniman yang lainnya itu. Abdurrazaq dalam jurnal penelitiannya menilai bahwa unsur nasionalisme pada karya Affandi tersebut memang mendapat banyak pengaruh dari Jepang.

Masih menurut Karen Strassler, bahwa spanduk, poster, stensil, dan mural jalanan disajikan sebagai media kunci dan membantu strategi komunikatif aktivisme pascakemerdekaan. Dan, di era Orde Baru, spanduk, poster, stensil, dan mural jalanan ini hadir sebagai protes terhadap ruang kota yang kehilangan estetiknya karena dipenuhi baliho iklan atau partai politik.

Di masa Reformasi, seni visual jalanan hadir mangambarkan sosok Munir dan teks bertuliskan “Tetap Melawan, Dan Kami Berlipat Ganda”. Mural dan grafiti ini hadir di ruang-ruang kota bersama baliho, billboard iklan, kampanye parpol, dan lain-lainnya.

Seni jalanan hadir dengan gambar dan teks yang konkret, nada perlawanan yang tak memaksa orang awam untuk berpikir keras, bisa kita lihat dari mural-mural dan grafiti yang dihapus aparat di tengah pandemi. Nada kritik dan perlawanan itu hadir tentu bukan tanpa maksud. Ini bisa dilihat dari grafiti “Tuhan Aku Lapar” yang terdengar simpel dan dipadu dengan gambar sederhana.

Setidaknya visual yang kita lihat dari tembok masa lalu dan tembok masa kini menampilkan mosaik dan puzzle yang utuh; bahwa bangsa Indonesia perlu merenung dari grafiti ke grafiti, dari poster ke poster; merenung ketika melihat gambar dengan tulisan “Lawan Penjajahan” dan “Tuhan Aku Lapar”, merenung di poster “Boeng Ajo, Boeng’’, dan di poster “Munir: Tetap Melawan dan Berlipat Ganda”.

Tak berlebihan bila mengatakan bahwa spanduk, poster, stensil, dan mural-mural jalanan itu hadir membangun bangsa Indonesia, mengobarkan semangat nasionalisme hingga menjaga kedaulatan negara demokrasi.

Bahkan tak berlebihan bila Ian Jaffrey Ross menyebut bahwa grafiti hadir di awal peradaban manusia. Ross dalam Routledge Handbook of Graffiti and Street Art (2016), mencatat pada tahun 1980-an di seluruh dunia grafiti dan seni jalanan mengalami perubahan keunikan dari gayanya.

Apa yang dikatakan Ian Jaffrey Ross diluas J.A. Baird dan Claire Taylor, bahwa grafiti tidak hanya ada di zaman modern saja, melainkan sudah ada di zaman kuno. Namun ada persamaan dan perbedaan antara grafiti kuno dan grafiti modern.

Grafiti kuno hadir untuk menampilkan situasi masa itu, sedangkan grafiti modern hadir dari subkultur yang melawan dominasi. Menurut Braid dan Taylor, grafiti di zaman kuno biasanya hadir oleh otoritas tertentu. Dan grafiti kuno ini perlu pelastarian dan penjagaan karena memiliki nilai sejarah.

Baca Juga: Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam
Mural “Jokowi Tutup Mata” di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Bangsa ini Lahir dari Kritik, Kenapa Kita Sekarang Hendak Menumpasnya?

Poster revolusi hasil kolaborasi seniman Affandi, Seodjojono, Dullah, dan penyair Chairil Anwar berjudul Boeng Ajo, Boeng!. (Dok. Penulis)
Poster revolusi hasil kolaborasi seniman Affandi, Seodjojono, Dullah, dan penyair Chairil Anwar berjudul Boeng Ajo, Boeng!. (Dok. Penulis)

Setelah Bercerita dari Tembok ke Tembok

Dari dinding masa lalu, melalui grafiti, mural, poster, dan seni jalanan lainnya yang hadir sejak zaman revolusi Indonesia hingga pasca-reformasi, dari dinding kuno di Mediterania hingga dinding modern di jembatan Cikapayang, Bandung, para seniman menyebarkan semangat, aspirasi, kritik, dan perlawanan.

Sekali lagi, kita perlu refleksi melihat dan mengabungkan puzzle demi puzzle di dinding masa lalu, menyatukan satu demi satu, merekonstruksi tembok-tembok sejarah dan merangkumkan dalam satu kisah tentang cinta dan duka, tentang Indonesia merdeka.

Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (2013) mengatakan, belajar sejarah membuat kita jatuh cinta, belajar dari fakta dan pengalaman membuat menjadi bijaksana. Artinya, kita juga belajar bijaksana dalam menghadapi mural, poster, spanduk, grafiti yang bertebaran di masa kini. Sebab semua seni visual itu sudah menjadi alat komunikasi sejak awal munculnya peradaban.

Akhirul kalam, menurut band Feast dalam lirik lagu Peradaban, “Karena peradaban, takkan pernah mati, qalau diledakkan diancam tuk diobati, karena peradaban berputar abadi”. Apakah benar akan menghapus mural dan grafiti yang sudah muncul sejak lahirnya peradaban manusia?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//